Home / Berita / Pendidikan

Mahasiswa Desak Ketua STKIP Kie Raha Ternate Bertangung Jawab Atas Masalah Kampus

15 Februari 2021
Suasana aksi di Kampus STKIP Kie Raha Ternate

TERNATE, OT- Sejumlah mahasiswa STKIP Kie Raha Ternate dari berbagai Program Studi (Prodi) yang mengatas nama Aliansi Mahasiswa STKIP menggugat, mendesak Hi. Sidik Siokona bertangung jawab atas masalah kampus.

Kordinator Lapangan (Korlap) Aliansi Mahasiswa STKIP Kie Raha Ternate Menggugat, Firman La Rudu mengatakan, STKIP Kie Raha Ternate memiliki sejumlah masalah terutama persoalan sarana dan prasarana yang berhubungan dengan kebutuhan mahasiswa di kampus.

Menurutnya, fasilitas itu berupa penyedian  buku diperpustakan kampus, fasilitas laboratorium belum lengkap, ketersedian jaringan internet, kantin, serta tenaga pendidik (dosen) jarang mengajar.

Selain itu, persoalan sarana dan prasarana di kampus, masalah status akreditasi Lembaga Perguruan Tinggi STKIP Kie Raha Ternate yang sampai saat ini belum diselesaikan oleh pihak kampus di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (BAN-PT).

“Masalah akreditasi merupakan persoalan pokok yang mengancam keberlangsungan akademik serta merugikan mahasiswa, kalau kita mengacu Permendikbud No 7 tahun 2020,"ujar Firman kepada indotimur.com, Senin (15/2/2021).

Permendikbud Tentang pendirian, perubahan, pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan pendirian, perubahan pencabutan izin Perguruan Tinggi Swasta pada bagian kedua ada sanksi administratif berat pasal 71, salah satunya huruf (a).

"Perguruan Tinggi atau Program Studi (Prodi) yang tidak terakreditasi mengeluarkan gelar akademik, gelar vokasi, dan profesi, diperkuat lagi dibagian ketiga pasal 72 poin (3) sanksi adiminstratif berat terdiri poin (a) penghentian pembinaan, (b) pencabutan izin studi, poin (e) pembubaran PTN pencabutan izin PTS,"ujar Firman

Dia menambahkan, selain itu, kehadiran Lembaga Pelatihan dan Keterampilan (LPK) merupakan lembaga kursus di bawah naungan Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Maluku Utara (Malut) indonesia (YPSDM-MUI).

Dalam lima tahun menjalankan visi dan misinya terhitung sejak 2015 sampai sekarang status LPK masih dipertanyakan, sebab kehadiran LPK tanpa dilakukan sosialisasi kepada mahasiswa, sehingga mahasiswa merasa bingung.

“Kami menilai lembaga tersebut tidak memiliki izin pendirian operasional yang jelas, karena keberadanya sangat tertutup dan terbuka hanya mahasiswa STKIP, oleh karena itu kami pertanyakan kejelasannya," tegas Firman.

Lanjutnya, jika lembaga LPK memiliki legalitas yang jelas mengapa rekrutmen peserta kursus sangat terbatas pada mahasiswa STKIP, pada hal lembaga tersebut merupakan lembaga independen di luar STKIP.

“Mahasiswa yang lulus wisuda kemudian mengambil Ijazah dan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI), wajib memperoleh tiga sertifikat, diantaranya sertifikat Komputer, Statistik dan Bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut,” katanya.

Ia mengaku, LPK belum memiliki sarana prasarana namun dapat menjalankan program dengan cara meminjam sarana kampus. Parahnya lagi, mahasiswa selama ini tidak mengikuti pelatihan tapi mendapatkan tiga sertifikat dengan cara membayar Rp750.000.00.

"Kami nilai pemberian nilai dan sertifikat dengan melakukan pembayaran tidak sesuai prosedur, tapi ini bagian dari praktek pembodohan kampus terhadap publik," katanya.(ded)


Reporter: Dedi Sero Sero
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT