TERNATE, OT- Hasil evaluasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di Provinsi Maluku Utara (Malut) oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Malut, lebih baik jika dibandingkan dengan Pemilu 2014. Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu Malut, Muksin Amrin pada acara diskusi forum Makugawene 05 di kedai Sabua Rakyat, Senin (29/7/2019) malam kemarin.
Acara yang digagas oleh Bawaslu Malut itu, Selain menghadirkan narasumber Ketua Bawaslu Malut juga dari unsure akademisi Abdul Kadir Bubu, dengan tema “Potret Pemilu 2019 dan jelang pemilihan kepala daerah tahun 2019”.
Ketua Bawaslu Malut dalam pemaparan materinya menyampaikan, dalam Pemilu 2019 ada dua hal yang menjadi masalah, yakni penyelenggaraan dan penyelenggara. Ditahapan penyelenggaraan ada pemungutan dan penghitungan suara yang menyita waktu cukup besar karena dilakukan serentak, dan ini baru pernah terjadi di Pemilu Indonesia sejak Pemilu tahun 1955. “Membuat banyak penyelenggara jatuh korban akibat lelah dan sebagainya, karena tahapan cukup rumit dan panjang,” ujar Muksin.
Selain itu, terdapat masalah logistik, di Pemilu seblumnya logistik itu dicetak oleh masing-masng kabupaten/kota dan provinsi, tapi di tahun 2019 dicetak langsung oleh KPU RI, sehingga banyak TPS Pemilu ditunda akibat logistic belum sampai.
Kejadian ini, kata Muksin, di kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul). Bahkan ada logistic C1 plano yang sampai pemungutan tidak ada di tempat, sehingga menghitung angka perolehan suara masing-masing calon dan parpol di TPS menggunakan kertas plano yang dibeli di toko, dan ada juga di TPS lain foto copy plano TPS terdekat menggunakan kertas HVS.
“Dua masalah ini ditahapan penyelenggaraan yang sangat menyita waktu dan cukup bermasalah. Sementara di tahapan lain, bisa dibilang berjalan baik,” ucap Muksin.
Sementara di masalah penyelenggara, lanjut Muksin, di Pemilu 2019 Bawaslu dan KPU disodorkan untuk bagaimana merekrut penyelenggara yang cukup banyak. “TPS di Malut sekitar 300 ribu lebih dan KPU harus merekrut per TPS 7 orang KPPS, sementara Bawaslu juga harus merekrut pengawas TPS sebanyak jumlah TPS serta pengawas lapangan, sementara SDM kita di desa-desa sangat terbatas sedangkan UU memeprketat soal mekanisme dan tata cara persyaratan penyelenggara Pemilu, sehingga yang menjadi penyelenggara Pemilu tiba saat tiba akal. Sampai-sampai teknis pemungutan dan penghitungan ada sebagian tidak tahu apa yang harus dibuat,” katanya.
Meskipun masih terdapat masalah, namun kata Muksin, jika dilihat dari Pemilu pertama hingga tahun 2019 ini, derajat Pemilu tahun ini sudah sedikit baik dibandingkan dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. “Di Pemilu tahun 2014 lalu, terjadi pengelembungan suara dimana-dimana, tahun ini kami mencoba minimalisir potensi itu,” pungkasnya.
“Banyak hal yang kami sudah minimalisir, sehingga pleno KPU ditingkat provinsi pada Pemilu tahun ini berjalan lancar dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih 7 hari, karena tidak banyak masalah. Sementara Pemilu tahun 2014 memakan waktu 14 hari,” terangnya.
Sementara Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Abdul Kadir Bubu menyampaikan, dalam catatannya pada pemilu 2019 dari aspek penyelenggaran masih menjadi catatan, karena Pemilu serentak ini pertama kali digabungkan antara Pemilu presiden dengan legislatif, sehingga penyelenggara khususnya KPU mengalami masalah sangat besar. Sebab mereka dituntut harus menyelesaikan rekapitulasi hanya satu hari dengan minimnya Bimtek, sedangkan sejumlah formulir harus dihadapi oleh penyelenggara tingkat bawah.
Selain itu, lanjaut dia, ada dua hal penting secara akademik yang dicatat sampai saat ini masih diperdebatkan, masalah demokrasi karpet. “Kasus ini mengandung permasalahan dari segi akademik karena berhenti prosesnya, padahal Bawaslu telah mengeluarkan rekomendasi karena ada pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh oknum Caleg DPR RI, tapi itu kemudian mentok di Gakkumdu dan ini masih menyisahkan PR,” ucapnya.
“Secara akademis, banyak sekali pertanyaan di kasus ini karena tidak terselesaikan. Inilah masalah yang sampai saat ini masih diperbincang di lingkngan kita masing-masing,” kata dia.
Masalah lain di Pemilu 2019 adalah, ada koreksi yang dilakukan oleh Bawaslu RI terhadap SK Bawaslu Halbar terkait kepengurusan Partai Golkar. “Bagi saya ini aneh karena Bawaslu RI memperluas wewenangnya di luar dari UU. Tindakan ini saya kira adaah tindakan semena-mena dalam Pemilu tahun ini, semestinya Bawaslu RI hars bersikapa dari aspek regulasi sehingga tidak seperti ini,” tutur Abdul Kadir.
“Inilah dua masalah secara akademik yang saya catat, dan hingga saat ini masih menimbulkan polemik di masyarakat,” katanya.
Meskipun terdapat masalah secara akademik, tapi Pemilu 2019 lebih baik daripada Pemilu sebelumnya. “Ada satu hal yang menonjol di pemilu 2019, yakni dari aspek regulasi sudah mulai maju dari Pemilu yang sebelumnya, ini karena KPU tidak sendiri menetapkan regulasinya tapi selalu berkonsultasi ke DPR, sehingga dalam pelaksanaan pemilu tidak lagi banjir surat edaran, akhirnya Pemilu 2019 mulai terarah,” ucapnya.
Pemilu sebelumya, lanjut Abdul Kader, KPU disebut sebagai KPUsurat edaran, karena besok coblos hari turun surat edaran secara berangsur-angsur. “Alhamdulillah tahun ini tidak ada lagi surat edaran, meskipun ada tapi tidak sama dengan pemilu sebelumnya,” katanya.
Selanjutnya, peserta Pemilu tahun 2019 ini mulai aktif melakukan pengawasan karena Pemilu disatukan sehingga pengawasan berjalan secara ketat, dan penyelenggara ditingkat kelurahan/desa terbantu dengan keaktifan saksi serta tim-tim pemenang dan itu nyambung dengan penyelenggara tingkat bawah.
“Saksi menungu di TPS dan nyambung dengan pengawas lapangan sehingga proses pengawasan relatif berjalan lancar, meskipun ada bawaslu kabupaten/kota ‘bermain’ juga pada aspek-aspek semacam itu. Dan saya kira BAWASLU Malut tahu persis yang mau dimainkan oleh bawaslu kabupaten/kota,” katanya.(red)