Home / Opini

Tanah Rakyat Atau Tanah Negara

Oleh : Masri Anwar (Penggiat Lingkingan Hidup)
10 Agustus 2020
Masri Anwar

Konflik tanah merupakan warisan budaya Orde Baru (Orba) yang banyak muncul disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang “lapar tanah” baik untuk fasilitas pemerintah, proyek besar, proyek konsumtif, maupun pengembangan perkebunan. 

Dalam proses pengambil alihan tanah “dikuasai” rakyat inilah yang terjadi konflik kepentingan antara petani sebagai pemilik tanah dengan korporasi atau pemerintah. Konflik kepentingan muncul dalam bentuk perlawanan dan gerakan protes. Sebab, kepentingan petani sering dikalahkan. Perlawanan petani dalam kekerasaan ini bisa dimaklumi karena tingkat kekecewaan mereka yang sudah sangat tinggi dan mendalam seperti bara api dalam sekam.

Perlawawanan petani sebagai upaya mempertahankan hak-haknya diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari protes bisu hingga dalam bentuk kekerasan. Perlawanan petani dalam kekerasan ini bisa dimaklumi karena tingkat kekecewaan mereka yang sudah sangat tinggi dan mendalam. Kekecewaan itu mereka salurkan setelah berbagai saluran formal tidak lagi memberi harapan. Olehnya itu, kekerasan yang dilakukan dalam memperjuangkan hak-haknya seharusnya tidak dipandang negatif, kekerasan merupakan satu-satunya senjata yang tersisa bagi masyarakat yang tidak pernah didengar keresahaannya atas intervensi, represi dan ketidakadilan, yang dilakukan baik oleh pejabat berwenang maupun para pemiliki modal.

Petani senantiasa berusaha dengan segala upaya untuk menggagalkan sampai petani merasa yakin bahwa subtansi mereka terjamin, selanjutnya akibat meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan, telah menggubah lapisan masyarakat kaya, di mana yang kaya menjadi kaya, sedangkan yang miskin tetap menjadi miskin dalam menghadapi hegemoni pemilik modal maupun negara. Protes petani hanyalah respon atas kondisi kurang adil yang tidak memuaskan mereka. Fenomena konflik tanah, khususnya tanah perkebunan disamping banyak masalah baru dan juga banyak masalah lama bersifat laten muncul kembali, memang harus diakui bahwa konflik tanah sifatnya sangat mendasar, kompleks, dan variatif karena menyangkut ekonomi, politik sosial, dan kultur.

Konflik penguasaan tanah terjadi hampir di seluruh pelosok tanah air, di mana terdapat investasi pertambangan. Persoalan yang mendasar terjadi akar konflik adalah penghargaan atas tanah serta pemberian konpensasi ganti rugi lahan, dianggap tidak layak bagi masyarakat. Berbagai cara dan pendekatan penyelesaian telah dilakukan, namun konflik tetap ada bahkan sampai melahirkan korban jiwa bagi masyarakat. Negara sebagai organisasi diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa, tetapi tidak dapat berperan banyak. Sebab, di satu sisi pemerintah mengharapkan adanya investasi dari penanaman modal guna memperoleh devisa, di sisi lain masyarakat mengklaim tanah tersebut bukan milik negara tetapi merupakan kepemilikan mereka. Fenomena ini diperlukan rekonseptualiasi hubungan penguasaan tanah dalam rangka penanaman modal, tidak melalui pelapasan tanah atau penyerahan hak.

Akan tetapi, melalui satu perjanjian hak pakai atau sewa antara korporasi dan pemilik tanah untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian konpensasi kepada masyarakat. Dengan modal tersebut, hubungan kepemilikan masyarakat tidak akan putus dan setelah masa perjanjian penggunaan berakhir tanah tersebut kembali kepada masyarakat.

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, negara diberikan wewenang melakukan pengaturan, serta menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, dan memelihara terhadap sumber daya alam. Tujuanya, memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Namun, fakta emperis pada kalimat “sebesar-besar kemakmuran rakyat” masih perlu dipertanyakan implementasinya, karena yang terjadi justru masyarakat di sekitar merasa rugi, baik fisik maupun kerugian ekonomi yang selama ini dirasakan turun-temurun. Berdasarkan aspek agraria, kebijakan pemerintah di bidang pertanahan sangat dipengaruhi dan diintervensi oleh korporasi multinasional. Cara pandangan rezim kapitalisme yang melihat tanah sebagai komoditas sehingga tanah dilepaskan dari ikatan sosial, yang melekat di masyarakat dapat merusak sendi-sendi kehidupan, baik cepat atau lambat dan pada gilirannya akan menimbulkan gejolak perlawanan.

Kondisi ini mengakibatkan tidak tercapainya tujuan peruntukan agraria untuk kesejahteraan masyarakat petani. Sebab, berimplikasi pada terjadinya degradasi kualitas tanah pertanian, bahkan konflik pertanahan baik horizontal maupun vertikal. Sengketa vertikal struktural merupakan sengketa antara yang menguasai sumber-sumber ekonomi seperti sungai, sumber daya tambang, padang pengembalaan ternak, semak belukar, maupun tanaman pertanian versus negara atau pemerintah, baik sebagai pelaku pinjaman hak atas tanah kepentingan korporasi. Ini juga terjadi perubahan sebagai akibat konfigurasi tanah yang selalu berubah. Dampaknya timbul banyak benturan kepentingan yang terus berkembang dengan berbagai modus dan pola. Maka, diperlukan metode penyelesaian sengketa yang dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat di satu sisi dan korporasi di sisi lain.

Berdasarkan advokasi Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Maluku Utara, yang berkaitan dengan sumber daya hutan, tanah, dan perkebunan di Maluku Utara, ada 53 warga di tahun 2016-2017 yang dikriminalisasi karena berjuang mempertahankan tanahnya dan dikuasai oleh izin pertambangan. Konteks kebijakan ini semakin berbahaya karena mengancam kehidupan masyarakat lokal. Pemerintah harus mengambil langka kongkrit dan strategi terkait persoalan yang terjadi dilapangan. Seperti kasus yang dihadapi masyarakat dengan pihak korporasi, sekitar 3.000 jiwa Suku Sawai dan Tobelo Dalam di sekitar lokasi pertambangan terancam penghidupan mereka, yang berkaitan dengan sumber-sumber perkebunan dan tanah. Wilayah adat dan konflik perkebunan tidak pernah tuntas terselesaikan. Masyarakat tak punya pilihan lain selain melepaskan tanah yang mereka sudah Kelola sejak leluhur mereka hidup di wilayah tersebut. Akibat sumber penghidupan hilang, masyarakat dikondisikan pada situasi tak diuntungkan.

Masyarakat juga dilarang mengakses hutan adat yang telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung dan Taman Nasional, sementara kalau kita melihat secara historis lewat Perpu Nomor 41 Tahun 2004 diperbolehkan melakukan pertambangan di hutan lindung. Di tengah gencarnya dunia melakukan kampanye perubahan iklim, di Halmahera Tengah justru akan kehilangan tutupan hutan 54.874 Ha, akibat masuknya korporasi. Maluku Utara sebagai daerah Merapi, gempa dan pulau-pulau kecil (MGP), jelas sedang berada di mulut bencana, sekarang perusahaan melanjutkan tahapannya ke eksploitasi besar-besaran tambang nikel di bumi Halmahera Tengah. Selain keberadaan spesies endemik yang ada di hutan Halmahera terancam, juga mengancam masyarakat yang hidup di pedalaman (Suku Tobelo Dalam), juga situs budaya, dan ekonomi sosial masyarakat tempatan atau masyarakat adat.

Tipelogi konflik yang muncul kaitannya dengan pemerintah dan perusahaan versus masyarakat pemegang hak, yang dilatarbelakangi oleh kecenderungan keberpihakan pemerintah daerah dalam memanfaatkan sumber daya alam melalui kebijakan pemberi izin lokasi atau izin usaha pertambangan (IUP) untuk penanaman modal, yang mengakibatkan fungsi tanah perkebunan menurut.Imam Koewahyono sering mengabaikan variabel non hukum. Apalagi dalam prakteknya, perolehan tanah untuk kepentingan tidak didasarkan pada prinsip kesejajaran dalam melakukan transaksi. Tetapi, menggunakan prinsip pengadaan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Pengadaan tanah erat sekali hubunganya dengan pembebasan hak atas tanah yang diperlukan baik kepentingan umum maupun kepentingan perusahaan, kerap kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Ini disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lain. Masalah tersebut berpengaruh pada rendahnya nilai tawar masyarakat, pemegang hak dalam melakukan negosiasi akibat dominasi intervensi pemerintah daerah.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT