Home / Opini

Mengenal Lebah Terbesar di Dunia dari Maluku Utara

Oleh: Whika Febria Dewatisari, S. Si., M. Si (Dosen Biologi FMIPA Universitas Terbuka)
14 Maret 2019
Whika Febria

LEBAH raksasa Wallace, spesies lebah terbesar di dunia, yang "dianggap sudah punah" sejak tahun 1981 ini berhasil ditemukan lagi di Indonesia. Lebah tersebut ditemukan oleh sekelompok tim konservasi dan ilmuwan internasional di Kepulauan Maluku Utara pada Januari 2019 lalu. Lebah raksasa Wallace atau yang memiliki nama latin Megachile pluto termasuk ke dalam famili Megachilidae. Spesies ini adalah terbesar di Bumi.

Spesies ini pertama kali ditemukan pada tahun 1859 oleh penjelajah Inggris dan naturalis Alfred Russel Wallace, seorang penemu evolusi melalui seleksi alam, yang merumuskan teori evolusi melalui seleksi alam sebelum teori Charles Darwin. Selama tinggal di Pulau Bacan di Maluku, Wallace mengamati dan mengumpulkan seekor lebah betina raksasa. Lebah ini digambarkan sebagai serangga besar seperti tawon hitam, dengan rahang yang sangat besar seperti kumbang rusa. Setahun kemudian, spesimen ini dideskripsikan secara ilmiah sebagai spesies baru lebah liar oleh Frederick Smith yang merupakan ahli entomologi dari Inggris 

Lebah raksasa Wallace diyakini punah sampai ditemukan kembali pada tahun 1981 oleh peneliti Amerika Adam Catton Messer. Dia mengamati beberapa jantan dan betina dari lebah raksasa dan memastikan bahwa itu adalah spesies endemik sempit yang hanya ditemukan di tiga pulau di Maluku Utara: Bacan, Halmahera dan Tidore. Setelah 1981, lebah raksasa Wallace tidak diamati di alam liar selama hampir empat dekade.

Awal penemuan kembali di bulan Januari 2019 lalu terjadi ketika Tim konservasi dan ilmuwan mendeteksi seekor lebah betina yang sedang menyendiri setelah melakukan penyelidikan di wilayah tersebut selama lima hari. Tim tersebut terdiri dari fotografer sejarah alam Clay Bolt, ahli entomologi Eli Wyman, ahli ekologi perilaku Simon Robson dan ahli burung Glenn Chilton. Sebelumnya mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari lebah dan bekerja di hutan-hutan Indonesia yang lembab selama berhari-hari. Tim konservasi dan ilmuwan mengamati setiap sarang rayap  di hutan pulau-pulau terpencil di Maluku Utara.

Mereka memiliki beberapa informasi tentang habitat dan perilaku lebah  dan mereka memeriksa citra satelit untuk mengenali medan. Lebah raksasa Wallace diketahui cenderung ditemukan di hutan dataran rendah dan sarang rayap yang hidup di pohon. Namun, deforestasi di Indonesia telah meningkat dalam dekade terakhir untuk tujuan pembukaan lahan pertanian. Ini berarti habitat alami lebah menyusut - dan dengan itu, peluang orang melihatnya sangat kecil. Clay Bolt berhasil menangkap gambar pertama lebah langka itu di sebuah sarang rayap di pohon. Ilmuwan menyebutkan bahwa itu adalah lokasi favorit lebah raksasa.

Sebelum berangkat ke Indonesia, Bolt sudah memasukkan Wallace ke daftar 25 spesies paling dicari di Global Wildlife Conservation's Search for Lost Species. Program ini berusaha mendanai ekspedisi untuk menemukan spesies yang hilang.

Penemuan kembali telah memperbarui harapan bahwa lebih banyak hutan di kawasan ini adalah rumah bagi spesies langka. Uni Internasional untuk Konservasi Alam mengklasifikasikan spesies ini sebagai "rentan" karena penambangan dan penggalian.

Lebah raksasa ini berbeda dari lebah-lebah lainnya. Betina dari lebah raksasa ini dapat mencapai panjang 1,5 inci (3,8 cm), dengan lebar sayap 2,5 inci (6,35 cm) dengan rahang besarnya yang menyerupai kumbang rusa, sedangkan yang jantan hanya tumbuh sekitar 0,9 inci (2,3 cm). Lebar sayap ketika direntangkan sekitar 6 cm, membuatnya mendapat predikat lebah terbesar di dunia. Perilaku lebah Wallace sangat unik. Lebah ini itu bisa menyengat sampai beberapa kali dan sengatannya tidak akan membunuh manusia. Sedangkan lebah Eropa menyengat akan langsung mati, maka hal ini tak terjadi pada lebah Wallace.

Lebah Wallace betina membuat sarang di gundukan rayap, dengan memanfaatkan rahangnya untuk mengambil getah pohon untuk melindungi sarang dari serbuan rayap. Lebah betina meninggalkan sarangnya berulang kali untuk mencari resin. Resin ini didapatkan dari tanaman seperti Anisoptera thurifera untuk membuat sarang di dalam sarang rayap Microcerotermes amboinensis yang mungkin telah berfungsi untuk menyembunyikan keberadaan mereka bahkan dari penduduk pulau.

Rahang besar lebah membantu pengumpulan resin, lalu kemudian membuat bola-bola besar dari resin yang dipegang di antara rahang. Sarang biasanya terdiri dari satu kolom panjang berupa sel. Sel-sel  dibangun secara berurutan dari bagian terdalam terowongan ke arah luar. Lebah betina menempatkan telur di setiap sel dengan pasokan makanan, umumnya serbuk sari, kadang-kadang dicampur dengan nektar.

Larva menetas dari telur dan mengkonsumsi persediaan makanan yang terdapat di dalam sarang. Setelah moulting beberapa kali, ia membentuk kepompong, dan kepompong setelah beberapa bulan hibernasi menjadi prepupa lalu keluar dari sarangnya saat dewasa. Lebah  jantan, yang biasanya lebih kecil akan mati setelah melakukan perkawinan, sedangkan lebah betina bertahan selama beberapa minggu, selama waktu itu mereka membangun sarang yang baru. 

Robin Moore, seorang ahli biologi konservasi dari Global Wildlife Conservation, menjelaskan sangat penting bagi para pemerhati lingkungan untuk membuat pemerintah Indonesia sadar pada lebah dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi spesies serta habitatnya. Penemuan ini sebenarnya berisiko karena menarik para kolektor lebah yang memang menjadi salah satu ancaman kepunahan serangga. Itu sebabnya, para peneliti sepakat tidak mengungkapkan lokasi pulau penemuan Wallace. Mereka ingin melindungi konservasi lebah langka tersebut.

Kendati jenis asli dan endemik Indonesia, namun koleksi ilmiah lebah raksasa Wallace belum tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense sebagai pusat depositori nasional sekaligus merupakan museum zoologi terbesar di Asia Tenggara. Dari 29.794 nomor koleksi bangsa Hymenoptera (lebah, tawon dan semut) terdapat 4.368 nomer koleksi lebah (Apidae).

Namun hanya beberapa koleksi lebah dari marga Megachile yang memiliki mandibula besar, yakni di antaranya adalah  Megachile clotho, Megachile  lachesis, Megachila catinifrons, dan Megachile disjuncta. Tidak terdapat satupun koleksi Megachile pluto (lebah raksasa). Hal ini perlu menjadi perhatian bagi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk dapat memprioritaskan penemuan jenis-jenis langka dan endemik agar dapat menjadi referensi ilmiah bagi masyarakat Indonesia dan internasional. Lebah raksasa Wallace sendiri telah masuk dalam kategori rentan (vulnerable) dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Perlu upaya konservasi yang terukur pada masa mendatang agar dapat memastikan kelangsungan hidup jenis tersebut dan habitatnya. 

LIPI mendukung upaya semua pihak termasuk peneliti, pengamat, konservasionis, dan pihak lainnya baik dalam maupun luar negeri untuk bersama-sama memberikan perhatian kepada kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus melakukan upaya penyelamatan berbagai jenis-jenis endemik Indonesia serta jenis-jenis yang terancam punah. LIPI juga menghimbau semua pihak yang ingin berkontribusi dalam upaya pengungkapan keanekaragaman hayati, penyelamatan jenis dan habitatnya untuk menghormati dan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.

Dengan menjadikan lebah sebagai garis depan konservasi, keberadaan spesies ini memiliki masa depan yang lebih cerah dibandingkan jika kita membiarkannya diam-diam mengumpulkan, punah, dan menjadi terlupakan.

Menurut Simon Robson, anggota tim dan profesor di Universitas Sydney, penemuan ini membangkitkan kembali harapan bahwa hutan lebah di kawasan tersebut menjadi rumah bagi spesies yang sangat langka ini. Di tengah kepunahan serangga global, sungguh menakjubkan melihat lebah ikonik Indonesia ini bisa bertahan.penemuan ini dapat memicu penelitian selanjutnya. Sejarah kehidupan lebah tersebut juga dapat memberikan informasi dalam usaha melindunginya dari kepunahan. Apakah kita sebagai bangsa Indonesia turut peduli?(red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT