Home / Opini

Sketsa Negara Hukum dan Kebebasan Sipil: Menelaah Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

17 Desember 2020

Oleh: Pradikta Andi Alvat, SH,. MH

(Penulis buku "Hukum dan Daulat Rakyat Sebuah Ironi")

KEBEBASAN beragama dan berkeyakinan dalam perspektif konstitusi Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) merupakan hak konstitusional. Hak yang dijamin oleh hukum dasar (konstitusi). Hak yang kemudian menjadi dasar validitas dan mengandung nilai imperatif-kategoris bagi peraturan perundang-undangan dibawahnya untuk mengatur secara lebih teknis (substansi dan operasional) bagaimana hak-hak konstitusional tersebut dapat terlaksana.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak konstitusional tegas tertuang dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali”.

Kemudian Pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya”. Pasal 29 ayat (2) “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”. Terlebih, dalam sudut pandang hak asasi manusia, hak beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tergolong sebagai non-derogable right atau hak yang tidak boleh dibatasi oleh negara dalam kondisi darurat sekalipun kecuali memenuhi ketentuan Pasal 28 J ayat (2). Hal ini tegas tertuang dalam Pasal 28 I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Selanjutnya, menurut Pasal 28 I ayat (4) “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Substansi Pasal ini memberikan amanat konstitusional kepada negara terutama pemerintah untuk melakukan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia termasuk dalam hal ini hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki tanggung jawab yuridis-konstitusional untuk memastikan bahwa setiap orang dapat menikmati hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Secara teoritis, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sendiri termasuk dalam golongan hak asasi manusia yang bersifat negatif, hak yang pemenuhannya akan optimal manakala terdapat minimalisasi campur tangan negara. Artinya, negara hanya sekadar berperan sebagai guidance dengan segala kapasitas sumber daya dan aparatur yang dimilikinya untuk melindungi dan memastikan bahwa implementasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat terpenuhi. Negara tidak boleh memaksa dan mengatur seseorang dalam menentukan agama dan keyakinannya. Peran negara hanyalah sebatas memastikan dan melindungi bagaimana setiap orang bisa menikmati hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai praksis hak konstitusional.

Dalam dimensi horizontal, setiap orang juga memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bagaimana hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat terpenuhi. Setiap orang tidak boleh melakukan diskriminasi dan intimidasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia orang lain. Secara praksis-instrumental, pemenuhan hak asasi manusia sendiri, selain membutuhkan peran dari negara juga memerlukan adanya pemenuhan kewajiban asasi yang dilakukan oleh setiap orang. Mustahil suatu hak asasi manusia dapat terpenuhi tanpa orang lain melakukan pemenuhan terhadap kewajiban asasinya. Maka dari itu, dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

Praksis dalam Ruang Sosial

Di atas kita telah membahas mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam tinjauan konstitusi dan hak asai manusia (das sollen). Selanjutnya, kita akan membahas bagaimana praksis kebebasan beragama dan berkeyakinan secara real dalam realitas ruang sosial (das sein).

Menurut survei yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2018 lalu, ternyata menghasilkan fakta yang mencengangkan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Menurut temuan Setara Institue, sepanjang 2018 terjadi 160 peristiwa dan 202 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di 25 provinsi di Indonesia. Dari 202 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, 72 diantaranya merupakan tindakan yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktornya.

Rinciannya, pemerintah daerah dengan 29 tindakan, kepolisian sebanyak 17 tindakan, institusi pendidikan 8 tindakan, TNI 5 tindakan, dan wilayatul hisbah 5 tindakan. Tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan mawujud dalam bentuk: 39 tindakan diskriminasi baik dalam kebijakan maupun non-kebijakan, kemudian kriminalisasi 9 tindakan, dan pelarangan keagamaan sebanyak 3 tindakan.

Sementara itu, dominasi pelaku pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan justru dilakukan oleh aktor non-negara. Tercatat terjadi 130 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dilakukan oleh aktor non-negara yakni individu, kelompok, maupun organisasi masyarakat.

Dari 130 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, aktor non-negara yang menduduki peringkat tertinggi adalah individu sebanyak 46 tindakan, kelompok warga sebanyak 32 tindakan, MUI 22 tindakan, ormas keagamaan 15 tindakan, dan ormas lainnya 11 tindakan. Tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh aktor non-negara mawujud dalam bentuk intoleransi sebanyak 25 tindakan, pelaporan penodaan agama sebanyak 23 tindakan, serta tindakan lainnya seperti, penolakan pendirian rumah ibadah, ujaran kebencian, hingga gangguan aktivitas keagamaan.

Pada bulan Januari lalu, Setara Institute juga merilis hasil survei terkait pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi (2014-2019). Setara Institute mencatat, sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi terjadi 846 peristiwa dan 1.060 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Jika kita telaah temuan dari Setara Institute di atas, penyebab terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah karena kurang optimalnya peran negara sebagai guidance kebebasan beragama dan berkeyakinan serta intoleransi primordialistik(agama)-mayoritasme dalam ruang sosial.

Hasil survei yang dikemukakan oleh Setara Institute di atas tersebut tentunya menjadi alarm bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi tantangan serius bangsa Indonesia ke depan. Prinsipnya, bangsa majemuk ini harus bisa kembali membangun sebuah ekosistem ruang sosial yang kondusif dan akomodatif terhadap ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai konsekuensi hak konstitusional, hak asasi manusia, dan realitas kemajemukan bangsa.

Pemerintah sebagai pemegang amanat konstitusi hendaknya merestorasi diri agar berperan lebih optimal sebagai guidance kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis guna melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Misalnya, menghapus kebijakan dan peraturan formal yang berpotensi menghambat kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menekankan pendekatan soft approach (kultural-persuasif) dalam menyelesaikan problematika-problematika terkait ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Kemudian individu, masyarakat dan civil society harus membangun sebuah ruang sosial yang inklusif dan sinergis dengan mengejawantahkan Pancasila sebagai civil religion. Sebagai civil religion, Pancasila merupakan elektisasi dari nilai-nilai etika sosial dan spiritual yang harus menjadi pedoman perilaku dalam ruang sosial. Tidak mudah memang membangun ruang sosial yang inklusif dan sinergis, butuh proses internalisasi nilai-nilai kebajikan secara repetitif, keteladanan, dan waktu yang tidak sedikit.

Namun, sebagai bangsa majemuk yang “konon” beradab, bangsa ini harus terus belajar, berkontemplasi, dan memelihara keyakinan untuk membangun rumah nan besar bernama Indonesia ini sebagai hunian (ruang sosial) yang inklusif dan nyaman bagi seluruh anak bangsa.

(red)


Reporter: Tim

BERITA TERKAIT