Home / Opini

GONJANG-GANJING POLITIK LOITEGLAS

Oleh: Faizal Ikbal (Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Komunikasi Politik UMJ)
17 Oktober 2019
Faizal Ikbal

PUBLIK terkejut, ketika melahap informasi tak sedap di surat kabar tentang, 14 anggota dewan dan Sekretaris Dewan (Sekwan) tidak turut hadir dalam sidang pengumuman pimpinan DPRD Kabupaten Halmahera Tengah.

Akrobatik politik yang tidak terpuji tersebut, berakhir pada penyegelan ruangan Sekwan DPRD oleh dua kader partai Golongan Karya (Golkar), Aswar Salim dan Hairuddin Amir. Dua diantara enam Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyukseskan Sidang pengumuman pimpinan DPRD.

Gonjang-ganjing politik loiteglas, tentu menuai diskursus politik yang makin lancip dan mengundang banyak Tanya dari khalayak umum, ada apa dibalik babak penyisian struktur kekuasaan di internal DPRD.? Ataukah, selayaknya kita mengajukan pendapat seperti ungkapan penulis Amerika, Doris Graber bahwa bahasa politik tidak selalu hadir pada bentuk komunikasi verbal dan tertulis melainkan peran gerak tubuh dan komunikasi non-verbal lainnya dipahami sebagai protes terhadap argumentasi keinginan politik yang tidak terjamah secara massif antara komunikator politik. Artinya, Drama politik 14 anggota dewan yang tidak hadir pada Sidang Pengumuman Pimpinan DPRD menunjukkan komunikasi Nonverbal atas sentimen distribusi kekuasaan di internal DPRD Halmahera Tengah.

Ketika menelisik hulu polemiknya, ternyata ada inter-kompetisi yang rumit terjadi pada Fraksi partai golkar, yang notabenen punya hak kuasa kursi ketua dewan. penunjukkan Sakir Ahmad (ketua DPD Golkar Halteng) sebagai Ketua dewan Kabupaten Halmahera tengah oleh DPP Partai Golkar membawa petaka dalam internal kader partai golkar halamhera tengah.

Akibat dari putusan tersebut, dikonsolidir dengan komunikator politik di partai lain, yang tidak hadir dalam kerumunan fisik tapi mungki saja migran ke dunia digital entah itu twiter, whatshapp, facebook, line, instagram dll. Lambat-laun menjadi Snowball yang menyita Mainstream Politics (arus utama politik) loiteglas. Ketika konflik internal ini, semakin meruncing dan tidak disudahi tentu akan berefek tak sedap pada konstituen politik yang nyatanya berharap akan adanya kepastian memproduksi keadilan rakyat, seperti cita-cita awal berdirinya intitusi penyandang aspirasi rakyat tersebut.

Voters berharap, ketika melegitimasi kedaulatanya pada kamar rahasia Pemilihan Umum Legisaltif, tidak lain adalah mereka dari pentolan partai politik untuk menyiapkkan oksigen kepentingan publik yang tidak terkabuti dengan keinginan elit pada kursi kekuasaan.

Hemat penulis, Orkestrasi politik 14 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di babak pertama parlemen, merupakan embel-embel aktor politik yang tidak merepresentasikan demokrasi elektoral. Sebab masih ada pekerjaan rumah anggota DPRD yang sangat penting untuk di lunasi. Misalnya, Komunitas adat Akejira yang mengais keadilan, prioritas perekrutan tenaga kerja lokal di lingkup PT IWIP dan WBN yang tak kunjung merata, Simpang-siur Izin Usaha Pertambangan, dan masih banyak lagi masalah yang semestinya DPRD menunjukkan taringnya sebagai pembela kepentingan Rakyat Halmahera tangah secara kolektif.

Sejauh ini, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum menunjukkan kontrol masif, komunikasi publik yang menjamah kepentingan arus bawah. Persepsi publik tersebut harusnya tidak berjalan sampai kesini, sehingga Trust Gedung DPRD yang berada di bukit loiteglas benar-benar menjadi Fidelity (jaminan kepercayaan) masyarakat.

Dalam kurva demokrasi politik, konflik elit politik itu memang normal akan tetapi diharapkan menjadi situasi konflik yang berujung pada konsensus akan terobosan paling penting dalam politik dan sudah seharusnya politik lokal mengarah ke politik makna, istilah politik makna merujuk ke pemikir Cliford Geerzt, The Politics Of Meaning. Dalam catatan penutup buku, Culture And Politics In Indonesia (1972) Geerzt memberikan pemahaman kepada kita menangkap ragam perjalanan politik indonesia sejak 1945 (kutip, dalam: Rashomon dalam labirin politik indonesia, M.Alfan Alfian).

Makna yang dimaksud, adalah catatan atau kesimpulan obyektif terkait peristiwa politik yang nyaris selalu hadir dalam intarnal anggota DPRD. Makna bukan mencari pembenaran atau justifikasi atas siapa yang berhak benar diantara Fahris Abdullah, Cs. (14 anggota dewan yang Absen dalam sidang Pengumuman Pimpinan DPRD) atau Sakir Ahmad Cs (6 anggota Dewan yang hadir).

Akan tetapi penegasan yang mengandung kewajiban dan tanggung jawab semua pihak untuk memproduksi aspek-aspek bagus mulai dari ekonomi, sosial dan budaya. Kesadaran 20 anggota dewan perwakila rakyat daerah akan tanggung jawab politik untuk kepentingan lebih besar atau aspirasi rakyat dan kemanusian yang harus dikondisikan di tengah kabut asap pragmatisme politik yang menutupinya. Pada akhirnya, pentas panggung politik daerah menemukan jalan sehat diantaranya dekat dengan kebudayaan dan mengadakan peradaban.(awie)


Reporter: Munawir Suhardi

BERITA TERKAIT