Home / Opini

Polemik Judicial Review AD/ART Partai Demokrat

Oleh: Lukman A R (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jayabaya Jakarta)
13 Oktober 2021
Lukman A R

Pengesahan AD/ART Partai Demokrat (PD) oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada 18 Mei 2020 dan pemberhentian empat kader PD semakain memperuncing perseteruan antara kubuh KSP Moeldoko hasil KLB di Deli Serdang dengan kubuh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang berbuntut pada diajukannya judicial review AD/ART PD ke Mahkamah Agung (MA) oleh keemapt mantan kader Partai Demokrat yang diwakili Advokat kondang Yusril Izha Mahendra. 

Permohonan uji formil dan materil AD/ART PD seakan membuat para kader demokrat kubuh AHY kebakaran jenggot, sebagaimana terlihat dari reaksi negatif mereka yang mengubar kemarahannya terhadap Kubuh KSP Moeldoko juga menyerang pribadi Yusril di media sosial berapa hari ini. 

Sejumlah akademisi, politisi, dan negarawan pun turut menyoroti persoalan demikian, bahkan pihak istanah lewat mulut Menkopolhukam Moh. Mahfud MD ikut-ikutan berkomentar sinis seperti dikutip Tempo.co (30/09/2021) bahwa gugatan Yusril ini tidak akan ada gunanya. Karena kalaupun dia menang, tidak akan menjatuhkan Demokrat yang sekarang. Ini terobosan baru dalam ilmu hukum. Namun MA tak bisa membatalkan AD/ART tersebut.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga turut menyerang Yusril dengan berkata “…Meski UU tidak eksplisit larang advokat jadi ketua umum parpol, tapi etika kepantasan sulit terima, apalagi mau persoalkan AD Parpol orang lain…", Liputan6.com (2/10/2021).

Semua komentar itu seakan menuding Yusril berpihak secara politis pada kubuh KSP Moeldoko, padahal ia jelas-jelas hanya menjalankan tugas profesi Advokat, jadi tak ada kaitannya dengan persoalan politik. Setidaknya begitulah Yursil menanggapi setiap sindiran para pihak. 

Sebagian pihak menaru curiga atas polemik ini, kerana pertama kalinya dalam sejarah hukum Indonesia AD/ART Parpol dimohonkan judicial review ke MA. Karena itulah persoalan tersebut menjadi seksi untuk diperbincangkan dari aspek ilmu hukum. 

Terdapat argumentasi debateble antara pihak yang berpandangan AD/ART Parpol tidak dapat di judicial review MA, karena bukan merupakan peraturan perundang-undang dan pihak yang menilai seharusnya AD/ART Parpol dapat menjadi obyek judicial review MA, sepanjang proses pembentukan dan materi muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. 

Argumentasi pertama dibangun di atas sejumlah norma hukum positif sebagaimana tertuang dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 20 ayat (2) uruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. 

Adapun peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 ayat (2) UU No. 12/2011 adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 

Sementara dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) UU a quo, AD/ART Parpol tidak tergolong jenis peraturan perundang-undangan. Karena bukan produk regulasi yang dikeluarkan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, (Ps 1 ayat 5 Perma No. 1/2011).    

Tentu persoalan ini akan merumitkan langkah MA antara menerima judicial review AD/ART PD atau menolaknya. Sebab, harus di ingat dalam negara hukum demokrasi dikenal asas legalitas atau wetmatigheid van bestuur yakni setiap tindakan badan atau pejabat administrasi harus berdasarkan UU formal atau hukum tertulis. 

Lalu kenapa Yusril tetap optimis mengajukan judicial review AD/ART PD ke MA. Apakah lantaran ia tidak mengetahui semua itu?, tentu jawabannya tidak demikian. Sudah pasti Yusril memahmi betul semua aturan terkait, bahkan mungkin lebih paham dari para pembentuk UU sendiri. 

Namun, dengan bekal pemahaman filsafat hukum mampuni membuat mata pikiran Yusril terkadang mampu melihat sesuatu yang tersembunyi di dasar hukum. Mungkin lewat momentum judicial review AD/ART PD, ia hendak menyingkap yang asasi dari hukum. 

Itulah mengapa Yusril berkata bahwa kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan UU, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang menguji dan membatalkannya?. Selanjutnya kata Yusril hal itu merupakan kevakuman hukum sehingga penting untuk diselesaikan, BeritaSatu.com, (23/09/2021).

Soal kekosangan hukum cukup berhalasan, sebab Mahkamah Partai selaku quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ART Parpol dan PTUN juga tidak berwenang mengadilinya, karena kewenangan PTUN hanya sebatas mengadili sengketa Putusan Tata Usaha Negara. Sementara demi terciptanya tertib hukum bernegara secara hirarki sesuai ajaran Stufentheorie Hans Kelsen, maka tidak boleh ada hukum yang berada di bawah bertentangan dengan hukum di atasnya–lex superior derogat legi inferiori.    

Maka MA seharusnya melakukan terobosan hukum sebagai aplikasi prinsip ius curia novit untuk memeriksa, mengadili dan memutus, apakah AD/ART PD bertentangan atau tidak dengan UU di atasnya, baik dari segi prosedur pembentukan maupun materi muatannya. 

Walaupun MA akan tersandung sejumlah regulasi, baik dari segi kewenangan maupun untuk mengualifikasikan AD/ART Parpol sebagai obyek judicial review, karena selain alasan normatif, terdapat perbedaan materi muatan normanya dengan peraturan perundang-undangan. 

Suatu peraturan (regeling) dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan (wet in materiele zin) apabila memenuhi beberapa ciri yaitu berlaku atau mengikat umum, bersifat abstrak dan berlaku terus-menerus. 

Seperti kata Maria Farida Indrati S, (2020: 82) bahwa “…norma dari sutu peraturan perundang–undangan selalu bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig)”.     

Terkait ciri-ciri tersebut terdapat penjelasan dari hasil penilitian Commissie Wetgevingsvraagstukken, 1985 bahwa ciri keumuman itu berkenaan dengan wilayah di mana peraturan itu berlaku. Maksudnya tidak hanya berlaku pada tempat tertentu, tetapi berlaku pada lingkungan yang lebih luas atau di mana-mana. Keumuman juga berkaitan dengan waktu pemberlakuan yang berarti tidak hanya berlaku pada waktu tertentu, tetapi untuk masa yang lebih panjang atau untuk waktu yang tidak tertentu.

Selanjutnya keumuman itu berkaitan pula untuk setiap orang, maksudnya tidak hanya berlaku pada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan pada kelompok yang lebih besar atau pada setiap orang. Kemudian sifat umum berarti tampak pula pada berulang-ulangnya penerapan peraturan itu. Jadi tidak hanya diterapkan pada situasi khusus, tetapi pada sejumlah keadaan yang tidak tertentu.

Sifat abstrak bermakna suatu norma hukum melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya atau tidak konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan suatu perbuatan itu secara abstrak, misalnya hanya disebutukan dengan kata mencuri, membunuh, menebang dan seterusnya, (Indrati, 2020: 28).

Disamping itu menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan perundang-undangan (wet in materiele zin) mengandung tiga unsur, yaitu norma hukum (rechtsnorm), berlaku keluar (naar buiten werken), dan bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid ruime zin). 

Sementara sifat dari materi norma hukum AD/ART Parpol tidak mengikat secara umum dalam arti tidak mengikat seluruh masyarakat, tetapi sebatas mengikat para anggotanya atau hanya berlaku ke dalam. Juga lansung ditujukan dan/atau mengatur prilaku setiap anggotanya agar tidak melakukan perbuatan tertentu yang lansung disebutkan bentuk perbuatannya, sehingga lebih bersifat individual-konkret.   

 Lantas, apakah atas alasan demikian lalu dibiarkan saja Parpol seenaknya membuat AD/ART yang mungkin berlaku deskriminatif, otoriter, bertentangan dengan hukum di atasnya dan bahkan melanggar hak-hak konstitusional warga negara anggotanya?. Tentu hal itu tidak boleh di diamkan dalam negara hukum demokrasi. 

Terlepas dari semua kendala di atas, harus di ingat bahwa Parpol merupakan badan hukum publik yang mendapatkan delegasi kewengan atau dibentuk atas dasar perintah UU No. 2/2008 telah dirubah menjadi UU No. 2/2011 tentang Parpol. Sama halnya dengan lembaga negara lain seperti Kejaksaan Agung, KPK, Ombudsman RI, Komnas HAM, Komisi Pengawasa Parsaingan dan seterusnya. 

Kalau beberapa lembaga negara tersebut berdasarkan delegasi kewenangan dapat mengeluarkan peraturan setingkat peraturan perundang-undangan, lalu kenapa hal serupa tidak berlaku bagi Parpol. Karena itulah tepat kata Yusril bahwa terdapat kevakuman hukum. 

Selain itu, kewenangan Parpol begitu luas mulai dari mengusulkan calon presidan-wakil presiden, calon gubernur-wakil gubernur, calon bupati-wakil bupati, dan hanya satu-satunya lembaga yang menjadi peserta pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Bahkan Parpol hanya dapat dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Apalagi pemberhentian sebagai anggota Parpol diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat, bila yang bersangkutan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat. Pun keuangan Parpol juga sebagian bersumber dari bantuan APBN dan APBD. Balum lagi dilihat sepak terjang Parpol lewat kader-kadernya dalam mempengaruhi kebijakan negara.

Semestinya halasan di atas dapat dijadikan pintu masuk oleh MA untuk dapat menguji AD/ART Parpol. Yang dapat diperkuat dengan Pasal 30 UU No. 8/2008 bahwa Parpol berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Parpol berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Bila permohonan judicila review AD/ART PD diterima tentu akan membawa manfaat positif, sebab kedepan para pembesar Parpol tidak seenaknya dan asal-asalan dalam membuat AD/ART yang berpotensi merugikan hak-hak dasar anggotannya. Serta akan tercipta tertib hukum dalam bingkai negara hukum demokrasi yang menjamin terlindunginya hak-hak konstitusional warga negara Indonesia.

Begitu…(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT