Home / Opini

OPINI : RUU TINDAK PIDANA TERORISME DAN PERMASALAHAN YANG MELATARINYA.

Maulana Patra Syah
14 Mei 2018
Maulana Patra Syah

RUU TINDAK PIDANA TERORISME DAN PERMASALAHAN YANG MELATARINYA.

Dari rentetan kajadian teror belakangan ini, beberapa kalangan mendesak agar segera mengesahkan RUU Anti Teror yang saat ini masih di DPR pembahsannnya. Pertanyaannya, apakah dengan dua peristiwa teror terahir ini, perlu dijawab dengan segera mengesahkan RUU TIndak Pidana Terorisme Teror?

Bahwa UU Anti Teror kita memang perlu di revisi, Ya.  karena, semenjak Bom Bali yang mengharuskan Pemerintah mengeluarkan PERPU untuk mengatasi persoalan Bom Bali kala itu. RUU tersebut dipandang sudah ketinggalan dengan prilaku teror yang kian meningkat. Namun merevisi sebuah UU haruslah berhati-hati dan cermat, karena norma UU tersebut selain mengatur secara umum juga di dalamnya terdapat nomra sanksi pidana dan sanksi pemaksa fisik, maka harus dialkukan dengan hati-hati dan tidak secara emosional. Selain itu harus mengandung kejelasan unsur yang jelas dan detail juga tepat: Mulai dari kejelasan subyek normanya, jelas operator normanya, jelas obyek normanya hingga jelas kondisi normannya. Selain itu, harus mengandung asas kemanusiaan dan tidak menabrak prinsip-prinsip hukum pidana.

Sekilas melihat draft RUU Anti Teror saat ini memang masih ada ketidakjelasan dalam unsur perumusannya dan berpotensi menjadi karet dalam penerapannya, karena atribusi kewenangan yang diberikan kepada aparatur penegak hukum melalui revisi RUU tersebut sangatlah subyektif sehingga menabarak prinsip-prinsip hukum pidana dalam Pasal 17 KUHAP (asas minimum pembuktian dalam upaya melakukan upaya paksa fisik) dan asas kemanusian dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Saya mencatat ada kurang lebih 11 Pasal yang menuai persoalan dalam perumusan unsur RUU tersebut. Dua pasal diantarannya adalah  Pasal 13A Jo 43A RUU aquo. Pasal tersebut selain menabrak UU No 12/2011 dan KUHAP juga, bertentangan dengan DUHAM pasal 18, 19, 20 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pasal  18, 19, dan 21 mengenai kebebasan berpikir, pendapat,  berekspresi, dan berkumpul. Dan Bertentangan dengan pasal 28E dan 28I  UUD 1945.  

RUU Anti Teror ini juga berpotensi melanggar  Kovenan Internasional tentang Hak Sipil  dan Politik Pasal 9 tentang kebebasan dan keamanan pribadi dimana tidak ada  seorangpun dapat ditangkap atau ditahan sewenang-wenang.

Selain itu, potensi pelanggaran hak dapat terjadi karena ada subjektivitas aparat penegak hukum di lapangan seperti pada serangkaian aksi massa untuk menuntut haknya seperti kelompok buruh atau kelompok masyarakat yang ditujukan  pada kelompok tertentu seperti korporasi  atau pejabat pemerintahan. Mereka dapat dikategorikan oleh negara sebagai  kelompok yang merendahkan harkat dan martabat sehingga bisa dijerat UU Anti Teror.

Ada prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dilaksanakan penegak hukum dalam setiap penyelenggaraan tugasnya, termasuk dalam hal melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana Terorisme.

Penyidik (dalam hal ini kepolisian) antara lain dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun saat melakukan penangkapan. Tersangka berhak bebas dari penangkapan sewenang-wenang. 

Dalam hal penangkapan harus bersandar pada pada Pasal 17 KUHAP: (1) seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; (2) dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Sehingga penegak hukum tidak boleh melakukan upaya penangkapan tanpa didasari oleh dua alat bukti yang cukup, apalagi kepada seseorang yang belum ditetapkan menjadi tersangka. Setiap orang berhak bebas dari penangkapan yang sewenang-wenang. Dalam RUU Tindak Pidana Terorisme, Pasal aquo, selain multi tafsir juga mengabaikan unsur pembuktian minum dalam melakukan penakapan yang diatur dalam Pasal 17 KUHAP.

Sehingga menjadi wajar kalau isi draf RUU tersebut saat ini ditolak berbagai kalangan. Revisi RUU Anti Teror perlu dilakukan namun, harus memperjelas adresat normanya (unsur normanya), berikut norma primer dan sekunder dalam RUU tersbut termasuk memperhatikan prinsip-prinsip hukum pidana.

 

Maulana Patra Syah

14 Mei 2018(thy)


Reporter: Fadli

BERITA TERKAIT