Home / Opini

Bakeka Sebagai Tradisi Musiman

Oleh: Sukur Suleman Dosen UMMU Ternate Sekaligus Ketua LSM Saruma Lestari Institute Hal-Sel
08 Desember 2018
Sukur Suleman Dosen UMMU Ternate Sekaligus Ketua LSM Saruma Lestari Institute Hal-Sel

Bakeka sesungguhnya satu kata yang memang sulit diterima secara nalar pikiran, sebab dia mistis dan susah untuk di analogi, kemudian kata bakeka juga senantiasa tidak ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bahkan kamus ilmiah lainnya. 

Namun bakeka adalah sebuah istilah atau sebutan para orang tua-tua kita dulu yang biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang berniat jahat yang sebutan lainnya itu adalah fit-fit bagi suwanggi perempuan, dan bakoko bagi suwanggi laki-laki. Sehingga bakeka sama dengan basuwanggi. 

Pada konteks bakeka hari ini, memang jauh berbeda dengan bakeka yang di uraikan sebelumnya. Namun bakeka kali ini adalah bakeka musiman yang biasanya terjadi disaat momentum pemelihan Legislatif, dan potensi tradisi ini akan terjadi pada pileg 2019 mendatang.

Bakeka sebagai prilaku masyarakat yang biasnya mendatangi para calon-calon DPRD untuk mengharapkan sesuatu dari mereka berupa materi baik uang atau pakesan. Kondisi ini biasa kita temui pada kalangan masyarakat kita yang rata-rata pemili pragmatis. kalaupun pada pemili rasional ada juga kemungkinan tapi jarang kita temukan. ironisnya  yang terjadi antara bakeka dan yang di keka sama-sama saling "Baku Akal". Hal ini sangat mengganggu akal sehat kita dalam berdemokrasi.

Pada sisi lain nalar bakeka ini sesungguhnya terbentuk karena ada factor eksnya, dimana ada sebab dan akibatnya.  Jika dilihat dar prespektif politik ada kemungkinan rasa kekecewaan yang membekas, disebabkan karena janji politik yang tidak dipenuhi oleh calon DPRD. 

Saat berkampanye dan seketika terpilih mereka ini tidak lagi diperhatikan. Sehingga bisa jadi untuk periode ke dua atau calon DPRD yang baru, senantiasa yang terbangun adalah opini yang sama, yakni tidak ada bedanya yang dua periode dengan yang baru mencalonkan diri, semuanya pasti memiliki janji politik yang palsu, dan justru statemen yang berkembang saat ini di tengah-tengah masyarakat terutama pemilih pragmatis adalah “siapa yang di beri uang maka saya pilih”. Pada aspek   ini sesungguhnya adalah kesalahan berfikir yang melahirkan tindakan yang keliru. 

Olehnya itu sebagai Calon anggota DPRD harus mengkaji persolan ini, sehingga tidak lagi  berkembang sebagai suatu fenomena yang keliru dan menjadi aib politik. Untuk kedepan dalam materi-materi kampanye sebaiknya tidak terlau bicara soal janji politik, ketika terpilih akan lakukan ini, itu dan seterusnya. akan tetapi yang terpenting adalah mengajak masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, rasional, mencari solusi. 

 Dengan memperjuangan titik-titik kebijakan yang terukur dan bisa membantu masyarakat, misalkan dengan kondisi kopra yang anjlok, paling tidak ada gagasan terbaik bagaimana masyarakat dibentuk untuk mencari alternative lain dengan membuat tanaman bulanan yang harga pasarnya itu dimediasi oleh DPRD. Sebab sangat membantu masyarakat dalam mengingkatkan ekonomi keluarganya. 

Selanjutnya adalah soal isu pendidikan yang kemudian menjadi materi kampanye, mulai dari akses transportasi yang bermasaalah, anak putus sekolah samapai pada solusi penyelesaian soal biayah pendidikan. Ada kemungkinan pos-pos anggaran yang mestinya diperjuangankan ketika terpilh. Hal-hal sederhana beginilah masyarakat dengan mudah memahami maksud dan keingian kita sesungguhnya. Jangan meninabobohkan masyarakat dengan janji-janji, tetapi “mari kita berjuang bersama rakyat”.(ded)


Reporter: Dedi Sero Sero

BERITA TERKAIT