Home / Opini

Kembali ke ''Soempah''

Oleh : Ummulkhairy M. Dun (Wasek Bidang Internal KOHATI HMI Cabang Ternate)
29 Oktober 2021
Ummulkhairy M. Dun

​Secara historis jelas bahwa eksistensi Republik Indonesia  tidak terlepas dari peran muda-mudi di setiap masa. Seorang penulis asal Belanda pernah mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tahun 1945 merupakan revolusi pemuda.

​Jauh sebelum revolusi pemuda 45 terjadi, ikhtiar para pemuda Indonesia dapat dikatakan sangat matang. Hal tersebut terbukti dengan adanya dinamika organisasi kalangan muda yang dibentuk secara bertahap.

​Berawal dari tahun 1908 dengan hadirnya Boedi Oetomo sebagai wadah perjuangann mahasiswa dan golongan terpelajar. Gerakan Boedi Oetomo dimiliki oleh mahasiswa dari berbagai jenis sekolah baik kedokteran, pertanian, perikanan hingga sekolah-sekolah guru di pulau Jawa.

​Kehadiran Boedi Oetomo dinilai menarik karena menjadi satu-satunya wadah perkumpulan pemuda yang militan dan solid di awal abad 20. Jiwa perjuangan pemuda dibangun atas dasar solidaritas hingga memiliki dampak yang besar pada perjuangan bangsa tahun 1945.

​Pergerakan Boedi Oetomo dilakukan dengan basis komunitas. Sehingga tidak heran pada saat itu banyak komunitas yang lahir berdasarkan daerah masing-masing. Kurang lebih 40 cabang dan 10 ribu anggota dari gerakan Boedi Oetomo. Untuk menyebarkan pemikiran dari gerakan Boedi Oetomo yang dilakukan melalui penerbitan buletin, selembaran tulisan, dan surat kabar.

​Salah satu komunitas yang lahir atas semangat gerakan yang dipelopori oleh Boedi Oetomo berlanjut hingga pada tahun 1922. Pada tahun tersebut, wadah perhimpunan mahasiswa studi di Belanda mematangkan visi misinya untuk kembali ke tanah air dan bertekad melakukan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

​Perhimpunan yang beranggotakan Mohammad Hatta, Nazir Datoek Pamuntjak, Ali Sastromidjojo, Sutan Sjahrir, dan lainnya merasa kecewa atas situasi politik tanah air. Keramaian ideologi partai politik seperti komunis, nasionalis, Islam dan persyarikatan sosial (Muhammadiyah & Nahdlatul Ulama) t menjadi alasan kekecewaan mereka.

​Dody Rudianto dalam bukunya “Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional” menyatakan bahwa kekecewaan atas banyaknya ideologi partai politik dianggap menghambat kemerdekaan Indonesia sebab setiap kelompok dengan ideologi berbeda melakukan perjuangan menurut baiknya kelompok tersebut.

​Atas dasar itulah para pemuda dan mahasiswa yang tegabung dalam kelompok berbeda berinisiatif untuk melakukan pertemuan nasional dengan tajuk Kongres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 26-28 Oktober 1928. Pertemuan skala nasional itu melahirkan rumusan “Indonesia Moeda” dan dicetuskannya Soempah Pemuda.

​Soempah Pemuda yang dihasilkan memuat isi satu bangsa “Bangsa Indonesia”, satu tanah air “Tanah Air Indonesia”, dan satu bahasa “Bahasa Indonesia”. Sumpah tersebut diikrar oleh segenap pemuda Indonesia yang berbeda organisasi satu sama lain.

​Ikrar bukan sekadar kumpulan kata yang dilantangkan melainkan sebagai bagian dari perjuangan atas persatuan untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Meskipun dengan dinamika yang cukup rumit, para pemuda dan mahasiswa berani mewujudkan ikrar yang mereka cetuskan itu dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

​Semangat sumpah pemuda mengalami pergolakan di kalangan mahasiswa dan pemuda hingga tahun kemerdekaan 1945. Pasca kemerdekaan, pemuda dan mahasiswa dituntut mengawal hak-hak rakyat. Jika sebelum kemerdekaan para pemuda bersatu untuk melawan penindasan bangsa penjajah, maka berbeda dengan perjuangan para pemuda pasca kemerdekaan.

​Pasca kemerdekaan, para pemuda sempat tidak menunjukkan kiprahnya di awal kemerdekaan. Kiprah pemuda terlihat jelas pada tahun 1998 saat merobohkan tembok kekuasaan orde baru. Perjuangan tersebut dilakukan dengan berani dan semangat sumpah pemuda yang membara karena pemerintahan kala itu dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat.

​Rangkaian dinamika semangat pemuda dari masa ke masa yang dijelaskan sebelumnya bertujuan untuk mempertegas eksistensi pemuda di negeri ini. Penghargaan terhadap para pemuda yang berjuang di masa lampau dikenang oleh pemuda saat ini setiap tanggal 28 Oktober.

​Jika dikontekskan dengan era terkini, perjuangan pemuda saat ini berbeda dengan perjuangan pemuda di masa lalu. Perjuangan di masa lalu dilakukan menggunakan senjata khasnya berupa bambu runcing. Sedangkan perjuangan saat ini tidak lagi menggunakan senjata bambu runcing.

​Lantas perjuangan seperti apa yang harus dilakukan pemuda saat ini?. Era sekarang ini pemuda maupun mahasiswa diperhadapkan dengan sebuah peperangan yang dinilai baru. Peperangan tersebut adalah perang asimetris. Sebuah pertikaian yang dilakukan tanpa menggunakan fisik melainkan gagasan untuk memusnahkan lawan.

Itu artinya bahwa pemuda dan mahasiswa masa kini perjuangannya harus dilakukan berbasis pena. Pena secara fisik kalah dengan bambu runcing di masa lalu tetapi pena secara nilai menjadi kuat di masa seakarang. Kumujaraban pena berdampak besar bagi pandangan dunia terhadap bangsa ini.

Penggunaan pena yang baik oleh pemuda dan mahasiswa akan mengangkat martabat bangsa ini. Sebuah ide yang dinarasikan dengan pena dan diproklamirkan sebagai suatu temuan di dunia, menjadi penghargaan terbaik mengalahkan ketajaman senjata di era saat ini.

Hal itu belum terlalu menarik minat pemuda dan mahasiswa. Pasalnya, pemuda dan mahasiswa masih menggunakan fisik sebagai instrumen perjuangan.Contohnya seperti ‘baku hantam’ antara mahasiswa dan polisi yang notabenenya adalah sesama pemuda pada saat aksi demonstrasi.  Selain itu, pemuda dan mahasiswa saat ini didominasi oleh ego yang tinggi.

Secara faktual, antusias pemuda dan mahasiswa dalam berorganisai saat ini patut diragukan. Kenapa demikian? Karena dinamika organisasi di era sekarang banyak diracuni dengan kepentingan sepihak untuk memperoleh jabatan tertinggi. Kepentingan bersama dan kemaslahatan masyarakat yang seyogianya diperjuangkan tidak lagi menjadi prioritas dalam perjuangan.

Pemuda dan mahasiswa saat ini direkomendasikan untuk kembali memaknai rangkaian kata yang termuat dalam naskah sumpah pemuda. Naskah sumpah pemuda jika dipahami secara esensi mengandung makna persatuan yang kuat. Jadi, tidak heran Kartini dengan semangat kebangsaannya sebagai bangsa Indonesia memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tulisannya. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Syahrir menjadi tokoh pejuang kemerdekaan, dan masih banyak lagi pemuda pejuang lainnya.

Klimaks persatuan Indonesia pun diejawantahkan oleh aktivis 98 demi membela kepentingan rakyat dengan menjatuhkan pemerintahan Presiden Soeharto waktu itu. Atas nama bangsa, tanah air dan bahasa Indonesia mereka mengorbankan tenaga serta pikiran bahkan nyawa demi kepentingan masyarakat Indonesia.

Pemuda dan mahasiswa dapat mengembalikan suasana seperti tahun 1998. Mengawal hak-hak rakyat menggunakan instrumen demonstrasi. Demonstrasi berupa gagasan terbaik tidak selalu disampaikan melalui aksi di lapangan melainkan dapat diutarakan melalui seni mengetik aksara.

Semangat yang diharapkan dari peringatan Hari Sumpah Pemuda adalah semangat persatuan dan jiwa perjuangan yang disematkan pada masing-masing pemuda secara kolektif. Perjuangan dengan hasil memuaskan atas dasar semangat bersama bukan personal.

Harap tak berbanding lurus dengan realita, justru saat ini sebagian besar pemuda dan mahasiswa terbawa asik dengan pola hidup yang apatis, hedon, dan pragmatis. Sehingga hal-hal berbaur persatuan dan perjuangan tidak lagi diutamakan.

Inilah potret pemuda dan mahasiswa saat ini, berjuang dengan pena dianggap sulit bagi sebagian mereka, mempersatukan kembali pemuda dalam menyuarakan kepentingan rakyat pun tergolong jauh dari kata terlaksana, merendahkan ego pada perjuangan masih terkesan lemah.

Berbangsa satu bangsa Indonesia menjadi berbangsa Indonesia dengan perjuangan masing-masing bangsa, bertanah air Indonesia menjadi bertanah air berbeda Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia menjadi berbahasa Indonesia sebagai bahasa formalitas. Semoga naskah dengan redaksi kata ‘menjadi’ tidak dikabulkan oleh pemuda dan mahasiswa saat ini. Kmbali ke soempah untuk diambil semangatnya bukan menjadi mereka (pemuda) kala itu.

 (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT