Home / Opini

Kewirausahaan Mahasiswa Sebagai Solusi Mengurangi Pengangguran

Oleh : Zulaiha Husen SE M.AB Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Manajemen Universitas Khairun
23 Desember 2025

Salah satu paradoks pembangunan di Indonesia dewasa ini adalah meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang tidak diikuti oleh penurunan angka pengangguran. Sehingga menjadi motor penggerak ekonomi berbasis pengetahuan, kelompok terdidik justru menyumbang proporsi signifikan dalam statistik pengangguran terbuka. Kondisi ini menegaskan bahwa ekspansi pendidikan tinggi belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kemampuan sistem ekonomi dalam menyerap tenaga kerja terdidik. Todaro dan Smith (2015) menyebut fenomena ini sebagai educated unemployment, yaitu situasi ketika pendidikan tidak lagi menjadi jaminan integrasi ke dalam pasar kerja moderen.

Pengangguran terdidik tidak dapat dipahami semata sebagai persoalan keterbatasan lapangan kerja, melainkan sebagai masalah struktural yang berakar pada orientasi pendidikan tinggi itu sendiri. Perguruan tinggi masih menempatkan mahasiswa dalam kerangka “Untuk Siap Kerja” di semua sektor formal yang semakin sempit, sementara dinamika ekonomi menuntut fleksibilitas dan inovasi. Seperti dikemukakan oleh Bourdieu (1986), modal pendidikan tidak otomatis berubah menjadi modal ekonomi apabila tidak didukung oleh struktur dan strategi yang tepat.

Perubahan langkap dunia kerja yang ditandai oleh digitalisasi, otomatisasi, dan persaingan global semakin mempersempit ruang kerja konvensional. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi terus bertambah setiap tahun tanpa diimbangi oleh pertumbuhan lapangan kerja formal yang memadai. Situasi ini menciptakan ketimpangan antara penawaran tenaga kerja terdidik dan permintaan pasar, yang pada akhirnya melahirkan pengangguran struktural di kalangan sarjana (ILO, 2022).

Dalam konteks tersebut, kewirausahaan mahasiswa muncul sebagai pendekatan strategis untuk merespons krisis pengangguran terdidik. Kewirausahaan tidak sekadar dipahami sebagai pilihan karier alternatif, tetapi sebagai mekanisme penciptaan nilai dan peluang kerja baru. Schumpeter (1934) menegaskan bahwa wirausahawan adalah agen perubahan yang mendorong pembangunan ekonomi melalui inovasi dan keberanian mengambil risiko.

Oleh sebab itu, penguatan kewirausahaan mahasiswa perlu ditempatkan sebagai bagian dari transformasi peran pendidikan tinggi dalam pembangunan nasional. Perguruan tinggi dituntut tidak hanya menghasilkan lulusan pencari kerja, tetapi juga pencipta lapangan kerja yang adaptif terhadap perubahan zaman. Pendekatan ini menjadi penting agar pendidikan tinggi kembali memiliki relevansi sosial dan ekonomi, sekaligus berkontribusi nyata dalam menekan angka pengangguran terdidik di Indonesia.

Pengangguran Terdidik dan Kegagalan Orientasi Bagi Pendidikan Tinggi

Pengangguran terdidik mencerminkan ketidaksinkronan yang serius antara output pendidikan tinggi dan kebutuhan riil perekonomian. Gelar akademik tidak lagi menjadi jaminan akses kerja, sementara dunia usaha menuntut keterampilan yang bersifat adaptif, kreatif, dan mampu merespons perubahan dengan cepat. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan masih diukur dari capaian formal, bukan dari kemampuan lulusan dalam menciptakan nilai ekonomi dan sosial secara mandiri.

Kurikulum perguruan tinggi pada umumnya masih berorientasi pada penguasaan teori dan standar kompetensi administratif. Keterampilan pemecahan masalah, pengambilan risiko, serta keberanian bereksperimen sering kali ditempatkan sebagai aspek sekunder. Padahal, seperti ditegaskan oleh Schumpeter (1934), pembangunan ekonomi tidak digerakkan oleh rutinitas dan kepatuhan, melainkan oleh inovasi yang lahir dari aktor-aktor kreatif yang berani keluar dari pola lama.

Masalahnya, inovasi jarang menjadi jiwa utama dalam proses pembelajaran di pendidikan tinggi. Mahasiswa lebih banyak dilatih untuk patuh pada silabus dan indikator penilaian, bukan untuk membaca peluang atau merancang solusi alternatif. Lingkungan akademik yang terlalu normatif secara tidak langsung membatasi ruang kreativitas mahasiswa dan menekan keberanian mereka untuk mengambil risiko intelektual maupun ekonomi.

Akibat dari kondisi tersebut, banyak lulusan perguruan tinggi mengalami disorientasi sosial ketika memasuki dunia pasca-kampus. Mereka berada di posisi yang serba tanggung: tidak cukup fleksibel untuk menciptakan usaha sendiri, tetapi juga tidak cukup kompetitif untuk bersaing di pasar kerja yang semakin selektif. Fenomena ini sejalan dengan temuan ILO (2022) yang menyebut pengangguran terdidik sebagai bentuk pengangguran struktural akibat kegagalan sistem dalam menyiapkan transisi pendidikan ke dunia kerja.

Lebih jauh, ketergantungan berlebihan pada sektor kerja formal menciptakan ilusi keamanan di kalangan mahasiswa. Banyak lulusan menunda atau menolak pilihan kewirausahaan karena dianggap berisiko dan tidak stabil. Padahal, menurut Drucker (1985), kewirausahaan justru merupakan bentuk respons rasional terhadap ketidakpastian ekonomi, bukan sekadar pilihan individual yang spekulatif.

Kondisi ini diperparah oleh minimnya ruang eksperimentasi kewirausahaan di lingkungan kampus. Program kewirausahaan sering hadir dalam bentuk seremonial dan pelengkap kurikulum, bukan sebagai pengalaman belajar yang substansial. Akibatnya, mahasiswa tidak terbiasa mengelola kegagalan, membaca dinamika pasar, maupun membangun jejaring ekonomi sejak dini.

Dengan demikian, pengangguran terdidik bukan sekadar persoalan individu lulusan, melainkan cerminan dari kegagalan sistem pendidikan tinggi dalam menginternalisasi nilai inovasi dan kewirausahaan. Tanpa perubahan orientasi pembelajaran yang menempatkan kreativitas dan keberanian mengambil risiko sebagai kompetensi inti, lulusan perguruan tinggi akan terus berada dalam posisi rentan di tengah perubahan ekonomi yang semakin cepat dan kompetitif.

Kewirausahaan Mahasiswa sebagai Instrumen Transformasi

Kewirausahaan mahasiswa tidak dapat dipahami sekadar sebagai aktivitas ekonomi berskala kecil atau usaha sambilan di sela perkuliahan. Lebih dari itu, kewirausahaan merupakan proses pembentukan mentalitas mandiri, kreatif, dan berdaya saing yang relevan dengan tuntutan ekonomi modern. Melalui pengalaman berwirausaha, mahasiswa dilatih untuk membaca peluang, mengelola ketidakpastian, serta mengambil keputusan strategis dalam situasi yang serba terbatas.

Wirausaha juga berfungsi sebagai ruang praksis bagi ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah. Pengetahuan tidak lagi berhenti pada tataran teoritis, tetapi diuji melalui praktik nyata di lapangan. Proses ini mendorong mahasiswa untuk mengonversi konsep akademik menjadi nilai ekonomi dan sosial yang konkret, sehingga pendidikan tinggi memperoleh makna fungsional dalam kehidupan masyarakat.

Zimmerer dan Scarborough (2008) menegaskan bahwa kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai dengan mencurahkan waktu, tenaga, serta menanggung risiko yang menyertainya. Ketika proses ini dimulai sejak masa studi, mahasiswa tidak lagi memposisikan diri sebagai pencari kerja pasif, melainkan sebagai aktor ekonomi yang aktif membentuk peluangnya sendiri.

Pengalaman kewirausahaan sejak dini juga berperan penting dalam membangun kepercayaan diri dan ketahanan mental mahasiswa. Kegagalan tidak dipersepsikan sebagai akhir, melainkan sebagai bagian dari proses belajar. Pola pikir ini menjadi modal sosial yang penting ketika mahasiswa menghadapi dunia kerja yang penuh ketidakpastian dan persaingan ketat.

Selain berdampak pada individu, kewirausahaan mahasiswa memiliki potensi ekonomi yang lebih luas. Usaha rintisan yang bertahan dan berkembang tidak hanya menyerap tenaga kerja, tetapi juga menggerakkan sektor pendukung seperti pemasok bahan baku, distribusi, dan jasa. Aktivitas ini menciptakan efek ganda (multiplier effect) yang memperkuat perekonomian lokal, terutama di sekitar lingkungan kampus.

Dalam skala tertentu, kontribusi tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi tidak hanya berperan sebagai pusat produksi pengetahuan, tetapi juga sebagai simpul pertumbuhan ekonomi. Kehadiran wirausaha mahasiswa dapat mempersempit jarak antara dunia akademik dan kebutuhan masyarakat, sekaligus memperkuat relevansi sosial pendidikan tinggi.

Oleh sebab itu, pengembangan kewirausahaan mahasiswa layak diposisikan sebagai bagian integral dari strategi pengurangan pengangguran terdidik. Bukan sekadar pilihan individual, kewirausahaan menjadi medium transformasi peran mahasiswa dari objek pembangunan menjadi subjek yang berkontribusi langsung terhadap penciptaan lapangan kerja dan dinamika ekonomi nasional.

Peran Perguruan Tinggi dan Negara

Kewirausahaan mahasiswa tidak akan tumbuh secara alami tanpa dukungan ekosistem yang memadai. Perguruan tinggi perlu keluar dari peran simbolik dan seremonial, lalu menempatkan kewirausahaan sebagai agenda strategis dalam sistem pendidikan. Inkubator bisnis, program pendampingan usaha, kurikulum berbasis proyek, serta akses terhadap modal awal semestinya diposisikan sebagai bagian integral dari proses akademik, bukan sekadar aktivitas tambahan yang bersifat opsional.

Lebih dari itu, perguruan tinggi harus mengubah pendekatan pembelajaran dari sekadar transfer pengetahuan menjadi proses pembentukan kapasitas. Dosen tidak hanya berperan sebagai pengajar teori, tetapi juga sebagai mentor yang mendorong mahasiswa bereksperimen, menghadapi risiko, dan belajar dari kegagalan. Lingkungan kampus yang toleran terhadap kesalahan justru menjadi prasyarat penting bagi tumbuhnya inovasi dan keberanian berwirausaha.

Di sisi lain, negara memiliki tanggung jawab struktural dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kewirausahaan mahasiswa. Kebijakan kewirausahaan kerap berhenti pada tataran slogan dan program jangka pendek, tanpa keberlanjutan pendanaan dan regulasi yang ramah bagi usaha rintisan. Padahal, usaha pemula membutuhkan perlindungan, kemudahan perizinan, serta akses pembiayaan yang realistis agar mampu bertahan pada fase awal yang rentan.

Drucker (1985) menegaskan bahwa kewirausahaan bukanlah bakat bawaan, melainkan sebuah disiplin yang dapat dipelajari, dilatih, dan difasilitasi secara sistematis. Pernyataan ini mengimplikasikan bahwa negara tidak cukup hanya mendorong semangat kewirausahaan, tetapi juga wajib menyediakan kerangka kebijakan yang memungkinkan proses belajar tersebut berlangsung secara berkelanjutan.

Sinergi antara perguruan tinggi dan negara menjadi kunci dalam membangun ekosistem kewirausahaan mahasiswa yang kuat. Tanpa koordinasi kebijakan dan arah yang jelas, berbagai program kewirausahaan berisiko berjalan sendiri-sendiri dan kehilangan dampak jangka panjang. Keterlibatan sektor swasta dan komunitas lokal juga penting untuk memastikan bahwa kewirausahaan mahasiswa terhubung dengan kebutuhan pasar yang nyata.

Apabila dukungan struktural ini tidak diwujudkan secara konsisten, potensi kewirausahaan mahasiswa akan tereduksi menjadi wacana normatif yang minim implementasi. Sebaliknya, ketika perguruan tinggi dan negara hadir secara aktif dan berkelanjutan, kewirausahaan mahasiswa dapat berkembang sebagai instrumen nyata dalam mengurangi pengangguran terdidik dan memperkuat fondasi ekonomi berbasis pengetahuan.

Kesimpulan

Kewirausahaan mahasiswa merupakan solusi strategis dan realistis dalam merespons persoalan pengangguran terdidik, sepanjang dipahami secara kritis dan didukung oleh ekosistem yang memadai. Kewirausahaan tidak dapat direduksi sekadar sebagai pilihan karier individual, melainkan harus ditempatkan sebagai instrumen transformasi pendidikan tinggi dalam menghadapi keterbatasan daya serap pasar kerja formal.

Masalah pengangguran terdidik pada hakikatnya berakar pada orientasi pendidikan yang masih menempatkan lulusan sebagai pencari kerja. Tanpa perubahan paradigma pembelajaran yang mendorong kreativitas, keberanian mengambil risiko, dan kemampuan menciptakan nilai, pendidikan tinggi akan terus tertinggal dari dinamika ekonomi yang berkembang cepat. Dalam konteks ini, kewirausahaan menjadi medium penting untuk menjembatani kesenjangan antara dunia akademik dan kebutuhan riil masyarakat.

Ketika kewirausahaan diintegrasikan secara substantif dalam pengalaman mahasiswa, perguruan tinggi memiliki peluang untuk kembali menjalankan peran historisnya secara utuh. Lulusan tidak hanya dibekali gelar akademik, tetapi juga kapasitas sebagai agen perubahan ekonomi dan sosial. Pendekatan ini menjadikan kewirausahaan mahasiswa sebagai kontribusi nyata pendidikan tinggi dalam mengurangi pengangguran terdidik dan memperkuat pembangunan berbasis sumber daya manusia.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT