Home / Opini

Lebaran = Waktunya Bermasalah

Oleh: Hamdy M. Zen Dosen PBA IAIN Ternate / Ketua DPW RPI Maluku Utara
25 Mei 2021
Hamdy M. Zen

Alhamdulillah, di bulan ramadhan kemarin, selama satu bulan penuh, seluruh umat Islam di penjuru dunia, melaksanakan ibadah, yang bertumpah ruah akan segala rahmat serta nikmat Tuhan, segenap semesta alam. Bulan keagungan, bulan "spesial" nya umat Islam, bulan mulia, bulan maghfirah, bulan suci, yakni bulan ramdhan itu sendiri.

Pada bulan tersebut, dibukakan segala pintu, bagi seluruh umat Islam yang berharap akan sapaan rahmat serta nikmat dari-Nya. Oleh karenanya, dengan mata kepala, kita bisa melihat dengan sendirinya, bagaimana umat Islam berbondong serta berlomba dengan penuh antusias, dalam menyambut kedatangan serta melepas kepergiannya. Sungguh betapa "mulia"nya bulan suci ramadhan. Semoga Allah masih mempertemukan kita kembali berjumpa dengannya, di tahun berikutnya lagi, Amien 3x.

Setelah sebulan penuh kita bersua dengan bulan ramdhan, kita kemudian disuguhkan dengan awal bulan syawal. Di mana pada kesempatan ini, Tuhan memberikan kesempatan bagi kita yang telah melaksanakan ibadah puasa tadi, untuk merayakan kemenangan di bulan ini. Di dalam Islam dikenal dengan 'Iedul Fitri (yakni hari lebaran / perayaan kemengan atas suksesnya ibadah puasa). Di hari tersebut, semua kembali seperti bayi yang baru dilahirkan, putih, suci dan bersih. Sehingga kita berhak untuk merayakannya. Mungkin, itulah sebabnya dinamakan hari raya fitri (suci).

Bentuk perayaan kemenangan di hari tersebut beraneka macam. Ada yang mengadakan open house, bagi keluarga, kerabat, sahabat dan lain – lain, ada pula yang bersilaturahmi di mana pun berada, untuk saling bersalaman dan bermaaf – maafan. Ya itulah dinamika umat Islam, dalam merayakan hari kemenangannya, pada 'Iedul fitri.

Namun ternyata, di sisi yang lain, ada juga orang – orang yang berbuat keji sebagai bentuk perayaan hari lebarannya. Orang – orang ini, mohon maaf, merasa bahwa dengan perbuatan keji tersebut, merupakan hal biasa yang harusnya jangan dianggap masalah. Memang betul, kita tidak punya hak untuk menilai serta menjasti setiap orang yang melakukan apa yang diinginkan. Tapi, jangan sampai kita menganggap biasa dengan membudayakan tindakan – tindakan yang justru "mencorang" hari kemenangan kita sendiri.

Di Jailolo misalnya, ada kejadian yang mengagetkan dunia. perayaan kemenangannya adalah dengan saling menyerang dengan membabi buta antar saudara. Sampai membakar rumah warga. Seperti kita bukanlah saudara. Mohon maaf, semua manusia adalah saudara, lebih – lebih kalau kita adalah Islam. Di dalam agama disebutkan bahwa semua yang beriman adalah saudara. Artinya bahwa kalau kita bersaudara, lantas kenapa sesama kita justru saling menyerang? Apakah darah kita adalah halal? Apakah rumah saudara kita sendiri, wajib dibakar? Apakah sesama kita tidak bisa hidup rukun dan damai? Apakah ini yang diperintahkan agama? Na'ujubillah, tsumma na'ujubillah. Mari berlindung kepada Allah.

Beberapa waktu yang lalu, kita telah dihebohkan oleh tindakan keji yang dilakukan yahudi terhadap Palestina, dengan sebuah kejadian yang menggemparkan dunia. Orang – orang pada heboh dengan ini. Orang – orang pada mengecam keras tindakan yahudi ini dan orang – orang pada mengutuk tindakan yahudi tersebut. Di sini, kita malah bertindak layaknya mereka? Ada apa dengan kita?

Mohon maaf, penulis tidak bermaksud menggurui, tidak juga merasa sok suci dan paling benar. Tidak. Penulis menyadari, penulis juga masih banyak kekurangan dan banyak salahnya juga. Tapi mari sama – sama kita bersikap dewasa. Mari sama – sama kita rayakan kemenangan ini, dengan penuh akan rasa cinta, dengan saling menyayangi antara satu dengan yang lain, serta saling mengasihi antar sesama.

Lebaran bukanlah waktu berbuat masalah. Sekali lagi, mohon maaf dan tabea, Lebaran adalah waktu di mana kita rayakan kemenangan, dengan terus meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita. Bukan dengan cara berbuat masalah. Hentikan sudah sikap – sikap yang seperti itu. Cukup. Itu bukan cara yang dibenarkan. Justru cara yang seperti itu, adalah bentuk pengkhianatan yang kita lakukan tanpa kita sadari.

Di dalam al-qur'an, hadis maupun perkataan para ulama – ulama termashur kita sekali pun, tidak akan kita temukan perintah yang seperti itu. Yang ada, hanyalah perintah untuk tetap tunduk, patuh, sabar, shalat ikhlas dan sejenisnya. Silahkan dicari dan yang pasti penulis pun yakin, semua dari kita, pasti sudah tahu akan hal itu. Hanya saja, realisasinya, mungkin masih minim, bahkan penulis menyadari, penulis pun masih jauh dari kata realiasi nyata.

Namun, bukan berarti kita justru berlomba dalam berbuat masalah – masalah keji, dengan alasan karena manusia biasa. Tabea, yang harus dilakukan kita adalah terus melatih diri semaksimal mungkin untuk berlomba dalam kebaikan. Semakin kian berlatih, sudah pasti semakin tinggi pula, cobaan yang bakal datang mengahadang kita. Sebab, inilah dinamika kita, dinamika kehidupan kita. Kita mau menjadi seorang sarjanawan / sarjanwati saja, harus melalui tahapan ujiannya. Seperti itu pulalah, kehidupan kita.

Pencapaian taqwa, tidak semudah membalikkan telapak tangan kawan. Bukan berarti dengan berbicara begini, menunjukan bahwa penulis sudah mencapai prestasi taqwa. Tidak. Kita sama – sama berproses ke situ. Di sini, kita hanya saling mengingatkan, walau pun sudah pada tahu semua. Mohon maaf sekalai lagi, tabea.

Pembaca yang budiman! Hari, kini sudah semakin sore. Waktunya pulang kian dekat. Maka mari berlomba dalam kebaikan untuk memperbanyak bekal pulang. Jangan samapai kita terlambat. Resikonya sangat berat. Sehingga, ketika sampai di rumah, ada yang kita bawa untuk kita dan keluarga, biar bisa kita nikamti bersama, dengan penuh akan senyuman kebahagian dan kebersamaan. Tabea, bagi penulis, inilah hakikat hidup kita.

Berkelahi, saling membunuh antar sesama saudara, membakar rumah dan sejenisnya, bukanlah perintah agama. Kita hidup atas dasar agama. Lalu mengapa kita melangarnya? Baru saja ramadhan meninggalkan kita, kenapa kita justru mengingakri dan berkhianat kepadanya? Ramadhan telah mengajarkan kita tentang kasih sayang dan kebersamaan. Mengapa selepas ia pergi, kita kembali melupakan itu? Apakah itu yang ditinggalkan ramadhan, untuk kita rayakan di hari lebaran ini?

Ada orang yang sudah mendahului kita dan kini telah berada di alam lain. Di sana, mereka selalu beraharap kiriman dari kita. Lebih – lebih di hari nan fitri ini. Di hari ini, mereka menunggu bahkan dengan mengantri, menunggu panggilan di loket kiriamn, terkait denagn kiriman indah, berupa doa dan saling berbagi kasih sayang serta membuka pintu maaf yang seluas – luasnya antar sesama edi antara kita, yang kita kirimkan untuk mereka.

Bagaimana dengan perbuatan sebaliknya? Apa yang mereka dapatkan? Sampai waktu tunggu selesai pun, namanya tak akan dipanggil, kalau pun dipanggil, justru mohon maaf, cacian dan makian, tabea mungkin saja yang mereka dapatkan. Apakah ini yang dinamakan Islam? Apakah ini yang kita banggakan? Na'uju billah, mari berlindung kepada Allah.

Pembaca yang luar biasa! Sebagaimana yang kita tahu bersama, bahwa Islam adalah agama rahmatan lil'alamin, yakni agama kasih sayang bagi seluruh alam. Kalau agama kasih sayang, maka mari kita saling berbagi kasih dan sayang antar sesama. Jangan lagi berbuat yang sebaliknya. Sebab, dengan berbuat sebaliknya, tentu mohon maaf, bisa saja kita telah keluar jalur. Kalau sampai keluar jalur, sudah pasti kita akan mendapat sangsinya.

Dunia saja punya aturan undang – undangnya. Bagi pelanggar undang – undang akan dikenai sangsi. Bagaimana dengan melanggar undang – undang Tuhan? Sudah pasti sangsinya telah menunggu dan membalas setiap tindakan pelanggaran yang kita lakukan selama berkenala di alam dunia itu sendiri. Tabea

Akhirnya, penulis hanya dapat berkata, lebaran adalah waktunya merayakan kemenangan, dengan berbagi kasih sayang antar sesama. Sebab, lebaran bukan waktunya berbuat masalah. Selamat merayakan kemengan di 'Iedul fitri, 1442 Hijriah, minal 'aidin, wal faijin, mohon maaf lahir dan batin. Tabea. Unjur man kala, wa la tanjur man kala, lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan melihat siapa yang berbicara.

 

Ternate, Puncak Dufa – Dufa, 16 Mei 2021.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT