Home / Opini

Refleksi Pilkada Tidore 2020

Oleh: Andi Dokumalamo (Alumni SKPP Nasional 2020)
20 Desember 2020
Andi Dokumalamo

“Di  Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life” (Prof. Miriam Budiarjo)

DAPAT kita saksikan bersama pada pilkada Tahun 2020 ini, masyarakat Kota Tidore Kepulauan menyalurkan bentuk partisipasi politiknya dengan persentase yang memuaskan bagi KPU. Pasalnya dari data pemilu tahun 2019, daftar pemilih tetap Kota tidore Kepulauan sebanyak 71.383 dan masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 63.830. Jika dibandingkan dengan data pilkada 2020 kali ini, daftar pemilih tetap sebanyak 71.945 dan masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 65.696. Dapat dikatakan tingkat partsipasi masyarakat pada pilkada tahun ini naik beberapa persen menjadi 91,31 persen.

Masyarakat yang memberikan hak suara pada momentum pilkada, dapat dikatakan sebagai  salah santuk bentuk partisipasi politik. Oleh karena itu, masyarakat Kota Tidore melalui momen pilkada ini menaruh harapan besar dan terdorong untuk datang ke TPS serta berkeyakinan bahwa kepentingan mereka dapat tersalurkan atau setidak-tidaknya dapat diperhatikan. Pada pemahaman ini, masyarakat Tidore menunjukkan bahwa pendidikan politik di masyarakat cukup berhasil. Serta pelaksanaan demokrasi semakin membaik. Demikian dengan sebaliknya, jika partisipasi masyarakat rendah, maka ada indikasi bahwa pelakasanaan demokrasi di Tidore bertanda kurang baik. Indikasi tersebut dapat terlihat bahwa masyarakat kurang atau bahkan kurang berminat untuk mengetahui hal-hal yang terkait dengan pemilu/pilkada.

Bukan berarti tingkat partisipasi masyarakat yang menunjukkan angka tinggi menjadi stu-satunya indikator yang baik di momen pemilihan, ada hal yang perlu diperhatikan dalam partisipasi masyarakat dalam pemilihan, selain disebut sebagai pemilih. Masyarakat juga disebut sebagai pemantau dan pengawas partisipatif. Secara singkat, bahwa peran masyarakat dalam melakukan pengawasan atas tiap-tiap tahapan pemilu masih sangatlah kurang. Kita perlu merefleksi secara kritis terhadap kegiatan pengawasan.

Mengingat bahwa persoalan yang hingga saat ini belum terawasi dengan baik, salah satunya seperti praktik politik uang masih saja  menodai sistem demokrasi kita. Bagaimana tidak, praktik ini tidaklah sehat bagi kultur budaya berdemokrasi karena masyarakat di dorong untuk tidak memilih sesuai preferensi politiknya.

Pelanggaran praktik politik uang yang marak terjadi, mendeskripsikan kapasitas politik masyarakat melemah. Melemahnya kapasitas politik masyarakat, tidak berbanding lurus dengan tingkat partisipasi politik di atas. Sehingga perlu untuk melahirkan kesadaran kritis masyarakat untuk merawat kehidupan yang baik dalam melawan pembusukan demokrasi. Membangun kesadaran kritis masyarakat dalam meningkatkan kapasistas politik bukanlah pekerjaan yang mudah.

Agar mengurangi beban itu, maka pemuda turut berdiri di garda terdepan dan diberikan peran. Peran itu perlu diberikan kepada mahasiswa dan pelajar, karena semangat untuk memperbaiki kehidupan berdemokrasi sangatlah tinggi. Oleh karena itu, perlu kiranya stakeholder menjemput dan memfasilitasi semangat pemuda untuk menjadikan kehidupan berdemokrasi kita ke arah yang lebih baik.

(red)


Reporter: Tim

BERITA TERKAIT