Home / Opini

BERCERMIN

Oleh: Hamdy M. Zen (Dosen PBA IAIN Ternate/Ketua DPW RPI Maluku Utara)
19 November 2021
Hamdy M. Zen

Wanita di dalam Bahasa Arab disebut dengan mar’ah. Hal ini sangat erat kaitannya dengan cermin. Sebab, Bahasa Arabnya cermin adalah mir’ah. Itulah sebabnya sehingga Wanita disebut dengan mar’ah. Mengapa? Karena biasanya Wanita cenderung untuk bercermin. Cermin itu sendiri, merupakan alat untuk melihat diri.

Cermin digunakan kita, baik perempuan maupun laki – laki, atau apa pun, yakni tidak lain dan tidak bukan adalah untuk “melihat diri sendiri”. Dalam hal ini, kita menggunakan cermin untuk melihat sejauh mana penampilan kita, baik dalam berpakaian / ber-make up. Ketika telah pas atau sesuai menurut kita, maka kita pun akan bersiap untuk memulai pekerjaan kita. Itulah kurang lebih fungsi cermin bagi segenap kita.

Sudah menjadi hal yang lumbrah bagi kita, bahwa sebelum berangkat kerja, kita biasanya akan bercermin terlebih dahulu, guna memastikan bahwa kita telah benar – benar siap dalam berpenampilan. Sehingga, Ketika keluar dari rumah menuju tempat kerja, tidak ada lagi hal – hal aneh yang seharusnya tidak terjadi di dalam penampilan kita. Dengan demikian, dalam melangsungkan proses pekerjaan, kita pun dengan sepenuh hati akan menikmatinya.

Adapun, terkait dengan pekerjaan tersebut, biasanya di dalam melangsungkan prosesnya di tempat kerja, acap kali kita disuguhkan dengan berbagai persoalan yang telah siap menyapa pelan diri kita. Lalu, membuat kita menjadi jenuh dan tidak bermood untuk bekerja. Lantas, pikiran – pikiran jahat mulai berdatangan, menghantui setiap lini ke-diri-an kita. Alih – laih menikmati, kita justru terkoptasi dan mulai mengingkari janji, tanpa kita sadari.

Prasangka tak baik, hingga Bahasa pahit pun, mengudara tinggi, bagai Pelangi berbaris rapi di bawah biru, langit Ilahi. Na’ujubillah. Pelangi itu indah. Ya betul indah. Namun jika Pelangi yang dimaksud adalah analogi barusan, maka keindahan Pelangi hanyalah nihil semata, tak ada apa – apa, bahkan tak bisa untuk dibanggakan darinya.

Lalu, bagaimana harusnya kita?

Kita harusnya mampu merealisasikan keindahan Pelangi di dalam kehidupan kita. Pelangi terlihat indah, disebabkan karena perpaduan beraneka warna menjadi satu. Warna – warna Pelangi, tidak pernah merasa paling indah sendiri. Masing – masing sadar diri, bahwa keindahan hanya akan terjadi, jika di antara mereka saling menyatu dan berpadu. Kapan Ketika dipisahkan, maka keindahan Pelangi tersebut, pasti tak seindah kini.

Pelangi mengajarkan kita arti perbedaan. Bahwa sesungguhnya berbeda itu indah. Berbeda tak seharusnya saling mencela, tapi harus saling menerima. Dengan begitu, keindahan hidup, pasti akan datang menghampiri, lalu menghiasi kita dalam mengarungi kemisteriusan ‘ajib, kehidupan dunia itu sendiri. Perbedaan, menurut para ulama, itu anugerah dan esensinya adalah niscaya. Maka tak semestinya kita terpecah, hanya karena persoalan “beda”.

Harusnya kita menikmati perbedaan di antara kita. Sebab, Kembali lagi ke esensi Pelangi tadi, bahwa Pelangi terlihat indah, karena perpaduan bermacam warna. Artinya bahwa, jika saja Pelangi disuguhkan, hanya dalam satu warna, maka Pelangi tak akan seindah ini. Hal ini mengajarkan kita bahwa, saling menerima di antara kita, walau kita berbeda “warna”, justru akan melahirkan keindahan yang sudah pasti menakjubkan.

Pembaca yang Budiman!

Balik lagi ke persoalan di tempat kerja di atas. Bahwasanya, terkadang di tempat kerja, bertumpuk berbagai macam masalah yang kian bertubi – tubi. Dari bertubi – tubi masalah tersebut, melahirkan sensi yang kian pula makin meninggi. Lantas, lirik sana lirik sini, lalu berakhir pada rasa, “mau menang sendiri”.

Dari sinilah cikal bakal terciptanya konflik yang berepisode nan panjang. Eksistensi menjadi terabaikan. Semua hanya mencari “menang”. Berbuat hanya untuk kepentingan. Di muka berkata sayang, di belakang “menendang dengan garang”. Putih tak lagi menjadi suci dan hitam pun sudah tak terpeduli. Berlomba meraih mimpi. Sayang, mohon maaf, mimpinya seperti mimpi yang tak berisi. Seperti ikan yang bermimpi, bisa hidup di tengah gurun pasir.

Masing – masing mulai bersuara. Menjelaskan tentang ini, tentang itu dan tentang segalanya, yang dianggap perlu. Mulailah menghidupkan kamera, untuk memantau siapa – siapa saja, yang termasuk di dalam “golongan hitam yang mencekam”. Mereka yang di luar “barisan” menjadi sasaran empuk tersalurnya Bahasa – Bahasa “silang” yang menggores hati, bagaikan “pukulan – pukulan telak” yang mendarat keras di wajah – wajah para petinju.

Pembaca yang mulia!

Ada apa dengan semuanya? Mengapa harus ada dinamika yang seperti ini? Dan kalua diperhatikan dengan seksama, kita akan melihat bahwa, dinamika kehidupan kita saat ini, hampir semuanya sama. Seolah system yang diterapkan adalah “sama, tidak ada bedanya”. Lembaga – Lembaga apa pun, menganut system birokrasi yang sama. Dunia Pendidikan, dalam hal ini perguruan tinggi misalnya, dinamika kantornya, walau tidak serratus persen, tapi seolah sama dengan kerja perkantoran pada umumnya.

Padahal di wilayah tersebut (Perguruan Tinggi), meminjam bahasanya Bang Agus SB, harusnya system yang dianut adalah mengakademikkan birokrasi. Bukan malah sebaliknya, mengbirokrasikan akademik. Ketika dunia akademik telah dibirokrasikan, maka yang ada, hanyalah kemunduruan sebuah perguruan tinggi yang kita dapatkan. Akreditasi unggul yang menjadi cita – cita bersama, hanya akan menjadi cita – cita yang mengada – ada belaka, yang justru mustahil bisa sampai tercapai. Hanya sebatas mimpi di siang bolong, seperti kata pepatah. Maka mari segera kita benahi Bersama, dengan saling bekerja sama, bukan sekedar dengan suara yang selalu memojok – mojokkan antara satu, dengan yang lainnya.

Bagaimana caranya?

Sangat sederhana. Ya caranya adalah dengan bercermin. Cermin sebagaimana yang telah dijelaskan di awal paragraph di atas, merupakan alat untuk melihat diri sendiri. Kata orang, kegagalan setiap kita, salah satu pengaruh besarnya adalah disebabkan karena kita terlalu cerdas dalam melihat kesalahan serta kelemahan yang dimiliki orang lain. Sementara, kesalahan dan kelemahan diri, sangat sulit bahkan sangat bodoh untuk dilihat diri sendiri.

Pernyataan tersebut, tidak sekedar Bahasa tulisan biasa. Faktanya, memang benar adanya. Walau pun mohon maaf, tidak semuanya begitu. Tapi, hampir Sebagian besar realitanya seperti itu. Oleh sebab itu, dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengajak kepada kita sekalian, terutama pribadi dan keluarga untuk marilah sama – sama kita bercermin.

Cermin yang dimaksud, bukan berarti menggunakan cermin sebagaimana fungsi dasarnya, tapi lebih kepada bagaimana kita melihat diri sendiri dan mengoreksi setiap kesalahan yang diperbuat serta memperbaiki segala kelemahan menjadi sebuah kekuatan Bersama, untuk sama – sama bahu membahu, memberikan yang terbaik buat diri dan bangsa melalui profesi masing – masing.

Berhentilah untuk memasang kamera dan memantau setiap perlakuan yang dilakukan rekan kerja. Biarlah kita berekpresi. Bukalah ruang yang sebesar – besarnya bagi kita untuk mengembangkan potensi diri. Tuntunlah kita ke jalan yang lurus. Beri masukan yang konstruktif. Jika Langkah yang kita Gerakkan menyerong ke “kiri”, maka cegahlah dan bawalah menuju ke arah yang “kanan”. Itu lebih baik, dari pada bersuara yang tak seharusnya. Sebab kita, bukan lagi anak belia. Kita adalah rekan kerja, yang butuh kerja sama.

Pembaca yang luar biasa!

Cermin mengajarkan kita untuk tetap diam. Diam untuk berpikir dan bangkit untuk bergerak dan bertindak. Bergerak memberi makna. Inilah yang seharusnya. Maka dari itu, sekali lagi penulis mengajak kepada kita sekalian, terutama diri pribadi dan keluarga, agar mari sama – sama kita mulai untuk bercermin dengan melihat segala kekurangan di dalam diri dan jangan lagi melihat kekurangan orang lain. Sehigga, setiap perbedaan di antara kita, kemudian menyatu dan terpadu, lalu memancarkan sinar kebenaran serta kibarkan warna keindahan. Seperti Pelangi, datang membawa warna, memberi senyum pada setiap yang Lelah. Tabea.

Ternate, 18 November 2021.

 (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT