Home / Opini

Oberal Janji Elit Di Tahun Politik

Oleh: Abd Rahman Daud Prodi Imu Pemerintahan Fisipol UMMU Ternate
20 Januari 2019

Indonesia di lihat dari sejarah masa lalu, merupakan tuntutan bagi partisipasi publik di dalam proses-proses politik setelah demokrasi perwakilan yang di bangun pasca runtuhnya pemerintahan Orde  Baru (Orba), di anggap tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara keseluruhan,  mengapa demikian? karena setelah terpilih, para wakil rakyat berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Sehinga KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) terjadi dimana-mana tentunya akan berefek ditiap-tiap daerah. 

Yang sudah menjalankan demokrasi perwakilan karena setelah Orde Baru (Orba)  beralih ke reformasi,  semua sistem politik disentralisasi pusat diarahkan ke disentralisasi daerah otonom, apa bilah kita mengukur sejauh mana sebuah aktivitas politik akan berpengaruh terhadap proses pembuatan dalam pelaksanaan pemilu, contoh konkritnya misalkan sekarang lagi hangat publik  mewacanakan momen politik baik isu yang tersebar lewat media masa maupun wacana di lintas kelompok masyarakat sanggat masif. 

Tentunya ini menjadi ruang bagi elit -elit politik untuk berafilisiasi mencari dan membentuk basis masa lewat distribusi masing-masing tim untuk bekerja merangkul satu sama lain mencari suara dengan menghalalkan berbagai janji manis. 

Aristoteles, (2014:01) dalam bukunya Andrew Heywood, mengatakan,  bahwa hal ini menjadikan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan pokok yaitu, segala aktivitas di mana manusia berusaha untuk meningkatkan kehidupan mereka dan menciptakan masyarakat yang baik dan yang terpenting, politik adalah sebuah aktivitas sosial, ia selalu merupakan dialog, dan tidak pernah monolong. 

Berangkat dari pernyatan diatas maka saya berasumsi bahwa para elit politik harus membangun komunikasi politik yang baik serta santun berdasarkan,  tujuan dan hakekat politik sesunguhnya sehingga terkesan membangun kesadaran masyarakat berpolitik secara utuh persoalan penentuan pilihan masyarakat dalam mengatakan sikap politik itu hak mereka. 

Yang diinginkan hanya satu ketika para elit elit yang notabene mampu bertarung di dunia pangung politik hanya satu, kalaupun mereka sudah terpilih dan kembali duduki jabatan strategis maka konsep kesejahtraan itu kiranya penting untuk di perioritaskan. 

Namun sering kita jumpai dan lewati momen pemilu tetap saja kita temukan dinamika politik yang kesan berupa janji  masih sanggat kental diberlakukan pada masyarakat bagi,  "saya esensi para aktor aktor politik sekarang tidak benar semua indikatornya adalah mereka tak mampu mengimplementasikan segalah bentuk janji manisya di hadapan masyarakat yang ada hanya kebohongan semata. 

 Kemudian  kebiasan  buruk bagi elit- elit politik menjelang   momen pemilu, taktik dan metode selalu mereka gunakan dalam meraih kedudukan kekuasan itu dengan cara menghalalkan berbagai macam cara misalnya pemberlakuan meni politik. "Politik Uang". Sebagai bahan untuk melegitimasi kepentingan menjejaring kekuatan basis masa sadar ataukah tidak, metode seperti ini bisa membunuh dan meracuni kesadaran masyarakat dalam berpolitik. 

Kehadiran momen pemilu  aktor-aktor elit kembali hadir dan menjelajah zona pangung perpolitikan, seiring waktu berjalan maka semakin pula mereka merumuskan metode dan menghiasi berbagi macam gaya politik, cara yang mereka gunakan masih berkiblat pada jurus lama buktinya banyak poster poster baliho terpampang di tempat tempat strategis. Tujuanya menghipnotis masyarakat visi misi penuh berbau kumuh dan dosa namun mereka tidak menyadari itu, sebuah fakta riil seiring  saya temui tidak ada perkatan elit itu benar kiranya lisan dan tindakan perlu harus dipatuhi serta di uji. 

Teradisi berpolitik dianalogikan seperti pusat pemasaran di dunia perdagangan mengapa demikian? Karena disana proses teransaksi mulai berlaku, dari sisi finansial, maupun  materi-materi lainya yang menjadi kebutuhan masyarakat semua dapat tersalurkan sesui permintan masyarakat, jadi terkesan  hukum pasar diberlakukan di dunia politik. label atau identitas para elit-elit politik memeliki corak berbeda-berbeda sehingga kontradiksi aturan permainan politik, mulai bercampur adukan dengan konsep ngobral janji dan hanya memberi ilusi kepada masyarakat. 

 Sejarah historis berhubungan dengan kesenangan para elit elit politik, tentunya hal semacam ini menjadi antisipasi bagi masyarakat bahwa  moment pemilu 2019 mendatang ini, merupakan ikhtiar bagi masyarakat dalam mengikutsertakan merayakan pesta demokrasi, menjaga kemungkinan hal ini terulang kembali karena efek dari politik bisa melahirkan potensi konflik dilintas individu satu ke individu lain kelompok satu ke kelompok yang lain sanggat besar, hubungan sosial sifatnya harmonis dibangun bersusah payah akhirnya retak akibat dari perselisihan perbedaan politik, jiwa gotong royong pun pudar dengan sendirinya akibat dampak politik. 

 Dimana kita ingin  merdeka kalau arah dan tujuan berpolitik seperti ini terus,  bukankah pilihan politik dibangun berdasarkan kehendak dan kesadaran masyarakat sendiri tampa harus diintervensi oleh siapa pun terutama elite elit politik, kalaupun cara itu tetap diberlakukan dalam ranah  berpolitik, maka saya akan bertanya apakah sampai sekarang kesejahteraan masyarakat suda terpenuhi? Kalau memang suda terpenuhi di mana dan kapan kesejahteraan itu berada di tangan masyarakat?. 

Kenapa masih ada kegelisahan maupun keluhan masyarakat terdengar di telinga saya, apakah salah jikalau kita bertujuan untuk membawa masyarakat maka cita cita demokrasi harus di nomor satukan, sehingga masyarakat dapat menikmati kesejahtraan. oleh karena itu dengan adanya problem semacam ini maka sudah barang tentu menjadi cerminan dan ikhtiar bagi kita semua menghadapi pemilu 2019 mendatang.  

 Melalui kegilisahan dan keresahan Masyarakat mereka berharap momen kali ini, para elit-elit politik harus mengutamakan kepentingan masyarakat, karena yang menghasilkan objek dari demokrasi itu dari elit-elit melalui demokrasi perwakilan, dan bisa untuk memperbincangkan tentang kegiatan tersebut. 

Agar masyarakat juga paham terkait kinerja di sebuah birokrasi ketika pembahasaan mengenai program kerja di suatu sistem  Lembaga Pemerintahan, maka hukumya masyarakat bisa menyodorkan aspirasi dan inspirasi mereka, sehingga terkesan masyarakat mengetahu arti dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) terjadi di dalam Lembaga Pemerintah.(ded)


Reporter: Dedi Sero Sero

BERITA TERKAIT