Home / Opini

POTRET ANAK YANG BEKERJA di MALUKU UTARA

17 Desember 2021

Oleh: Soraya Diana Uli (Statistisi Muda)

Masalah pekerja anak adalah masalah kompleks tidak hanya terkait dengan masalah ketenagakerjaan tapi juga terkait  ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Anak sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai generasi penerus bangsa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan.

Salah satu bentuk hak dasar anakadalah jaminan untuk tumbuh kembang secara optimal baik fisik, mental, sosial danintelektual. Namun pada kenyataannya tidak semua anak berkesempatan memperoleh hak dasar tersebutsecara optimal, terutama bagi anak-anak yang orang tuanya tidak mampu secaraekonomi sehingga mereka harus bekerja membantu orangtuanya mencari nafkah.

Keterlibatan anak dalam melakukan pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu anak yang bekerja dan pekerja anak. Anak yang bekerja merupakan anak yang melakukan pekerjaan dalam jangka waktu pendek, di luar waktu sekolah, dan tanpa unsur eksploitasi. Anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Lantas bagaimana potret anak yang bekerja di Provinsi Maluku Utara?

Anak yang bekerja di Maluku Utara merupakan bagian dari Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang semakin memuncak pada masa pandemi COVID-19. Kesulitan finansial yang dihadapi terutama keluarga miskin akan meningkatkan jumlah anak putus sekolah. Untuk mitigasi dampak pandemi tersebut pemerintah meluncurkan berbagai program perlindungan sosial. Hal ini menyebabkanangka putus sekolah di semua jenjang pendidikan di Maluku Utara pada tahun ajaran 2020/2021 menurun dibandingkan tahun ajaran sebelumnya. 

Sejalan dengan penurunan angka putus sekolah, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021, persentase anak yang bekerja di Maluku Utara mencapai 9,59 persen, sedikit turun dari Februari 2020 yang mencapai 10,36 persen. Artinya, sekitar 9 dari 100 anak di Maluku Utara masih bekerja pada Februari 2021. Persentase anak yang bekerja di perdesaan tercatat sebanyak 10,54 persen.

Angka tersebut mencapai satu setengah kali lipat dari persentase anak yang bekerja di perkotaan yang tercatat sebesar 6,93 persen. Hal yang menyebabkan persentase anak yang bekerja di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan adalah penduduk miskin di Maluku Utara terkonsentrasi di wilayah perdesaan, yang notabene bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, keterbatasan akses teknologi informasi di perdesaan pada masa pembelajaran jarak jauh  justru dimanfaatkan untuk membantu orang tua bekerja.

Anak-anak merupakan sumber daya manusia di masa yang akan datang, membiarkan merekabekerja dan tidak memperoleh pendidikan yang baik akan membuat mereka terperangkap dalam ‘lingkaran setan’ (vicious circle). Ketika mereka menjadi dewasa akan terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dengan upah yang sangat rendah. Selanjutnya mereka akan kembali ‘melahirkan’ anak-anak miskin, yang besar kemungkinannya kembali menjadi anak yang bekerjasehingga tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang memadai.

Keluarga miskin hanya memikirkan keuntungan jangka pendek yaitu dengan memiliki tambahan anak berarti tambahan tenaga kerja yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan keluarga. Hal yang dilupakan adalah biaya yang dibutuhkan setiap anak untuk menerima pendidikan setingi-tingginya tidaklah sedikit.

Pada akhirnya, kebanyakan dari mereka hanya menerima pendidikan dasar bahkan kurang dari itu. Potensi anak sebagai pencetak penghasilan yang potensial saat dewasa tidak bisa terlalu diharapkan karena orangtua tidak melihat kepentingan jangka panjang.

Upaya penanggulangan permasalahan yang melingkupi anak yang bekerja perlu dilakukan secara terpadu antar pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, akademisi, pakar, media, serta dunia usaha. Permasalahan ini menjadi dilema bagi pemerintah karena ingin melarang anak-anak bekerja dan mengharapkan semua anak usia sekolah dapat mengembangkan intelektualitasnya di sekolah, sehingga mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan.

Sementara di sisi lain pemerintah tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa masih banyak keluarga miskin, sehingga mengijinkan anak-anak terpaksa harus bekerja. Pada intinya pengentasan anak yang bekerja diupayakan melalui akarnya, yaitu dari sisi keluarga, yakni keluarga miskin.

Pelatihan ketrampilan serta pemberian bantuan modal usaha kepada keluarga miskin diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan keluarga sehingga anak mereka tidak perlu bekerja.(red)

BERITA TERKAIT