Home / Opini

Islam dan Mitos Subordinasi Perempuan

Oleh: Nurhidaya Tari
13 Januari 2021
Nurhidaya Tari

   Sekarang ini teknologi semakin cangih dan teknologi informasi menjadi komsumsi publik tentunya semakin banyak masyarakat mengunakan social media, berbagai media dapat kita tonton banyak sekali pelabelan yang secara sistematis melabeli perempuan dengan berbagai macam pelabelan misalnya label pelacur, hingga sampai dengan tingkat kekerasan baik itu fisik maupun psikis ini tentunya membuat perempuan merasa tidak percaya diri dan membudaya di masyarakat bahwa perempuan seperti itu, secara tidak sadar telah kita dilecehkan secara kemanusian.

Tentunya ini menjadi tamparan keras bagi perempuan untuk terus berkarya dan  harus ditingkatkan karena perempuan merupakan manusia dengan segala mimpi walaupun memiliki beban ganda namun tetap mampu melakukan tangung jawab dengan bijaksana, perempuan disamping kewajiban ada haknya, tentunya ini juga harus dilihat, sangat di sayangkan sekali jika ada yang memanrjinalkan perempuan.

Muhammad Rifa’at Adiakarti Farid (2019: 175-190) dalam penelitianya  sistem budaya patriarki laki-laki akan lebih rentan menjadi pelaku, sedangkan perempuan akan lebih rentan menjadi korban. Budaya ini sebenarnya merupakan representasi nilai masa lalu yang menganggap perempuan hanya berkutat di dapur dan sumur. Dalam situasi ini dikarenakan keadilan dan kesetaraan gender tidak bisa diwujudkan hanya dengan melibatkan perempuan saja atau sebaliknya. Di era modern seperti sekarang ini, walaupun sudah ada pandangan untuk persamaan derajat, tetapi masih saja ada pandangan perempuan dianggap lemah daripada laki-laki. 

Ketimpangan gender  juga terjadi di sektor perikanan dipengaruhi oleh subkultur masyarakat pesisir yang menganut budaya patriarki yang mewujud dalam bentuk beban ganda, marginalisasi, subordinasi, stereotip dan kekerasan. Pemikiran-pemikiran kolot inii seharusnya dihilangkan Erma susanti(2017) 

Perempuan masih mengalami ketimpangan hak dan tidak pernah mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan oleh laki-laki. Masyarakat yang sebagian masih memegang prinsip budaya patriaki. Laki-laki mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan cenderung dinomorduakan. Islam pada dasarnya menjunjung tinggi kesetaraan. Agama Islam diyakini sebagai agama yang ideal. Diturunkan untuk mengangkat derajat dan membebaskan perempuan dari tradisi jahiliyyah yang memarginalisasi kedudukannya. 

Ayat al-Qur’an telah mengungkapkan kesetaraan laki-laki dan perempuan serta menggariskan persamaan kedudukan diantara keduanya. Adapun yang membedakan adalah tingkat ketaqwaan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu,” (QS: Al-Hujurat: 13)..

Begitu juga dari Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah  “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Yang bertakwa itulah yang berhak menyandang kemuliaan, yaitu lebih mulia dari orang yang tidak memiliki sifat takwa. Dialah yang paling mulia dan tinggi kedudukannya (di sisi Allah). Namun, dalam realitas empiris keagamaan timbul problem pemahaman dan penafsiran teks-teks agama yang bias gender.

Hal tersebut kemudian memunculkan masalah berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, seperti ketidakadilan, violence, subordinasi, double burden, diskriminasi, dan marginalisasi. Pelabelan-pelabelan seperti ini perlu adanya peninjauan ulang agar model penafsiran tidak menghadirkan  cenderung meminggirkan peranan  perempuan. Karena Perempuan berasal dari kata per-empu-an. “Per” itu berarti makhluk, “Empu” berasal dari kata Sansekerta yang berarti mulia, berilmu tinggi, pembuat suatu karya agung. Leluhur bangsa ini pun sudah memberikan makna dalam kata perempuan sebagai bentuk penghormatan tinggi kepada perempuan.

Kita lihat Christina Fernandez de Kirchner, Presiden Argentina seorang perempuan yang memegang peran penting dalam memimpin Argentina, di Indonesia Keumalahayati (Malahayati) bahkan memiliki nyali besar ikut berperang melawan penjajahan Belanda begitupun dengan Cut Nyak Dien , kemudian perempuan dari Australia yakni Julia Gillard  Perdana Menteri Australia, kemudian Dilma Rousseff presiden Brasil juga seorang perempuan. Begitu juga dengan Sayyida al-Hurra seorang gubernur perempuan Andalusia yang kuat dan juga penguasa sekaligus pemimpin bajak laut yang tak terkalahkan di wilayah Mediterania Barat. Nama Sayyida al-Hurra sebenarnya memiliki makna seorang perempuan mulia yang independen dan bebas.dan tentunya ini juga berlaku bagi semua perempuan yang memiliki kebebasan.

Membaca sejarah dapat kita ketahui bahwa perempuan memiliki potensi dan mampu mengambil bagian dalam garis-garis juang dalam berbagai bidang, sudah selayaknya pelabelan itu di surutkan dan katakan perempuan bisa dan tidak harus dinomorduakan dan perempuan hebat mampu berdiri dengan gagah untuk kelebih baikan negeri.  Sudah saatnya berkarya untuk negeri,  perempuan harus bebas, bebas berpendapat, bebas berkarya, dan bebas mengatur tubuhnya sendiri. 

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT