Home / Opini

MENERKA MAHASISWA AKTIVIS

Oleh : NAUFANDI HADYAN SALEH
24 Maret 2022
NAUFANDI HADYAN SALEH

Mahasiswa merupakan sosok-sosok pemuda yang menjadi bagian dari kelompok elit masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari keistimewaanya yang berhasil memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi di sebuah universitas. Itu yang dikatakan oleh kakanda Sulastomo ketum PB HMI periode 1963-1966 dalam buku Candradimuka HMI. Mahasiswa juga sering disapa barisan utopia, kalangan masyarakat yang sangat berkualitas. Selalu ada hal yang menarik jika berbicara tentang mahasiswa. Sebut saja, obrolan yang sering didengar pada kalangan mahasiswa yang sering dipandang sebagai ajang promosi sekaligus uji eksistensi kepada barisan para mahasiswa baru untuk menarik simpati dari para putra dan putri yang baru saja mengenal untain-untaian manis sang pelaku pemerhati pujian yang dengan gagah menjelaskan bahwasanya hanya ada dua penyematan tanda “Maha” yang ada didunia ini, yang pertama tentunya sang “Maha kuasa” dan yang kedua adalah sang “Mahasiswa” sebuah slogan yang basi namun selalu laku diobral oleh para senior-senior mahasiswa. Sebuah slogan yang selalu menimbulkan tanya di-dalam benak penulis. Memang apa pentingnya jika label maha hanya dimiliki oleh tuhan dan mahasiswa? Lantas apakah itu dapat membuat mahasiswa bisa sejajar dengan tuhan?

Pada dasarnya kata maha yang tersematkan sebelum kata siswa adalah sebuah perbedaan klasifikasi pada proses keilmuan seorang pelajar. Ia, kata maha pada hakikatnya adalah proses keilmuan yang lebih tinggi yang jika ditelusuri akan ditemukan sebuah tanggung jawab yang menyelinap dibalik proses keilmuan seorang mahasiswa. Sebab itu yang menjadi esensi sebenarnya dari penyematan kata maha dibandingkan obrolan kebanggan para senior tentang keagungan kata maha yang hanya dimiliki tuhan dan mahasiswa.

Namun lebih dari itu tanggung jawab menjadi mahasiswa yang hakiki memang tak seindah obrolan manis para senior tadi. Banyaknya tanggung jawab yang tersematkan pada mahasiswa membuat mahasiswa menjadi sosok yang mengemban tugas berat. Baik dari sisi internalnya maupun eksternalnya. Keilmuan dari setiap mahasiswa harus selalu bisa dipertanggung jawabkan, yang meliputi sumber memperoleh sebuah ilmu dan gagasan ataupun penelitian serta ide-ide yang lahir dari proses pencarian ilmu harus juga selalu bisa untuk dipertanggung jawab-kan. Itu kenapa ruang-ruang dialektis menjadi hal yang selalu tak bisa dilepas pisahkan dengan mahasiswa.

Jika datang ke-sebuah universitas kita akan diperlihatkan keberagaman aktivitas mahasiswa. Mata akan dimanjakan oleh pemandangan yang indah tentang sebuah tempat yang sering disebut pusat peradaban. Pada setiap sisi kampus sering ditemui deretan mahasiswa dengan aktivitasnya seperti duduk bernyanyi, ber-foto selfie, dan ada yang duduk membaca kemudian diskusi. Keindahan inilah yang membuat mahasiswa dilabeli kelompok elite masyarakat Indonesia, sebab tak banyak yang bisa merasakan sensasi duduk dibangku perkuliahan.

Inilah mahasiswa, sesuai dengan jabaran diatas membuat mahasiswa selalu identik dengan keberagaman ruang-ruang ekspresi yang ada di kampus. Dengan banyaknya kegiatan yang dilakoni mahasiswa membuat  mahasiswa memiliki aktivitas yang ganda. Tak heran sosok yang selalu sibuk dengan berbagai macam agenda sering disapa aktivis. 

Banyak yang mengira bahwa aktivis adalah ia yang selau hadir untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak manusia di kota maupun emperan lampu merah. Lebih dari itu kata aktivis sebenarnya adalah penyematan kepada seorang mahasiswa yang selalu hidup dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaanya, yang meliputi proses pembelajaran, diskusi, dan tanggung jawab terhadap realitas sosial. Karena itu tak semua yang turun ke-jalan bisa disapa aktivis dan tak semua yang ada di kelas dapat disapa aktivis. sebab kuat di jalan dan lemah di kelas adalah penyengsaraan, dan sebaliknya kuat di kelas dan lemah di jalan juga bentuk dari keegoisan. Kedua hal ini harus senantiasa berimbang dalam kehidupan seorang mahasiswa. Sebab mahasiswa tak hadir dengan satu tanggung jawab melainkan ribuan tanggung jawab.

Selain keberagaman aktivitas yang ditemukan di kampus, keberagaman pola pikir serta kepribadian dari setiap mahasiswa juga akan sering ditemukan pada ruang-ruang yang ada di kampus. Mahasiswa selalu hadir dengan berbagai macam jenis, sebut saja mahasiswa hedonis. Biasa-nya mahasiswa jenis ini gemar dan senang akan penampilan nyentrik dan khas akan nilai-nilai kemoderenitas. Barang mewah seperti kameja mahal, handphone, serta laptop yang seharga sebuah sepeda motor menjadi bagian yang tak bisa dilepas pisahkan dari mahasiswa jenis ini. Pada akhirnya sulit untuk membedakan dirinya sebagai mahasiswa atau seorang pengusaha. 

Selanjutnya mahasiswa jenis pragmatis, adalah mahasiswa yang selalu menginginkan kesempurnaan cenderung tak peduli akan kehidupan disekitarnya. Menonjolkan kecakapan berbicara didepan kawan-kawannya, namun nihil akan implementasi.

Berikutnya mahasiswa akademisi, mahasiswa penghamba nilai. Mahasiswa jenis ini adalah mahasiswa yang selalu memikirkan bagaimana bisa cepat selesai dan lulus dengan mengedepankan nilai yang tinggi. Bagi-nya objektifitas dari proses perkuliahaan bukan lagi tentang pengalaman, melainkan tentang nilai dan waktu yang harus terselesaikan secepatnya. 

Dan terakhir mahasiswa jenis aktivis, sayang-nya satu dari sepuluh jenis mahasiswa , hanya satu atau dua saja yang benar-benar hadir dengan predikat seperti ini. Sebab, banyak dari mereka yang hanya mampu terlihat seperti aktivis namun hanya sedikit yang mampu bertansformasi sembari berimplementasi disetiap aktivitasnya sebagai aktivis. sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya, kuat dan lantang di microphone saja belum cukup untuk menasbihkan diri sebagai seorang aktivis, jika kehidupan akademis-nya sengaja dianaktirikan.

Inilah realitasnya, mahasiswa kini hadir dengan berbagai macam jenis. Yang disebutkan diatas hanya sebagian dari banyaknya jenis mahasiswa lainnya yang rasa-rasanya waktu tak akan sanggup untuk menuntaskan masalah klasik ini. Tak bisa dipungkiri memang, karena beragamnya jenis mahasiswa tadi membuat kampus menjelma layaknya pelangi yang hadir dengan berbagai macam warna. Sudahlah tak perlu terlalu ekstrem terhadap klaster yang melekat pada setiap diri mahasiswa. Sebab tak ada orang yang mampu menjadi pengendali atas kehidupan orang lain.

Pada dasarnya, penyematan kata aktivis bukan menjadi barang asing  lagi ditelinga setiap mahasiswa. Entah siapa mahasiswa pertama yang mendapat predikat ini. Mereka yang awam mungkin sedikit merasa geli dan cenderung muak akan sosok mahasiswa aktivis. Biasanya sosok aktivis yang melekat dengan seorang mahasiswa identik dengan tampilan urakan, gondrong, celana sobek, dan sering mengumbar suara lewat microphone mini bermerek TOA mengatasnamakan penindasan dan keadilan. Itu aktivis yang masyhur di kalangan mahasiswa. lalu bagaimana dengan mereka yang berkameja rapih, bernilai akademik tinggi, dan sering mengharumkan nama almamaternya. Apakah mereka layak disebut aktivis juga? Lalu sebenarnya siapa yang paling pantas disematkan menjadi aktivis di kalangan mahasiswa? itu rumitnya menyoal mahasiswa.

Pada semestinya aktivis tak cukup dengan perawakan gondrong, celana sobek, dan sering bersuara menggunakan microphone. Dan aktivis juga bukan mereka yang sering berpenampilan rapih, bernilai akademik tinggi, dan sering mengharumkan nama almamaternya. Menjadi seorang aktivis adalah menjadi sosok yang mengkolaborasikan dua sisi yang berbeda tadi. Sedikit membuang setiap kekurangan pada dua sisi tersebut, persisnya mungkin berpenampilan sopan, bernilai tuntas pada akademiknya dan sering bersuara atas nama rakyat yang mencari keadilan saat sementara tertindas itu persisnya seorang aktivis. 

Seorang aktivis adalah mereka yang mampu menjalankan aktivitas gandanya secara bersamaan. Menjadi seorang Agen of change, Agent social of control, Iron Stok, Moral Force, dan Insan Akademis adalah sekian dari banyaknya deretan persyaratan sekaligus tanggung jawab menjadi seorang aktivis. Tidak mudah memang menjalankan kesemua tanggung jawab tersebut secara bersamaan. Satu dari sepuluh kau akan hanya menemukan satu ataupun dua yang mampu menjadi aktivis. Itu sebabnya tak semua mahasiswa layak disebut aktivis. sebab yang layak disebut aktivis adalah ia yang layak disebut the real mahasiswa.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT