TERNATE,OT- Mengangkat tema, “ APBN dan APBD, Solusi Atau Bencana” merupaka dalam diskusi publik ke-4 yang digagas KNPI Maluku Utara (Malut) di Borneo Caffe Ternate, Jumat (27/10/17) tadi malam.
Achmad Hatari, anggota DPR-RI sengaja di hadirkan sebagai narasumber untuk mendiskusikan APBN dan APBD yang saat ini problem pengelolaan keuangan negara dan daerah.
Hatari mengungkapkan, APBN dan APBD solusi atau bencana, bisa saja kedua-duanya tapi bisa juga menjadi solusi. APBD adalah bagian dari pengelolaah keuangan negara yang harus dilakukan secara terbuka dan transparan untuk sebesar-sebesarnya solusi kemakmuran rakyat. Tapi, jika akspektasinya salah arah atau tidak tepat sasaran pasti jadi musibah. Tergantung pada tingkat pemerintahan mana yang menjadikan APBD solusi atau sebaliknya menjadi bencana. Dan tergantung niatnya.
Dijelaskannya, APBD Malut tahun 2017 untuk alokasi DAU kurang lebih Rp1,217 triliun, tapi DAK afirmasi Malut tidak dapat. DAK penugasan kurang lebih Rp132 milyar dan DAK fisik kurang lebih Rp300 milyar. Dengan demikian, total APBD Malut tahun 2017 tidak mencapai 2 triliun, Kalau dalam penyusunannya itu melebihi dari pendapatan, maka secara otomatis dipaksakan untuk membuat APBD menjadi devisit. Itu postur APBD Malut 2017.
Sementara, lanjut Hatari, terkait dengan APBN 2018, undang-undannya belum diterbitkan nomor, karena baru tanggal 25 Oktober kemarin dilakukan paripurna pengesahan. Antara DPRD dan pemerintah menyetujui APBN TA 2018 sebesar Rp 2000 triliun Rp220, 6 miliar atau sebesar Rp1847 triliun dari pendapatan negara. Sementara devisit ditargetkan dalam APBN sebesar 2,19 persen dikurangi dari yang diamanatkan Undang-undang 17 tahun 2003 sehingga pemerintah menargetkan defisit di dalam APBN kurang lebih Rp325 triliun.
Sehingga, kata dia, total belanja menjadi 2220,6 triliun. Sementara dana transfer ke daerah kurang lebih Rp766,2 triliun termasuk didalamnya Rp60 trilun dana desa.
"Saya ingin memberitahukan kepada semuanya, mulai tahun 2018 DAU tidak lagi dinamis. Artinya dia bisa fluktuatif tergantung seberapa besar penerimaan negara atau viskal kapasiti suatu negara. Bangsa ini sedang mengalami kesulitan likuiditas,” tandasnya.
"Sematara penyusunan APBD provinsi Malut seperti piramida terbalik, diatasnya lebih besar dan dbawahnya semakin kecil. Ibarat kencing nanah menetes sedikit sekali. Karena itu, harus dibuat piramida sebenarnya supaya dibawahnya lebih besar. Sekarang keuangan Pemprov Malut defisitnya cukup tinggi,” katanya.
Dengan demikian, kata dia, jika realisasi belanja diatas Rp2 triliun tentu bisa dibayangkan berapa besar defisit yang dialami provinsi Malut. DPR-RI kemarin bersepakat dengan pemerintah agar dana desa dinaikan mejadi Rp70 triliun atau memenuhi penegasan undang-undang No.6 tahun 2015 tentang dana desa. Tapi, pemeritah punya ikhtiar, karena tahun 2017 akan dilaksanakan pilkada serentak. Jadi, bagi incumbent, dana desa menjadi ATM bagi dia.
“Saya mewakili dapil Maluku utara tidak sembunyi-sembunyi bicara ini di parlement. Saya ingin katakan disini karena ini pengakuan dari jajaran kementerian keuangan. Untuk Malut pada waktu itu kita melakukan kunjungan kerja spesifik, bahwa dana desa sudah didekatkan transfernya ke provinsi pada kantor perbendahaan kas negara ke kas kabupaten. Dan ketentuannya 7 hari dari kas kabupaten ke kas desa, justru ini yang tidak terjadi di Malut (Hoax). Sekarang Menteri Keuangan meneropong berapa banyak uang mengendap di kas daerah, ini akan ditarik. Pemerintah harus membedakan mana urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan mana urusan pemerintah bersifat pilihan.
“Malam ini kita bicara soal keuangan daerah, seharusnya kepala biro keuangan hadir disini untuk mendegar sekaligus menjelaskan problemnya,” tutup Ahmad Hatari.
Ditempat sama, Pakar Ekonomi dari Akdemisi, Mochtar Adam menjelaskan, kerusakan tata kelola keuangan mulai tahun 2015. Kerusakannya karena dari hasil audit BPK tahun 2015, Pemprov me Mark-Up DBH, padahal DBH sudah ditetapkan oleh menteri keuangan lewat keputusan PMK, tapi Pemprov justru angkanya di Mark-Up. Yang kedua, angkanya di Mark-Up pada hibah yang diharapkan dari sektor pertambangan sebesar Rp260 milyar sementara realisasinya Rp70 milyar. Padahal,tidak ada dasar penetapan pada peraturan pemerintah (PP).
“Jika ingin terima hibah mestinya ada nota kesepakatan hibah, tapi Pemprov tidak melakukan itu. Yang ketiga Mark-Up PAD, ini kemudian terungkap dalam hasil audit BPK yang plus minusnya Rp400 sampai 500 miliyar. Waktu Cash off tanggal 31 desember, uang lebihnya hanya Rp42 miliar disebeut Silpa. Kemudian masuk TA 2016, secara otomatis 400 miliar ikut. Mestinya pada tahun 2016 dikurangi seluruh kegiatan setara dengan Rp400 miliar dengan tujuan mengurangi belanja. Tapi faktanya tidak. Belanja tahun 2016 tetap masuk tanpa memasukan Rp400 miliar. Kegiatan untuk DAU dan DBH seharunsya kosong kemudian ditampng untuk menutupi Rp400 miliar, ini justru bikin lagi belanja tambahan. Pertanyannya kapan Rp400 sekian miliar ditutup,” jelas Mochtar Adam
Sialnya, kata Mochtar Adam, tahun 2016, Permen Keungan menetapkan sampai dengan triwulan III, jika tidak mereaisasikan program maka DAK tidak di transfer. Kemudian tahun yang sama Pemprov gagal meyelesaikan proyek DAK Rp46 triliun yang ditahan oleh kemeterian keuangan karena report atau laporannya tidak selesai per triwulan III. Tentunya masuk jadi hutang lagi.
(red)






