Home / Opini

Liberalisasi Hutan dan Krisis Bencana di Indonesia

Oleh: Zahra Riyanti
25 November 2021

SEJAK periode 1 januari hingga November saat ini ada Sebanyak 2.208 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 894 kejadian atau 40,48% merupakan bencana banjir. Banjir bandang yang baru baru ini terjadi menimpa Kalimantan Barat di didaerah Batu Malang dan sekitar 5 kecamatan lain yang juga terkena dampak.

Pada waktu yang hampir bersamaan di wilayah Alor, NTT, Bogor, Sumatera Selatan, Sumedang dan beberapan daerah lain,  wilayahnya juga terendam banjir. Ancaman banjir tidak hanya pada wilayah ini saja, banyak wilayah lain yang saat ini terkategori daerah rawan banjir, Jakarta misalnya.

Perlu ada evaluasi besar terkait bencana banjir yang terus berulang. Selain karena faktor alam, kita tidak boleh melupakan bahwa ada faktor tangan manusia yang menyebabkan bencana ini terjadi. 

Diakui ataukah tidak, laju deforestasi dan pembangunan yang pesat di kawasan penyangga air menjadi faktor dominan penyebab bencana. Forest Watch Indonesia menyampaikan bahwa laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,47 juta ha per tahun pada periode 2013-2017. Greenpeace Indonesia mengeluarkan  angka yang lebih besar yaitu 4,8 juta ha selama periode  2011-2019.

Selain faktor di atas alih fungsi lahan yang awalnya ada persawahan dan pantai telah bermetamorfosa menjadi pembangunan kapitalistik besar-besaran, ini menjadi pemicu dominan terhadap berbagai bencana banjir berikut tanah longsor dan krisis air bersih & udara (pembuangan limbah perusahaan).

Berdasarkan data, Direktur Eksekutif WALHI Jabar Meiki Paendong menyampaikan, banjir dan longsor di wilayah Bandung Raya adalah dampak pembangunan di kawasan Bandung Utara. (detik.news, 5/11/2021), dan terjadi peralihan 150 ribu ha lahan persawahan menjadi industri dan jalan, padahal 10 tahun sebelumnya alih fungsi lahan hanya 30 ribu ha.

Terkait Pembangunan di kawasan Bandung Utara adalah pembangunan objek wisata, hunian mewah, dan perumahan kompleks. Juga kawasan komersial, seperti hotel dan apartemen yang terus terbangun. inilah faktor terbesar terjadinya banjir di kawasan cekungan Bandung. 

Ini juga yang menjadi salah satu penyebab ibu kota Jakarta selalu terkena banjir, yakni lantaran pembangunan kawasan di Bogor terus terjadi. Bahkan, saking buruknya drainase di perkotaan, banjir turut melanda Bandung Utara dan Bogor, padahal datarannya tinggi.

Demikian betapa fungsi hutan yang telah disemena-menakan dan dihilangkan oleh kapitalisme hari ini membawa malapetaka cukup besar yang di rasakan oleh manusia serta kerugian finansial yang juga tidak sedikit.

Permaslahan ini menjadi kritik tersendiri atas pemerintahan hari ini yang tidak sigap terhadap probability terhadap bencana, sehingga perlu adanya pengadaan regulasi dan perundangan undangan yang mengaturnya. Terlebih demokrasi telah gagal membawa umat manusia pada pengaturan tata ruang kehidupan yang sesuai fotrah dan menentramkan tiap jiwa yang ada.

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki kelengkapan hukum dan aturan yang menjadi sumber baku penerepan hukun disemua level, termasuk dilevel negara dalam mengatur urusan hutan, seperti firman Allah ta'ala : 

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56). 

Oleh karena itu, pembangunan dan pengadaan kawasan dan sikap terhadap hutan sangat ditentukan oleh kemaslahatan manusia bukan pada segelintir elit dan investor yang bergelimang harta dan pamor. Islam juga dengan keparipurnaanya telah memberikan sebuah manifesto terhadap kategorisasi kepemilikan dan hutan adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola negara dan mendistribusikan sebesar-besarnya untuk rakyat seperti dalam hadits Rasulullah Saw :

"Kaum muslim berserikat atas 3 hal yakni air, api dan padang rumput" (HR. Abu dawud dan Ahmad)

Pemerintah tidak boleh memberikan hutan kepada swasta untuk menjadikannya perkebunan kelapa sawit. Hal ini karena selain hutan tidak boleh dimiliki swasta, alih fungsi lahan hutan secara besar-besaran pun bisa menyebabkan banjir. 

Begitu pun negara, tidak boleh mengubah hutan menjadi perkebunan sawit walaupun hal tersebut mendatangkan devisa negara. Selain hal tersebut berpotensi menciptakan banjir dan longsor, negara telah memiliki sumber pemasukan yang melimpah dari fai, kharaj, dan kepemilikan umum lainnya, seperti tambang, gas, batu bara, dan lainnya yang semuanya tak boleh diprivatisasi.

Alhasil, dengan kesempurnaan penerapan syariat dikancah negara inilah menjadikan aspek aspek penting itu tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang atau korporasi tertentu yang akhirnya memberikan kebaikan pada umat manusia dan alam ikut merasakan rahmatan lil 'alaminnya penerapa Islam kaffah. Wallahu’alam biashawab.

* Penulis adalah Mahasiswa Magister MMPT UGM(red)

BERITA TERKAIT