Home / Opini

Mencabik-Cabik Alam

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole*
03 Maret 2023
Ahlan Mukhtari Soamole (Penulis adalah pegiat pertambangan)

Kerap korporasi bertahan lama, bertendeng setiap masa dengan berbagai situasi utamanya pelaksanaan tanggung jawab sosial kerap memenuhi kebijakan prosedural untuk memperoleh suatu kelayakan--eksis--korporasi.

Hakikat keprihatinan korporasi atas kesejahteraan sosial, kesejahteraan jiwa dan raga amat berkurang, tak sedikit korporasi mengelola sumber daya alam pertambangan secara hulu maupun hilir menyisahkan ketimpangan pada masyarakat lingkar tambang, kemiskinan, merosotnya pembangunan manusia (mencerdaskan kehidupan bangsa) bagian penting relevansi pada aspek pertumbuhan ekonomi, memenuhi hidup layak adil, makmur.

Berangkat dari cara berpikir kapitalisme tentu alam dipandang sebagai objek eksploitasi untuk memperoleh keuntungan, memperbanyak kekayaan ketimbang meletakkan suatu cara pandang bahwa alam menyediakan sumber daya alam barang tambang untuk diperuntukkan pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 bahwasannya, Bumi kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara diperuntukkan sebesar-besarnya oleh kemakmuran rakyat.

Tak diharapkan terjadi apabila kekayaan alam ada di dalam, di luar diperuntukkan sebesar pada sekecil kelompok penguasa, pemodal atau oligark, suatu bentuk korporatokrasi, teknokrasi kerap membuka kesempatan atau pembiaran pada dinamika eksploitasi kekayaan alam namun kebijakan menjadi soal yakni kebijakan pasar mendikte kebijakan pemerintah memudahkan peran pasar terbuka, meluas.

Upaya-upaya penegasan atas keberpihakan pada kepentingan umat, bangsa terutama pada keberadaan lingkungan. Keselarasan pada lingkungan dan manusia dapat menumbuhkan suatu pembangunan berarti yaitu pembangunan manusia dan pembangunan berkelanjutan.

Paradox pada korporasi tatkala menghilangkan suatu pembangunan manusia dan lingkungan secara terus-menerus, surplus produksi namun kesejahteraan, kemakmuran seremonial elit semata.

Sepatutnya suatu perubahan terjadi bilamana dapat memutuskan secara bersama kebijakan-kebijakan murni dan totalitas, terorientasi pada kepentingan banyak orang, kekayaan sumber daya alam tentu harus dapat mewujudkan masyarakat adil makmur, bukanlah ambigu seperti  kutukan sumber daya alam akibat sistem pengelolaan mengutamakan segelintir orang semata.

Alam pada pulau kaya sumber daya mineral sejatinya adalah anugerah untuk pengelolaan berdampak pada kehidupan manusia, kesadaran pengelolaan sejatinya harus pada perspektif sosio dibanding pada akumulasi modal semata, pohon-pohon, tumbuhan memiliki hak ekologis untuk bertumbuh dan memberi kesegaran pada alam, pertumbuhan ekonomi pada korporasi semestinya memberikan hak ekologis berkelanjutan tak ada penggundulan, deforestasi hutan atau bias pada bencana alam, banjir sering terjadi akibat eksploitasi alam secara meluas.

Dalam cara pandang politis korporasi aktif dalam menumbuhkan pendapatan pertumbuhan ekonomi namun korporasi pula harus intensif memihak pada kesejahteraan kaum buruh memenuhi segala hak manusiawi, berkeadilan, tentu keutamaan itu merupakan proses timbal balik korproasi, pemerintah, dan civil society tuk membangun kepercayaan.

Pada tatanan lama bilamana korporasi sewenang-wenang pada manusia, alam sesungguhnya terjadi adalah suatu kerusakan lingkungan, konflik sosial (distrust) ketimpangan dsb. Ketimpangan dapat membawa pada kemudaratan. Dan ketertindasan.

Upaya-upaya membangun keberpihakan harus berdasar hakikat, terus-menerus dilakukan sebab kepedulian sosial, kepercayaan-kepercayaan, kemakmuran terletak suatu penghormatan pada manusia, seringkali manusia dan alam mengalami fase-fase dekandensi moralitas, alam tercabik-cabik.

 (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Redaksi

BERITA TERKAIT