Pagi itu, Di tanah adat maba Sangaji terbangun bukan oleh suara burung atau debur ombak, tetapi oleh deru kendaraan aparat yang memasuki tanah adat. Belasan aparat bersenjata lengkap menghampiri warga yang berkumpul di balai adat. Tanpa pembacaan surat perintah yang jelas, mereka menangkap 11 orang para petani, nelayan, dan penjaga adat lalu membawanya pergi. Suasana kampung seketika sunyi, hanya tersisa tangis anak-anak dan tatapan kosong para istri yang tak berdaya.
Penangkapan ini bukanlah peristiwa tunggal. Sepekan sebelumnya, warga adat menolak pemasangan patok oleh perusahaan yang mengklaim hak atas tanah leluhur. Penolakan itu dilakukan melalui ritual adat, yang bagi masyarakat setempat adalah bukti sah kepemilikan dan ikatan spiritual terhadap tanah. Namun bagi kepentingan modal, itu dianggap ancaman. Lenin pernah menulis, "Kebenaran selalu berpihak pada yang tertindas, tetapi kekuasaan sering berada di tangan penindas." Kutipan itu kini terasa nyata di Maba Saja Sangaji.
Di tanah ini, hukum adat telah diakui oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan dilindungi oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Namun, semua itu hanya tinggal tulisan ketika "Borgol" lebih cepat bekerja daripada pasal. Tan Malaka pernah berkata, "Ideal yang tidak disertai kekuatan hanyalah bunga tidur." Masyarakat adat memiliki ideal mempertahankan tanahnya, tetapi berhadapan dengan kekuatan senjata dan kekuasaan yang tak berpihak.
Bagi warga Maba Sangaji, tanah bukan sekadar ruang hidup, melainkan warisan leluhur, Identitas, dan masa depan anak cucu. Ketika tanah itu diambil, mereka kehilangan segalanya rumah, penghidupan, bahkan harga diri. Borgol yang melingkar di tangan 11 warga itu adalah simbol bahwa kekuatan modal kini berani menantang keberadaan adat, bahkan di tanah yang telah dijaga selama ratusan tahun.
Kini, sudah berhari-hari 11 warga itu ditahan. Proses hukum berjalan lambat, keluarga kesulitan mendapat kabar, dan kampung terjebak dalam ketidakpastian. hutan terbengkalai, laut sepi perahu, dan balai adat tak lagi ramai. Semua bertanya dalam hati: sampai kapan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Kasus ini bukan hanya tentang sebelas orang, melainkan tentang seluruh Masyarakat adat yang bisa menjadi korban berikutnya. Jika mempertahankan tanah leluhur dianggap melawan hukum, maka kita sedang menyaksikan bagaimana adat yang seharusnya dihormati perlahan diborgol. Dan sejarah akan mencatat, di Maba Sangaji, hukum tidak lagi menjadi pelindung, melainkan alat penindasan. Karena itu, pembebasan segera terhadap 11 masyarakat adat Maba Sangaji para pejuang lingkungan hidup yang mempertahankan tanah dan hutan mereka adalah sebuah keharusan moral dan hukum.
#BEBASKAN 11 MASYARAKAT ADAT MABA SANGAJI
#BEBASKAN!!
#BEBASKAN!!
#BEBASKAN!!
(penulis)