Antara Absolut Dan Relatif
Oleh: Hamdy M. Zen
Pengajar Bahasa Arab IAIN Ternate
Pembaca yang budiman! Maaf, seringkali, harapan, anggapan, serta pandangan dan lain-lain, dianggap sebuah kenyataan pasti yang tidak ada keraguan, apalagi kesalahan di dalamnya. Sehingga terkadang memaksakan kita untuk mengajak atau pun melarang orang lain dalam hal itu. Misalnya, warna putih adalah warna yang kita senangi. Dalam kesempatan itu, ada orang yang menggunakan atau memiliki kecenderungan pada warna lain. Kita pun lantas bersuara, “ sebaiknya diganti dengan warna putih, sebab warna yang anda pilih tersebut tidak menarik ”. Dan lain semacamnya.
Realitas di atas, seolah telah menjadi sesuatu yang lumrah. Baik dalam dunia politik, sosial, budaya, pendidikan hingga agama. Dalam ranah politik misalnya, ketika kita berbeda pilihan, sering kali kita menyalahkan orang lain yang memiliki pilihan lain yang berbeda dengan kita. Maaf, lalu tanpa ragu, kita lantas menyalahkan orang tersebut. Berbagai macam suara hitam serta bahasa duri yang mencekam pun keluar dan terbang mengudara. Endingnya, pertikaian lantas merajalela.
Begitu pun dengan sosial kemasyarakatan. Saat orang lain melakukan sesuatu yang menurut kita keliru, maaf, tanpa sedikit pun beban, kita lantas mencegah bahkan melarangnya. Terkadang, kita pun tak segan-segan melawan dengan berbagai macam cara yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya, apakah cara tersebut merugikan pihak lain atau tidak. Yang pasti, mati-matian kita hadang. Adapun asas yang kita pakai adalah kebenaran. Sayang, tanpa disadari, kita hanya bergelut pada kebenaran yang bersifat relatif saja.
Hal yang sama, terjadi pula pada ruang agama dan budaya. Sering kali, kebiasaan orang terkait dengan kebaikan dalam suatu negeri yang dilakukan, kita anggap mereka melakukan sesuatu yang bukan-bukan. Maaf, kita kemudian membandingkan dengan apa yang biasa kita lakukan, lalu dengan entengnya kita menyalahi mereka. Bahkan tak jarang kita katakan, mereka tidak pantas disebut orang yang beragama. Na’ujubillah.
Bagaimana dengan dunia pendidikan? Ternyata di sana pun kita temukan hal serupa. Perbedaan pendapat seringkali membuat kita enggan lagi untuk bertatap muka. Kita anggap kitalah yang paling benar. Kita harap orang mestinya ikut dan setuju dengan kita. Padahal telah kita pahami bersama bahwa perbedaan itu anugerah. Toh kita masih saja memaksa. Pertanyaannya, ada apa dengan kita? Bukankah kita adalah orang yang berilmu? Lantas, mengapa kita tak mau untuk belajar saling menerima?
Pembaca yang istimewa! Terkait dengan hal di atas, maka di sini, penulis ingin mengajak kepada kita sekalin untuk sama-sama menjawab sebuah pertanyaan ringan. Mengapa kita dituntut untuk beragama? Jawabannya yang pasti sederhana. Ya mengapa lagi kalau bukan untuk saling kenal mengenal lalu belajar untuk saling menerima. Sederhana bukan? Lantas, masih pantaskah kita untuk saling memaksa? Bukankah kita adalah orang yang beragama? Ingat, di dalam agama, tidak ada yang namanya paksaan dalam hal apa pun.
Mungkin ada yang berkata. Tak menjadi soal jika harus saling menerima. Tapi terkait dengan kebenaran, pastilah akan menjadi soal. Sebab, seperti yang kita tahu, kebenaran itu ada dua. Yakni kebenaran Tuhan atau yang disebut dengan kebenaran absolut serta kebenaran manusia atau yang dikenal dengan kebenaran relatif. Kebenaran Tuhan sudah pasti tak bisa dibantah karena memang tidak ada yang salah.
Yang menjadi persoalan telak adalah kebenaran relatif yang notabene bersumber dari manusia. Bagaimana cara kita menyikapinya, agar ia lalu menjadi sebuah kebenaran pasti seperti halnya kebenaran Ilahi? Di sini, dibutuhkan kejelian serta ketelitian dari dan oleh masing-masing kita itu sendiri. Mari kita ikuti bersama penjelasannya berikut ini. Namun begitu, sebelum memulai, terlebih dahulu penulis memohon maaf, jika terdapat kekeliruan di dalamnya. Kritik dan saran sangat penulis harapkan. Terima kasih.
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa disebut kebaikan / kebenaran adalah ketika kita melakukan sesuatu, perasaan kita tidak terbebani, dan seletah melakukan hal tersebut persaan kita menjadi tenang, tentram dan juga senang. Itulah yang di sebut dengan kebaikan / kebenaran. Sebaliknya, keburukan / kesalahan adalah ketika kita melakukan sesuatu, perasaan kita merasa terbebani, dan setelah melakukakannya, kita menjadi takut. Adapun hati, menjadi gelisah tak menentu. Itulah yang disebut dengan keburukan / kesalahan.
Dari penjelasan di atas, dapatlah dimengerti bahwa kebenaran adalah sesuatu yang ketika kita melakukannya, kita tidak merasa beban dan hati kita menjadi tenang. Sementara kesalahan adalah kebalikan dari itu. Artinya bahwa kesalahan adalah sesuatu yang jika kita melakukannya, hati kita menjadi takut.
Bertolak dari situ, maka jelaslah bahwa yang namanya kebenaran sudah pasti bukan dilihat dari seberapa jauh hal itu dapat dibuktikan secara empiris. Memang benar, dalam pendekatan ilmu pengetahuan yang ilmiah, salah satu indikator kebenaran adalah harus dapat dibuktikan secara empiris. Akan tetapi pada hakikatnya kebenaran adalah sesuatu yang dapat membuat hati kita menjadi tenang. Sebaliknya, kesalahan adalah sesuatu yang membuat hati kita menjadi takut tak karuan. Berikut ini penulis akan mencoba menjelaskannya secara sederhana berdasarkan kaca mata penulis.
Siapa pun kita, ketika melakukan suatu kebaikan dengan hati yang ikhlas, seperti menolong orang yang membutuhkan pertolongan, memberikan sesuatu pada orang yang kesusahan, menghormati dan mengasihi antar sesama, dan lain semacamnya, yang pasti, di situ kita akan merasa, hati menjadi tenang, tentaram serta damai. Atau juga ketika kita beribadah dengan tulus dan penuh harapan akan keridaan Tuhan, maka kita akan merasakan betapa nikmat serta indahnya melakukan hal itu. Dan seterusnya. Inilah yang dinamakan dengan sebuah kebenaran. Nah dari situ, kita pun akan mengerti bahwa kebenaran yang tadinya relatif akan beralih menjadi sebuah kebenaran absolut.
Bagaimana cara kita menganalisisnya? Di sini pun penulis akan mencoba menjelaskan pula.
Katakanlah saya suka dengan warna putih. Sedangkan anda menyukai warna merah. Di waktu yang bersamaan saya dan anda sama-sama mengenakan pakaian dengan warna sesuai kesukaan masing-masing. Saya dengan stelan warna putih dan anda dengan stelan warna merah. Yang pasti, saya dan anda tetap punya pandangan yang berbeda. Menurut saya putih itu indah. Ini kebenaran yang saya anut. Begitu pun dengan anda bahwa merah bahkan sangat indah. Dan itu kebenaran bagi anda. Pertanyaannya? Bagaimana cara kita menyatukan kedua perbedaan tersebut? Yang pasti sederhana saja. Kita sama-sama saling menerima.
Saat saling menerima inilah yang tadinya kebenaran tersebut hanya bersifat relatif akan beralih menjadi absolut. Mengapa? Karena ketika saya menggunakan warna putih perasaan saya merasa senang. Sebaliknya, ketika anda menggunakan warna merah, persaan anda pun merasa senang. Kita sama-sama merasa senang. Inilah yang dinamakan dengan sebuah kebenaran. Karena perasaan kita sama-sama tentram walau dengan warna yang berbeda. Jadi, kesimpulannya adalah sebuah kebenaran pasti, datangnya bukan dari saya, anda atau pun siapa, melainkan datang dari dalam diri kita itu sendiri.
Begitu pun dengan kesalahan. Mencuri misalanya, ketika kita melakukannya, yang pasti perasaan kita menjadi gelisah dan hati menjadi takut. Mengapa? Ya karena itu bukanlah sebuah kebenan melainkan kejahatan. Makanya hati menjadi takut tak menentu. Mungkin ada yang bertanya. Bagaimana dengan orang yang sudah terbiasa mencuri? Sebab orang yang sudah terbiasa mencuri, kelihatannya hati mereka bukan takut malah senang. Orang seperti ini, di dalam Alqur’an Tuhan jelaskan bahwa hati mereka telah dikunci rapat sehingga hati mereka menjadi buta. Orang ini, bagi penulis hanya dua. Pertama, penganut kebenaran yang salah. Dan kedua, penganut kesalahan yang benar. Akhirnya, penulis hanya dapat berkata, Jika hati kita telah buta, maka berhati-hatilah kita. Sesungguhnya, ajab Tuhan itu, sangatlah pedih (Qur’an).(penulis)