Home / Nusantara

Ketua Komisi III DPRD Haltim Sebut Gubernur Malut Melawan Hukum

23 Oktober 2020
Ashadi Tajuddin

HALTIM,OT- Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Ashadi Tajuddin mengatakan secara sadar, kebijakan Gubernur Abdul Gani Kasuba telah membelah warga dalam perdebatan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal di Halmahera Timur.

Sebab kata dia, banyak kalangan menuding miring sikap kelompok DPRD Haltim yang mempersoalkan surat pembatalan gubernur tersebut.  

“Sebagai bagian dari kelompok tersebut,  kami berkepentingan untuk menjelaskan pandangan objektif  kami terhadap surat pembatalan gubernur itu, yang tentu dilandaskan pada nalar dan logika hukum,” kata Ashadi.

Dikatakan,  alasan pokok  Gubernur membatalkan surat persetujuan pengangkatan penjabat sekretaris daerah Haltim yang termuat dalam surat nomor 800/jptp/172/x/ 2020 tentang pembatalan persetujuan pengangkatan penjabat Haltim, dimana  Gubernur berpandangan bahwa surat persetujuan pengangkatan Sekda Haltim tanggal 3 september 2020 dengan nomor 821.2/jptp/164/VI/2020 perihal persetujuan pengangkatan pejabat Sekda Haltim telah kadaluarsa dan batal demi Hukum, karena telah melampaui batas waktu pelantikan 5 hari kerja.

Lanjut Ashadi, pandangan tersebut tentu  didasarkan pada ketentuan pasal 9 peraturan Presiden nomor 3 tahun 2018 tentang penjabat Sekretaris Daerah. Akan tetapi jika mencermati alasan Gubernur tersebut. Maka telaah hukum perlu dilakukan untuk menguji kebenaran dalil Hukum.

"Apakah surat Gubernur  tentang pemberian persetujuan pengangkatan Pj sekda sudah kadaluarsa, sehingga secara otomatis batal demi Hukum atau ada telaah hukum lain," ujarnya.

Anggota DPRD Haltim Dua Periode itu menjelaskan, Peraturan Presiden nomor 3 tahun 2018 telah mengatur secara komprehensif prosedur pengangkatan penjabat Sekda. Pada pasal 8 Perpres ini, diatur tahapan dan prosedur usulan pengangkatan Pj Sekda Kabupaten/Kota hingga terbitnya persetujuan Gubernur, bahkan pada beberapa fase diatur limit waktu untuk memberikan kepastian Hukum dalam proses waktu yang berjalan.

“Misalnya dalam norma pasal 8 ayat (1) Bupati/ Walikota menyampaikan usulan Penjabat Sekda secara tertulis paling lambat 5 hari kerja setelah sekda defenitif tidak dapat melaksanakan tugas atau sejak terjadi kekosongan jabatan. Dan pada ayat (3) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan persetujuan atau penolakan atas usulan Bupati/ Walikota paling lambat 5 hari kerja sejak usulan diterima,” jelasnya.

Lanjut dia,  Kemudian pada ayat (5) dalam hal Gubernur menolak maka Bupati/Walikota wajib menyampaikan usulan baru paling lambat setelah diterima surat penolakan, ayat (6) bupati/ walikota menetapkan pj sekda paling lambat 5 hari kerja setelah persetujuan diterima atau dianggap diterima. Serta pasal 9 yang menyebutkan bahwa pj sekda dilantik oleh ppk paling lambat 5 hari kerja sejak keputusan pengangkatan ditetapkan. Pada setiap tahap diatur batasan waktu 5 hari kerja agar proses pengangkatan dapat berlangsung dalam waktu yang pasti.

“Dari uraian pasal 8 dan pasal 9 itu, terdapat limit waktu proses yang sifatnya fakultatif/mengatur, tanpa ada konsekuensi atas pelampauan waktu, kecuali ketentuan pasal 8 ayat (3) yaitu pelampauan waktu memberi persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah diterima usulan, maka gubernur kehilangan wewenang untuk memberi persetujuan atau penolakan. Sehingga atas pelampauan waktu itu bupati/ walikota yang mengusulkan dapat menetapkan pengangkatan pj sekda paling lambat 5 hari kerja setelah dianggap gubernur memberi persetujuan,” tegasnya.

Ashadi mengaku, Konsekuensi pelampauan waktu ini diatur pada ayat berikutnya yaitu ayat (4). Hilangnya wewenang gubernur untuk memberi persetujuan atau penolakan akibat terlampauinya waktu 5 hari kerja ini disebabkan karena wewenang gubernur telah kadaluarsa. Hal ini sejalan dengan pengertian kadaluarsa pada umumnya yaitu suatu keadaan yang membawa konsekuensi timbulnya/gugurnya suatu hak dan/atau kewajiban tertentu, karena lampaunya waktu.

Oleh karena itu, kata dia, kadaluarsa menimbulkan konsekwensi gugurnya/timbulnya hak dan atau kewajiban seseorang, maka norma kadaluarsa harus diatur secara jelas dalam klausul pasal selanjutnya, sehingga dengan demikian konsekuensi hukum dari pelampauan waktu (kadaluarsa) itu jelas. Norma hukum yang menyangkut kadaluarsa di lapangan hukum perdata dan pidana semuanya disebutkan secara jelas dalam klausul pasal.

“Berangkat dari penjelasan ini, maka apakah norma limit waktu pada pasal 8 dan pasal 9 yang tidak mengatur konsekuensi pelampauan waktu bisa ditafsirkan sendiri sebagai keadaan kadaluarsa? Tentu tidak, karena sepanjang tidak diatur konsekuensi hukum dari pelampauan waktu itu maka tidak bisa dipersepsikan sebagai kadaluarsa,” ujar Ashadi.

Selain dari pada telaah yuridis tersebut, lebih lanjut Ashadi menyebut, kebijakan Gubernur yang membatalkan pengangkatan penjabat Sekda Haltim dengan alasan kadaluarsa juga keliru, karena gubernur mengabaikan fakta hukum, dimana setelah gubernur menerbitkan surat persetujuan pada tanggal 3 september 2020, mendiang Bupati telah menindak lanjuti dengan menetapkan SK pengangkatan Sekda pada tanggal 4 september ke esokan harinya.

"Dengan telah diterbitkannya SK pengangkatan oleh bupati tersebut, maka gubernur tidak dapat lagi membatalkan surat persetujuan yang telah dieksekusi dengan alasan telah lampau waktu pelantikan," ujarnya.

Oleh karena itu, dalil hukum gubernur Maluku Utara yang membatalkan surat persetujuan pengangkatan penjabat sekda Halmahera Timur karena alasan kadaluarsa, tidak memiliki dasar hukum.

Ia berharap, gubernur mestinya memiliki staf yang cerdas dan cermat dalam memberikan masukan kepada gubernur, sehingga kebijakan gubernur tidak sampai bertentangan dengan norma Hukum dan bertindak sewenang-wenang tanpa dasar Hukum.(dx)


Reporter: Rudi Mochtar

BERITA TERKAIT