Home / Opini

Kenapa Maluku Utara Belum Mempunyai PTUN?

Oleh: Lukman Ahmad Rumatamerek Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jayabaya Jakarta
26 Mei 2021
Lukman Ahmad Rumatamerek

Sudah 22 tahun lamanya Maluku Utara (Malut) menjadi provinsi, ketika dimekarkan dari Maluku pada 4 Oktober 1999. Akan tetapi sampai sekarang masi jauh tertinggal dalam bidang pembangunan, terutama dalam aspek pembangunan sarana dan prasarana pengadilan. Di mana Malut dengan sepeluh kabupaten/kotanya baru mempunyai enam Pengadilan Negeri (PN) dan empat Pengadilan Agama (PA). Dan lebih parahnya, sampai saat ini belum mempunyai Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Padahal dalam kurun waktu cukup lama itu, perjalanan Malut sebagai daerah otonom telah banyak diwarnahi persoalan hukum yang membutuhkan peran aktif penegak hukum, terutama hakim dalam menyelesaikan segala macam persoalan hukum masyarakat. 

 Apalagi kasus hukum setiap tahunnya di enam PN se-wilayah Malut mengalami peningkatan drastis, sebagaimana Laporan Kegiatan Pengadilan Tinggi Maluku Utara (PT Malut) Tahun 2020, yang menyampaikan bahwa sisa perkara pidana 2019 dan perkara masuk 2020 sebanyak 21.105 perkara dan perdata sebanyak 516 perkara.

Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Malut dalam Laporan Pelaksanaan Kegiatan Tahun 2020, memberitahukan bahwa sisa perkara 2019 dan perkara masuk 2020 di empat PA, semuanya berjumlah 1752 perkara. Sementara Laporan Tahunan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, menyebutkan bahwa pada 2019, terdaftar 49 perkara dan 35 mendaftar menggunakan e-Court. 

Informasi tersebut mengonfimasikan betapa pentingnya eksistensi pengadilan sebagai penjamin terpenuhinya akses terhadap keadilan (access to justice), dalam melerai dan mengadili setiap masalah hukum masyarakat. Selain itu, tugas mulia pengadilan juga untuk melindungi hak-hak asasi setiap rakyat Indonesia dan mencegah kesewenang-wenangan penguasa yang cenderung zolim.

Namun, sangat disayangkan akses terhadap keadilan belum begitu merata menyentuh seluruh lapisan masyarakat Malut, terutama yang berada di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Karena, selain terkendala mahalnya jasa bantuan hukum, juga disebabkan oleh belum tersedianya pengadilan dibeberapa kabupaten/kota.

Sebagaimana diketahui, di Malut baru ada enam Pengadilan Negeri (PN) yakni: PN Ternate, PN Soasio, PN Tobelo, PN Labuha, PN Sanana, dan PN Bobong. Dan empat Pengadilan Agama (PA) yaitu: PA Ternate, PA Labuha, PA Morotai, dan PA Soasio. Lalu bagaimana nasib masyarakat pencari keadilan di kabupaten/kota lainnya yang nol pengadilan?. Tentu banyak luka lara tersembunyi di daerah-daerah terpencil yang tak terakses media, pengacara, dan apalagi hakim yang hanya standby di balik meja hijaunya. 

Penderitaan itu lebih diperparah lagi bila suatu waktu masyarakat hendak menggugat keputusan pejabat tata usaha negara ke PTUN Ambon. Karena, Malut termasuk dalam yuridiksi hukum PTUN Ambon, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Kepres RI No. 16/1993 yang berbunyi, “Daerah hukum PTUN Ambon meliputi seluruh wilayah Kabupaten dan Kotamadya Daerah Tingkat II yang terdapat dalam wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku–yang sekarang berdasarkan UU No 46/1999 telah menjadi Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat”. 

Itulah kenyataan pahit yang selama ini masyarakat Malut dipaksa menelannya mentah-mentah. Sembari dihibur dengan janji-janji manis, tak kala momentum pemilu berlangsung. Kesengsaraan itu pernah saya alami juga dengan kelima teman pada enam tahun lalu.

Ketika pada Jumat, 14 Agustus 2015, Dekan Fakultas Hukum Universitas Khairun menerbitkan SK No. 242/H44.C1/LL/2015 yang memberhentikan Saya, Dalili, Arman Kedafota, Fatur Rahman Karim, Rustam Umar, dan  Artasi Ode Muhrijin, sebagai mahasiswa hukum selama dua semester, atas tuduhan melanggar aturan akademik.

Padahal kami hanya sekedar melakukan aksi protes atas tindakan beliau yang telah memukuli Ketua BEM Fakultas Hukum Mahri Hasan, di hadapan puluhan mahasiswa ketika sedang berlangsungnya Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) mahasiswa baru. 

Dalam pertimbangan hukumnya, dekan sekedar mencantumkan beberapa peraturan perundang-undangan, tanpa menyebutkan secara spesifik pasal terkait pemberian sanksi skorsing yang kami langgar. Memang kenyataanya tak ada pasal demikian, terkecuali bila mengacu pada Peraturan Akademik Unkhair, itupun seharusnya kami terlebih dahulu dikenai sanksi administrasi, sebelum sanksi akademik.

Dari situ saya dan teman-teman menilai SK tersebut cacat hukum, sehingga andai kata ada PTUN di Malut, sudah tentu keputusan itu telah kami sengketakan. Sebab, SK dekan itu, juga termasuk salah satu objek sengketa TUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN, bahwa: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Tetapi, harapan itu kandas di tengah jalan, sebab kami terbentur pada kenyataan bahwa butuh biaya belasan atau puluhan juta untuk bisa berperkara sampai selesai di PTUN Ambon. Mulai dari biaya transportasi, administrasi pendaftara gugatan, uang nginap, dan makan selama di Ambon dan persiapan biaya banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar harus disediakan. Bagaimana caranya biaya sebesar itu terkumpulkan, sementara kami hanyalah mahasiswa dari keluarga kurang mampu.

Memang betul ada asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tetapi, kami mafhum bahwa terdapat perbedaan antara hukum yang seharusnya (Das Sollen) dan hukum senyatanya (Das Sein) yang terjadi di masyarakat. 

Olehnya itu, saya tak dapat membayangkan bagaimana sulit dan berdarah-darahnya usaha Arbi M. Nur, Ikra S. Alkatiri, Fahyudi Kabir, dan Fahrul Abdulla dalam mencari keadilan dan bantuan hukum demi memperjuangkan hak-hak mereka sebagai Mahasiswa Unkhair yang diberhentikan setelah terlibat aksi rasisme Papua dengan SK Rektor Unkhair bernomor 1860/UN44/KP/2019. Kegigihan perjuangan mereka patut diacungi jempol, karena telah sanggup menggugat SK Rektor ke PTUN Ambon, lalu banding ke PTTUN Makassar dan terakhir kasasi ke MA.

Kemungkinan besar keadaan demikian juga dirasakan sebagian besar masyarakat, sehingga banyak persoalan andministrasi akibat ulah kepala daerah atau pejabat tinggi lainnya di Malut yang sering bandel dalam membuat keputusan tanpa dasar hukum dan menyalahi prosedur, serta merugikan masyarakat maupun badan hukum perdata yang tidak mampu dibawah ke ranah pengadilan oleh pihak bersangkutan. 

MA sendiri baru meluncurkan aplikasi e-Court pada 29 Maret 2018 lalu, dengan tujuan menyediakan kemudahan layanan administrasi perkara secara elektronik bagi masyarakat yang hendak berperkara di PN, PA/Mahkamah Syaríyah, Pengadilan Militer dan PTUN, sebabaimana diatur dengan PERMA No. 3 Tahun 2018. 

Itupun masi meninggalkan sederatan masalah, sebab hanya mengatur terkait administrasi perkara dan masi banyak daerah yang sarana prasarana jaringan internetnya belum memadai, sehingga kesulitan untuk mengakses layanan elektronik tersebut. 

Maka patut dipersoalkan kenapa sampai saat ini belum berdiri PTUN di Malut. Bukankah kehadiran Peradilan TUN sebagaimana termuat dalam UU No. 5/1986 adalah demi mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang TUN dengan para warga masyarakat.

Sejauh penelusuran saya, tak ada usaha serius pemerintah pusat maupun daerah untuk mendirikan PTUN di Malut. Pernah ada berita online “Antara Maluku” pada 22 April 2015 lalu, yang mengabarkan seorang anggota DPRD Malut yakni Wahda Z. Imam yang saat itu meminta pemerintah pusat segera membentuk PTUN di Malut.

Menurut Wahda, "Selama ini masyarakat Malut yang ingin mencari keadilan melalui PTUN harus ke Ambon, Maluku, sehingga mereka harus mengeluarkan biaya cukup besar, apalagi kalau sidangnya berlangsung lama”, lebih lanjut menurutnya, “PTUN merupakan institusi hukum yang sangat strategis seiring dengan semakin banyaknya permasalahan hukum yang proses penyelesaiannya harus melalui lembaga itu. Karena itu keberadaan PTUN di setiap provinsi menjadi suatu keharusan”.

Dalam berita itu, juga disampaikan bahwa Komisi I DPRD Malut, telah menghadap ke PTUN Ambon dan Mahkamah Agung serta sejumlah pihak terkait lainnya di Jakarta untuk menyampaikan usulan pembentukan PTUN di Malut. 

Mungkin atas usulan itu, sehingga pada November 2019 Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis dan Administrasi PERATUN berdasarkan SK DITJEN BADILMILTUN MA RI Nomor: 1060/Djmt/Kep/11/2019 Tentang Penunjukkan Tim Peninjauan dan Studi Kelayakan Pembentukan PTUN Sofifi, Tanjung Selor dan Mamuju Tahun Anggaran 2019 telah melaksanakan peninjauan dan studi kelayakan untuk memperoleh informasi secara terperinci terhadap seluruh aspek untuk menentukan kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan di tiga daerah tersebut. 

Dalam kegiatan di Sofifi yang berlangsung sejak 20-22 November 2019, Syamsul Hadi, S.H. selaku Ketua Tim meminta dukungan Pemda Malut menyediakan lokasi pembangunan gedung kantor PTUN Sofifi minimal seluas 5.000 m2, rumah dinas, kendaraan dinas dan meubelair untuk ruang pengadilan. 

Saat itu, Pemda Malut telah bersedia mengakomodir dan meminta supaya permintaan itu diajukan secara tertulis kepada Gubernur Malut. Namun, sampai detik ini tak terdengar lagi kabar terkait tindak lanjut pembangunan PTUN di Malut. Entah apa kendalanya, yang jelas hal itu merupakan tanggung jawab serta pekerjaan rumah Pemda Malut yang harus diselesaikan sesegara mungkin. 

Begitu…[] 

 

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT