Home / Opini

Pemberantasan Buta Aksara Berbasis Masyarakat Desa

Oleh Moh. Syafi’ (Kepala Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) STAINU Temanggung)
23 Juli 2019
Moh. Syafi’

PEMBERANTASAN buta aksara berbasis masyarakat sangat strategis dilakukan. Sebab, data buta aksara di negeri ini masih ironis. Data BPS dan Pusat data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan angka buta aksara usia 15-59 ada 3,474 persen tahun 2018 yang tersebar pada 11 provinsi di Indonesia.

Data itu menunjukkan angka buta aksara cukup tinggi dan harus mendapatkan penanganan serius semua pihak mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 35 tahun 2006.  Pemerintah desa dan masyarakat masih menganggap buta aksra bukan hal penting, padahal desa dengan segala potensinya berperan strategis memberantas buta aksara. Desa yang terdiri atas kumpulan individu, keluarga dan masyarakat menjadi akar kuat bahkan kunci penuntasan buta aksara tingkat nasional.

Pembangunan insfratsruktur fisik selama ini masih diutamakan daripada pembangunan SDM. Akhirnya, optimalisaisi  peningkatan akses pelayanan sosial dasar seperti fasilitasi kegiatan belajar masyarakat, maupun perpustakaan desa sangat terbatas bahkan belum maksimal.

Ketersediaan fasilitas kegiatan belajar masyarakat belum mampu menurunkan angka buta aksara secara signifkan. Sebab, fungsi fasilitas itu belum melibatkan peran masyarakat sebagai pengelola fasilitas belajar masyarakat yang mampu memberikan pendampingan pembelajaran melek aksara. Banyak inovasi fasilitasi pembelajaran masyarakat desa seperti perpustakaan desa, rumah pintar, atau sejenisnya yang baru berjalan sebatas sarana insfrastruktur fisik.

Penuntasan buta aksara di tingkat desa oleh pemerintah desa dan masyarakatnya  belum menunjukkan langkah sinergis. Hal ini menyebabkan penuntasan buta aksara masih menjadi tanggung jawab pemerintah desa tanpa partisipasi aktif masyarakatnya. Padahal penuntasan buta aksara tak dapat dilakukan pemerintah desa saja, namun menurut Iskandar (2018) terletak pada peran strategis masyarakat. Penuntasan buta aksara melalui pemberdayaan semua unsur masyarakat desa merupakan langkah strategis, lebih intensif, dan berkesinambungan.

Pembangunan SDM dari Desa

Desa merupakan miniataur negara dan pintu terdepan setelah keluarga dalam pembangunan SDM. Negara tak mungkin dapat melakukan pembangunan nasional tanpa percepatan pembanguan kapasitas desa yang optimal. Dalam UU 6/2014, desa memiliki kewenangan dalam menentukan rencana pembangunan. Ruang gerak pembangunan SDM bergantung kemampuan kepala desa dan masyarakat melalui RPJMDes dan RKPdes.

Gerakan desa membangun menjadikan pelaku pembangunan desa tak hanya dari pemerintah desa melainkan masyarakat desa sebagai kunci. Pola pikir ini harus dibangun pemerintah dan masyarakat agar pembangunan maksimal. Hal ini karena pemerintah desa tak hanya berfungsi sebagai administrator pemerintah, administrasi masyarakat dan administrator pembangunan. Pemerintah desa harus menumbuhkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.

Desa juga harus mampu menggali potensi dan kearifan lokal sebagai kekuatan dalam pembangunan kapasitas SDM. Karena masyarakat desa setempat yang paling mengetahui potensi dan permasalahan. Dengan memunculkan potensi dan kearifan lokal desa, penuntasan buta aksara dari desa itu sendiri lebih tepat sasaran, dan tepat guna bagi masyarakatnya.

Berbasis Masyarakat Desa

Desa dengan berbagai potensi dan kearifan lokal dan kewenagannya untuk merencanakan pembangunan, maka pembangunan berbasis partisipasi masyarakat mejadi sangat penting dalam percepatan penuntasan buta aksara.  Hasil riset Hastowiyono (2008: 18), ada beberapa cara pemberantasan buta aksara berbasis masyarakat desa.

Pertama, mencipatakan nilai-nilai partisipasi aktif masyarakat, kesadaran nalar kritis, sensisitf perubahan, peka terhadap lokal genius untuk menuntaskan buta aksara. Banyak masyarakat yang bersikap acuh pada masalah buta aksara di sekitarnya, maka nilai-nilai kesadaran dan kecerdasan sosial serta semangat perubahan ini harus dibangun pada masyaraakat.

Kedua, penuntasan buta aksara berbasis komunitas. Desa memiliki berbagai komunitas atau paguyuban sesuai dengan karakter dan usianya. Pemberantasan ini harus konsinten dan berkelanjutan berbasis komunitas atau paguyuban pengajian ibu-ibu, arisan warga, kegiatan PKK, komunitas remaja, dan olahraga.

Ketiga, dengan menciptakan konvergensi antarinstansi pemerintah. Pemberantasan buta aksara dapat dilakukan kerjasama antarkementerian dengan memaksimalkan dana  meningkatkan aksesbilitas dan kemudahan pendidikan masyarakat. Fasilitasi pendidikan dapat lebih dimaksimalkan pada pendidikan berbasis masyarakat seperti TKBM, rumah baca, perpustakaan desa, sanggar belajar dan lain sebagainya.

Keempat, konvergensi pemerintah desa dan masyarakat. Masyarakat di sini pelaku utama yang bekerjasama dengan pemerintah desa dalam penuntasan buta aksara. Masyarakat dapat menjadi volunteer akan mengidentifikasi dan melakukan gerakan melek aksara.

Keluarga, remaja, tokoh agama dan seluruh unsur masyarakat berpartisipasi aktif bersama pemerintah desa menuntaskan buta aksara. Masyarakat harus ditingkatkan kapasitasnya untuk mengidentifikasi dan menemukan solusi penuntasan buta aksara.  Konvergensi dapat dilakukan dengan melakukan desentralisasi fiscal semua unsur masyarakat didukung dengan transfer knowledge kepada seluruh masyarakat tentang pentingnya penuntasan buta aksara.

Kelima, penuntasan buta aksara melalui sekolah alam. Potensi alam di desa dapat dijadikan sebagai wahana pembelajaran terbuka. Mereka dapat belajar sambil bermain dan berwisata alam.

Keenam, penuntasan buta aksara melalui Posbindu dan Posyandu lanjut usia. Posbindu dan Posyandu lanjut usia tak hanya melakukan monitoring kesehatan dan penyakit tak menular, akan tetapi dapat memberikan pendampingan penuntasan buta aksara lebih ramah dan terbuka sesuai dengan usianya. Penghargaan pemerintah terhadap kader juga menjadi penting dalam rangka apresiasi kepedulian masyarakat dalam penuntasan buta aksara.

Ketujuh, gerakan keluarga melek aksara. Keluarga menjadi kunci kesadaran masyarakat luas melek aksara. Pendidikan pertama dimulai dari keluarga. Jika kesadaran tentang melek aksara keluarga di satu desa sangat rendah, maka akan menyumbangkan IPM yang sangat rendah, tak hanya di tingkat desa akan tetapi tingkat nasional.

Kedelapan, optimalisasi pendidikan kesetaraan, baik TKBM maupun Kejar Paket A, B dan C agar memberikan focus khusus penuntasan buta aksara di luar program pendidikan kesetaraannya.

Beberapa strategi di atas jika dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan akan memacu nalar kritis dan kepedulian masyarakat untuk bergerak melakukan perubahan menuntaskan buta aksara di Indonesia.

 (red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT