Home / Opini

Makan Gratis di Sekolah: Antara Harapan dan Realitas

Oleh: Rusli M. Din (Hero) Pendiri LSM Kompak Malut
23 April 2025
Rusli M. Din (Hero)

Program makan gratis di sekolah telah menjadi topik perbincangan nasional yang menyedot perhatian publik. Kebijakan ini, yang digagas untuk meningkatkan gizi anak dan mendorong kehadiran di sekolah, membawa harapan besar bagi keluarga tidak mampu di berbagai penjuru negeri, termasuk di Maluku Utara. Namun, ketika janji bertemu dengan realitas lapangan, banyak tantangan mulai terlihat.

Secara ideal, makan gratis dapat berkontribusi pada tiga tujuan utama: mengurangi angka kelaparan, meningkatkan konsentrasi belajar, dan menumbuhkan kebiasaan makan sehat sejak dini. Tapi apakah cita-cita itu sejalan dengan kondisi faktual sekolah-sekolah kita saat ini?

Di banyak wilayah, sekolah masih kekurangan dapur layak, tenaga masak, dan sistem distribusi makanan yang higienis. Tak sedikit siswa yang menerima makanan dengan kualitas gizi minim, sekadar mengenyangkan, tanpa memperhatikan kebutuhan nutrisi anak-anak usia sekolah. Seperti ditegaskan oleh Prof. Fasli Jalal, pakar gizi dan pendidikan, “Program makan di sekolah harus dirancang holistik, tak hanya soal makanan tapi menyatu dengan kurikulum dan perilaku hidup sehat”

Di sisi lain, kemampuan fiskal daerah pun menjadi soal serius. Program makan gratis, jika tidak ditopang oleh skema pembiayaan yang kuat dan berkelanjutan, bisa berhenti di tengah jalan. Hal ini perlu diantisipasi sejak dini, agar inisiatif ini tidak hanya menjadi proyek populis tanpa napas panjang.

Lebih dari itu, makan gratis semestinya bukan hanya solusi jangka pendek, tapi investasi jangka panjang. Sekolah bisa menjadikan program ini sebagai bagian dari proses belajar: anak-anak diajak menanam di kebun sekolah, memahami nilai gizi, dan membiasakan pola hidup bersih. Kata Prof. Darmaningtyas, pengamat pendidikan nasional, “Makan di sekolah bukan sekadar intervensi sosial, tapi kesempatan membentuk karakter dan kebiasaan hidup sehat”

Jika semua ini dirancang dengan matang, makan gratis bisa menjadi simbol transformasi pendidikan—bukan hanya bantuan konsumsi. Untuk itu, perlu sinergi semua pihak: pemerintah pusat dan daerah, sekolah, orang tua, serta UMKM lokal yang bisa dilibatkan sebagai penyedia bahan makanan.

Kini saatnya kita bertanya: apakah makan gratis benar-benar menjadi solusi jangka panjang, atau sekadar pereda lapar sesaat? Antara harapan dan realitas, tugas kitalah menjembatani keduanya dengan kebijakan yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis bukti.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT