Home / Opini

Komunitas Kekuatan Literasi, Dimanakah Kita?

Oleh MULIADI TUTUPOHO Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Malut Penggagas dan Pendiri PENA_Institute
01 Januari 2022
MULIADI TUTUPOHO

"Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain.”

(HR. Ahmad, ath-Thabrani)

Hadist yang kerap dikutip tersebut menunjukkan bahwa manusia terbaik ialah manusia yang kehidupannya memberi manfaat bagi orang lain, tanpa memandang latar belakang suku, etnis, agama, budaya, bahasa, status sosial, dan bangsa. Sekecil apapun manfaat itu dirasakan oleh orang lain, merupakan suatu kebaikan.  

Salah satu kebaikan yang saya lihat adalah komunitas literasi. Didorong oleh niat dan semangat untuk membangun kebiasaan membaca di masyarakat perkotaan maupun pedesaan di Maluku Utara, banyak generasi daerah ini membentuk komunitas literasi.

Komunitas dimaksud, dengan inisiatif  sendiri, tanpa modal berupa uang yang cukup. Modal utama mereka adalah kepedulian terhadap nasib generasi muda ke depan, terutama di era digital ini atau revolusi 4.0 ini, yang terlena dengan media sosial yang oleh banyak kalangan disebut tak ada manfaatnya atau bahkan menakutkan bagi orang tua karena bisa terjadi degradasi moral.

Para pembentuk komunitas literasi itu, ada yang masih kuliah di perguruan tinggi, sudah sarjana, mantan aktivis kampus, dan organisasi non-pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat. Awalnya, dimulai dengan mengajak anak-anak muda dan orang-orang di lingkungan sekitar untuk berkumpul dan membaca di tempat yang disediakan seadanya. Seiring berajalannya waktu, dengan usaha sendiri, membentuk komunitas literasi. Adapun bahan bacaan terutama buku, dari koleksi masing-masing yang dikumpulkan. Hal yang mengikat mereka, sama-sama memiliki visi-misi membangun budaya literasi.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2019, menyebutkan komunitas literasi di semua penjuru Indonesia sebanyak 11.437 komunitas dengan keterlibatan 543.736 orang. Hal ini menjadi harapan untuk menumbuhkan hasrat membaca. Hanya saja, persoalan krusial yang dihadapi komunitas literasi terutama di Maluku Utara ialah bahan bacaan seperti buku, jurnal, majalah, baik kualitas maupun kuantitas, serta fasilitas dan operasional untuk menjangkau masyarakat secara luas hingga di pelosok desa terpencil yang belum memiliki komunitas literasi.  

The United Nations Educational, Scientefic and Cultural Organizations (UNESCO) telah menetapkan standar, setiap orang membaca minimal 3 buku baru setiap tahun. Tetapi, di Indonesia sampai saat ini, menurut data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), setiap tahun satu buku ditunggu oleh 90 orang karena rasio nasional jumlah bacaan dengan total penduduk hanya 0,09. Bandingkan dengan negara-negara Asia Timur seperti Korea, Jepang dan Tiongkok/Cina, rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap penduduknya.

Rasio yang sangat rendah tersebut berdampak pada indeks kegemaran membaca di Indonesia, paling rendah. Laman Kominfo.go.id (14/3/2021) mengutip data UNESCO menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Dengan kata lain, dari 1.000 orang, hanya satu orang rajin membaca. Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando mengatakan, selain rendahnya minat baca, masalah minimnya fasilitas atau objek bacaan seperti buku menjadi penyebab utama rendahnya kualitas literasi di Indonesia.

Riset yang dilakukan psikolog sosial David McClelland dan David H. Smith, menunjukkan bahwa orang/masyarakat yang memiliki motivasi tinggi atau semangat untuk berprestasi, tak terlepas juga dari bahan bacaan yang dibaca, terutama sejak kecil. Karena itu, komunitas literasi yang bekerja tanpa pamrih itu dapat dikatakan sebagai kelompok penggerak perubahan sosial. Sebab, dengan menumbuhkan budaya membaca di masyarakat akan membuat masyarakat memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Karena lokasi komunitas literasi di tengah-tengah masyarakat, maka mereka efektif dalam menumbuhkan kesadaran dan budaya membaca masyarakat.

Hal tersebut dapat terwujud, jika seandainya kepala daerah, wakil rakyat di parlemen, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah, pengusaha yang sukses bisa tergerak hatinya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan komunitas literasi seperti disebutkan di atas, melalui CSR atau dalam bentuk yang lain dan juga perguruan tinggi, pemerintah tingkat kecamatan, kepala desa dan kepala sekolah.

Komunitas merupakan salah satu kekuatan terbesar literasi dalam rangka mendorong minat baca dan daya baca masyarakat, baik yang berada di perkotaan maupun di pedesaan. Dengan hanya bermodalkan semangat pengabdian tanpa pamrih demi melahirkan generasi-generasi cerdas harapan kita semua walaupun keberadaan dan sepakterjang mereka sunyi dan luput dari perhatian dan kepedulian kita.

Berharap gemar membaca meningkat tanpa dukungan ketersediaan buku yang berkualitas dengan jumlah buku yang memadai, juga fasilitas serta operasional yang maksimal, maka semua itu hanyalah angan-angan semata dan mustahil bisa terwujud . Jumlah buku yang minim tentu tidak menjangkau banyak orang. Tidak mengulurkan tangan untuk pegiat literasi, tak berlebihan untuk dikatakan, kita tidak mendukung upaya mencerdaskan masyarakat melalui literasi.

“Jika budaya anda tidak menyukai orang-orang kutu buku, Anda berada pada masalah yang serius,” demikian peringatan Bill Gates, pendiri Microsoft, yang rajin dan terus membaca, sekalipun sudah termasuk orang terkaya di jagat ini.

 (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT