Home / Opini

MENGENAL PENYEBAB TERSEBARNYA KONTEN NEGATIF DI MEDIA ONLINE

Oleh: Minhajuddin Kasman AR, (Mahasiswa MagisterTeknologi Informasi Universitas Indonesia)
08 April 2019

MEDIA online merupakan salah satu hasil dari perkembangan teknologi informasi. Berdasarkan UU ITE No. 11 Tahun 2008, dengan berkembangnya teknologi informasi diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi yang ada untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan antar sesama. Walaupun undang-undang tersebut juga telah memberikan peraturan dan regulasi terkait penggunaan teknologi informasi untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia, kenyataannya masih banyak kasus penyalahgunaan yang terjadi terutama penyebaran konten negatif dalam media online.

Berdasarkan siaran pers No. 08/HM/KOMINFO/01/2019, sepanjang tahun 2018 KOMINFO telah menangani 984.441 konten negatif yang tersebar di media online. Dari angka tersebut, 91% di antaranya merupakan konten pornografi, 8% di antaranya adalah perjudian dan 1% lainnya merupakan penipuan, terorisme/radikalisme, SARA, dll. 984.441 bukanlah angka yang kecil, dengan angka ini kita dapat melihat bahwa 1 dari 20 penduduk Indonesia ikut serta dalam penyebaran konten negatif. Selain itu, Kemenkominfo juga menerima pengaduan dalam jumlah besar terkait konten negatif yang tersebar di media online. Tercatat di akhir 2018 Kemenkominfo menerima 1440 aduan di mana 733 di antaranya adalah pengaduan terhadap konten hoax.

Berdasarkan analisis yang kami lakukan, paling tidak terdapat  3 (tiga) akar masalah yang menjadi penyebab utama  penyalahgunaan media online yakni regulasi, pengguna dan teknologi.

Sisi Regulasi

Dari sisi regulasi, dalam menerapkan UU ITE dengan baik dan benar, butuh banyak peran baik dari Pemerintah maupun pihak-pihak yang terlibat dalam teknologi informasi seperti komunitas dunia maya, operator, pembuat aplikasi, para praktisi dan akademisi di bidang teknologi informasi. Perlunya kontribusi mereka dalam hal memantau, mengelola, dan menangani lalu lintas dari aktivitas yang ada di internet. Dengan koordinasi dan kolaborasi yang baik, maka akan menyulitkan bagi para pelaku kejahatan dunia maya (Maulana, 2010).

UU ITE sebagai payung hukum dalam aktivitas informasi dan transaksi elektronik harus dilengkapi dengan hukum lain yang ada, bukan malahan menjadi kontradiktif dengan hukum lain tersebut. UU KUHAP 8/1981 dalam bagian 183 yang mengatur kasus pidana, menjelaskan bahwa setidaknya dua bukti yang sah harus diajukan di pengadilan untuk membuktikan peristiwa kriminal terjadi. Sedangkan keabsahan alat bukti digital masih diragukan oleh banyak pihak. Sebenarnya saat ini teknologi informasi telah menyimpan log yang berisikan atribut deskriptif tentang peristiwa masa lalu. Log menyediakan bahan faktual dan sumber penting yang membantu dalam rekonstruksi peristiwa. Ada berbagai jenis log seperti audit, log email, log server web, log router, log ISP, log berbasis jaringan lainnya dan log transaksi. Oleh karena itu, perlu dilakukannya standar prosedur dalam memastikan alat bukti digital agar dapat diandalkan dan diautentikasi. Penyelidik kejahatan juga harus dilatih dengan baik dalam penggunaan software, pendeteksian log, alamat MAC, dll (Maulana, 2010).   

Akar masalah

Sisi Pengguna
Selanjutnya adalah pengguna. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pernah melakukan survey terkait penetrasi dan perilaku internet pada tahun 2017. Dari survey tersebut, sejak tahun 1998 hingga 2017 pengguna internet di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat hampir 150 juta pengguna internet pada tahun 2017. Pada survey yang sama, APJII juga menghitung persentase tren penggunaan internet masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah, dua tren yang paling bayak digunakan pengguna internet Indonesia adalah chatting (89,35%) dan media sosial (87,13%). Tidak heran, banyak konten negatif yang disebar melalui media sosial seperti facebook, twitter, dll.

Pengguna internet yang juga penyebar konten negatif saat ini sedang berada di persentase yang tinggi mengingat bangsa kita sedang berada di masa akhir kampaye pemilu. Serangan demi serangan baik dalam bentuk verbal, penyebaran hoax, dan lain-lain dilakukan untuk menarik massa. Hal menjijikan seperti ini biasanya dilakukan sekelompok pecundang yang bersembunyi di balik identitas palsu. Pengguna internet seharusnya dapat menjaga norma-norma dan peraturan yang berlaku sehingga kenyamanan dan keamanan dalam berkegiatan di media online dapat terjamin. Namun kenyataan malah bertolak belakang dengan harapan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kemudahan akses dan minimnya batasan yang diberlakukan penyedia media sosial, banyak individu yang memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari kondisi seperti ini. Pelaku konten negatif dengan identitas palsu dan anonim (tanpa identitas) akan merasa aman dan tidak dikenali saat menyalahgunakan media online. Mereka beranggapan bahwa dengan tidak dikenalinya identitas asli maka jati diri mereka dapat disembunyikan.

Walaupun secara kasat mata identitas asli pelaku konten negatif tersembunyi, rekam jejak digital pelaku akan tetap tercatat dalam log. Upaya penanganan masalah ini dapat dilakukan dengan menjalankan proses pelatihan, pengujian dan pembentukan dataset untuk diidentifikasi. Pada proses ini, investigator dapat melihat data berdasarkan IP geolocation dan DNS blacklist sehingga pelaku konten negatif dapat dilacak (Cahyanto & Prayudi, 2014).

Masih dari akar masalah pengguna, saat ini masih banyak pengguna media online yang secara tidak sadar telah berpartisipasi dalam penyebaran konten negatif. Hingga saat ini penyebaran konten hoax di Indonesia tergolong besar dan semakin sulit dikendalikan. Salah satu penyebabnya adalah sifat dari masyarakat Indonesia sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Juliswara (2017), sulitnya menangani pelaku konten hoax disebabkan oleh kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia yang suka berbagi. Kebiasaan ini awalnya hanya sering muncul saat berinteraksi sehari-hari di ‘dunia nyata’, akan tetapi dengan berkembangnya teknologi maka sifat-sifat seperti menjadi terbawa ke dalam cara mereka berkomunikasi dalam media sosial.

Selain sifat masyarakat yang suka berbagi, hal lain yang menjadi faktor cepatnya suatu berita hoax tersebar adalah karena minimnya minat baca masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang diselenggarakan pada tahun 2012 terkait minat baca terhadap 61 negara, Indonesia menduduki peringkat kedua terendah setelah Botswana dengan angka 0,001%. Kebanyakan masyarakat hanya membaca headline tanpa menelaah konten dari suatu berita apalagi mencari tahu kebenaran dari berita tersebut. Ketika kondisi ini dipadukan dengan sifat suka berbagi masyarakat Indonesia, berita hoax akan dengan tersebar tanpa membutuhkan waktu yang lama.

Untuk mengatasi hal ini, Juliswara berpendapat bahwa dengan melakukan pendekatan sosiologis terhadap hoax, permasalahan seperti ini dapat diminimalisir. Baginya, sosiologi dapat memfokuskan dan menganalisis sudut pandang masyarakat terkait komunikasi, kerja sama dan upaya penyelesaian masalah. Selain itu, edukasi terhadap masyarakat juga diperlukan untuk mengembangkan literasi media melalui aktivitas seperti sosialisasi bagaimana cara mengakses dan memilih konten yang bermanfaat. Dengan tujuan utama memberdayakan masyarakat, literasi media dianggap penting karena menjadi penunjuk arah saat mengarungi luasnya media agar masyarakat tidak menjadi korban (Brow, dalam Juliswara, 2017).

Selanjutnya, peningkatan minat baca masyarakat Indonesia juga diperlukan supaya masyarakat dapat lebih kritis dalam memproses informasi yang didapat dari media online. Bagi Suparno (Saleh, 2006), minat baca diukur dari frekuensi dan jumlah bacaan masyarakat. Dalam rangka mengatasi masalah ini, perlu diadakan pendidikan sejak dini terutama dari masyarakat, keluarga dan sekolah. Tempat baca baik secara online dengan menggunakan platform-platform seperti Google Play Book dan penyedia e-book lainnya maupun secara offline dengan memberdayakan perpustakaan dan taman baca menjadi langkah yang baik dalam upaya peningkatan minat baca masyarakat.

Sisi Teknologi
Dala akar masalah teknologi, kita saat ini sadar bahwa kita tengah dikelilingi oleh banyak teknologi canggih. Untuk itu diperlukan teknologi yang bisa menjadi komplemen bagi teknologi yang telah digunakan sekarang ini untuk menanggulangi konten negatif di media online dan internet. Pendeteksian konten negatif berbasis machine learning telah membuktikan tingkat keakuratan yang cukup tinggi, 95%, dalam mencegah suatu konten negatif di akses di media online atau internet.

Sebagai bagian dari penuntasan masalah konten negatif di media online dan internet proses penyaringan setelah terdeteksinya konten negatif diperlukan agar para penyelenggara atau pembuat konten negatif tidak dapat beroperasi di media online dan internet. penyaringan yang dilakukan saat ini oleh Kemenkominfo juga masih memperlihatkan kelemahan dikarenakan masih banyak jumlah penanganan oleh Kemenkominfo untuk konten negatif pornografi, sebanyak 800 ribu penanganan. Solusi machine learning dan AI (artificical intellegent) untuk penyaringan dan pemblokiran situs-situs yang berkonten negatif bisa menjadi komplemen bagi teknik penyaringan yang dilakukan sekarang.

Terdapat beberapa solusi yang bisa digunakan untuk menangani permasalahan dalam teknologi kita saat ini guna menghadapi penyebaran konten negatif di media online. Salah satunya adalah dari hasil penelitian Thomas M. Chen (2010). Beliau menulis penyaringan berbasis konten yang real time menyediakan dua kelebihan dibandingkan IP address atau URL blacklist. Yang pertama adalah penyaringan berbasis konten akan memeriksa website yang dituju ketika ada permintaan untuk mengakses website tersebut, tanpa harus menetapkan blacklist terlebih dahulu. Yang kedua, keputusan penyaringan dilakukan berdasarkan elemen-elemen yang ada di website tersebut.

Thomas M. Chen, juga menyatakan penyaringan berbasis konten biasanya akan berbasis machine learning ataupun AI (artificial intelligence) untuk membuat suatu website sebagai suatu kategori yang predefined. penyaringan berbasis machine learning atau AI (artificial intelligence) akan memeriksa berbagai macam elemen dari website, termasuk metadata, kata, gambar dan script. Dengan demikian solusi bagi lemahnya penyaringan konten media online ini adalah dengan mengimplementasikan penyaringan konten media online berbasis konten berbasis AI.(red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT