Home / Opini

IBADAH HAJI DALAM PERSPEKTIF SUFISTIK

Oleh: M. Husni Muslim,S.Pd.I.,M.Pd (Ketua Gema Suba)
04 Juni 2021
M. Husni Muslim,S.Pd.I.,M.Pd

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal, Qs Ali Imran 190.

Sejak ditanda tangani Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional oleh Ir. Joko Widodo padaSenin 13 April 2020, maka sejak saat itu Covid-19 menjadi sesuatu yang sangat di prioritaskan. 

Covid-19 telah memberi dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, hadirnya Covid-19 tidak hanya merubah proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dari tatap muka ke tatap layar, namun masih banyak lagi yang mau tak mau harus dirubah/ disesuaikan termasuk pelaksanaan Ibadah haji. 

Padahal ibadah haji merupakan puncak dari peribadatan bagi seorang muslim. Ia menjadi pelengkap rukun Islam yang lima. Seorang muslim pasti mengharapkan agar dirinya bisa menunaikan Ibadah tersebut meskipun harus bersusah payah mengumpulkan uang dan memantapkan diri secara dzahir dan batin termasuk rela dan ikhlas menunggu antrian bertahun- tahun. Demikianlah wujud kepatuhan secara total dan ikhlas karena mengharapkan keridhaan Allah SWT.

Namun, sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan telah terjadi, pada tahun yang lalu negeri Arab khususnya Masjidil Haram yang biasanya ramai dengan kalimat Talbiyyah sambil  berdesak- desakan  melakukan tawaf berubah menjadi sedikit sepi dari biasanya, bukit Shafa dan marwa pun tidak terlalu ramai untuk orang melakukan Sa’i, begitupun yang juga terjadi di Mina,Mudzdalifah dll.

Fenomena yang tidak biasa ini terjadi katika pemerintah Arab Saudi mengeluarkan ma’lumat tentang ditiadakannya Ibadah Haji pada tahun 2020 bagi calon jama’ah haji yang berasal dari luar negara Arab Saudi, termasuk kita di Indonesia ini. Selain itu, yang lebih memprihatinkan lagi, pada tahun 2021 ini calon jama’ah haji Indonesia masih belum bisa diberangkatkan. Hal ini disampaikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No 660/2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H/2021 M.

Tentunya dikeluarkannya ma’lumat pemerintah Arab Saudi pada tahun 2020 lalu dan Keputusan Menteri Agama RI pada 2021 ini sangat beralasan dan telah melewati berbagai tahap pengkajian, yang tidak lain dan tidak bukan, hanyalah demi menghindari dan memutus mata rantai wabah covid 19. Hal ini sejalan dengan Qaidah Fiqh yang menyebutkan bahwa “Dar-ul mafaasidu maqaddamun a’laa jilbil mashaalih”artinya: Menolak kemudharatan (keburukan) itu harus didahulukan dari pada mengambil suatu mashlahah (Kebaikan). 

Tanpa disadari, ma’lumat dan keputusan menteri agama tersebut telah mengundang berbagai macam respon, baik yang pro maupun yang kontra, bahkan ada sebagian dari kita yang merasa keberatan dengan keputusan tersebut. Padahal, pembatalan keberangkatan jam’ah ibadah Haji di tahun 2020 dan 2021 ini memliki alasan yang rasional dan mendasar. Selain itu, pembatalan keberangkatan jama’ah ibadah haji pada 2 tahun terakhir ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sejarah telah mencatat bahwa pembatalan Ibadah haji pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah Arab pernah melarang pelaksanaan haji pada tahun 1814 M karena wabah penyakit thoun, demikian juga pada tahun 1837 dan 1858 karena epidemi, pelarangan ibadah haji juga terjadi pada tahun 1892 akibat wabah kolera dan 1897 karena wabah meningtis. Sedangkan pemerintah Indonesia sendiri pernah tidak memberangkatkan jama’ah haji pada tahun 1946 hingga 1948 akibat agresi militer belanda. 

Terlepas dari itu semua bagi kaum Sufistik, ada ataupun tidak ada pembatalan Ibadah haji bukanlah hal yang patut diseriusi apalagi diperdebatkan. Sebab menurut para sufi, urutan- urutan haji mulai dari berangkat hingga kembali ketanah air itu tidak akan bermakna apa- apa jika kita tidak mampu menggali dan menghayati makna esoterik dan spritual yang ada di balik ibadah haji. 

Bagi Kaum Sufi:

-Keberangkatan ke Makkah bermakna bukanlah sekedar pergi dari rumah secara fisik ke kota Makkah yang suci, tetapi hakikatnya adalah pergi menjauhi perbuatan dosa.

-Ihram bukanlah sekedar memakai pakaian putih tanpa jahitan semata, tetapi lebih pada simbol pelepasan sifat- sifat manusiawi yang negatif seperti Sombong, congkak, takabbur, merasa paling hebat dan menolak kebenaran.

Terkait sifat negatif manusia yang harus dihindari ini, seorang pemangku adat Kesultanan Bacan pernah berkata dalam syairnya:

Cece kau naik tinggi laku= janganlah engkau naik terlalu tinggi

Sabab cece po kau turung tu,mu salai anak tangga= sebab jangan sampai ketika engkau turun nanti, engkau akan turun/ jatuh tanpa terkontrol.

-Wukuf  bukanlah sekedar tinggal di arafah, tapi lebih pada pengalaman bathiniyyah untuk melihat dan menyaksikan kekuatan dan kekuasaan ilahiyyah yang tidak terlihat.

- Berdiam di Muzdalifah bukanlah sekedar beristirahat beberapa saat, tetapi bermakna menjauhi hasrat dan keinginan- keinginan duniawi.

-Tawaf bukanlah sekedar berjalan mengelilingi ka’bah, tetapi merupakan ikhtiar menyaksikan yang Maha indah dalam rumah rahasia-Nya serta senantiasa mengingatnya dengan dzikir disepanjang kehidupan.  

-Sa’i bukanlah sekedar berlari- lari kecil anatara bukit safa’ dan marwa, tetapi lebih bermakna pencarian bentuk kesucian dan kehormatan manusia (Muru’ah).

-Melempar jumrah bukanlah sekedar melempar batu semata, tetapi lebih bermakna menghempaskan dan memerangi syaitan yang bersarang pada diri kita.

Akhirnya kepadanyalah kita berserah diri dan kembali, semoga seluruh doa yang dipanjatkan para Alim ulama, para Auliyaa termasuk yang kita panjatkan sampai detik ini diijabah dan insya Allah dengan izinNya juga Covid-19 ini dapat segera diangkat. Aaamin ya rabbal alamiin.(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT