Home / Opini

Kehadiran PT. IWIP Adalah Ancaman Bagi Kehidupan di Halmahera Tengah

Oleh : Masri Anwar (Penggiat Lingkungan)
05 Agustus 2020
Masri Anwar

Halmahera Tengah, salah satu kabupaten di Maluku Utara, kaya akan potensi sumber daya alamnya (SDA), baik di daratan maupun di pesisir laut. Di wilayah daratan, potensi SDA seperti hutan, tanaman Pala dan Cengkeh, serta sumber daya mineral seperti nikel dan emas, masih merupakan sektor andalan bagi pendapatan daerah. Sementara, pesisir laut Halmaherta Tengah yang lebih luas arealnya dibandingkan daratan, merupakan ruaya untuk jenis ikan pelagis seperti Tuna (Thunnus sp), dan Cakalang (katsuwonus pelamis), masih menjadi anak tiri pembangunan yang tidak dikelola dengan maksimal oleh pemerintah daerah.

Kakayaan alam di wilayah Halmahera Tengah, khususnya tambang, mengundang beberapa “Monster” investor pertambangan, (PT. Aneka Tambang, PT. Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP), PT. Trakindo), dan PT.Bakti Pertiwi Nusantara. melakukan ekspansi modal ke wilayah ini. Hal ini sangat berimplikasi sengnifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat adat. Selain aspek yang katanya “positif”, dalam bentuk devisa bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), kehadiran investasi pertambangan ini justru lebih menimbulkan dampak negative bagi masyarakat lokal, yang banyak menggantungkan kehidupannaya di sektor pertanian dan perikanan. Dengan kehadiran beberapa investasi pertamabang terjadilah konflik antara masyarakat dan pihak perusahaan, konflik bermulah pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan Izin Areal Penggunaan Lain (APL) kepada perusahaan di dalam perkebunan warga sebagai pemilik hak atas tanah. Masyarakat yang sehari-harinya tinggal dan hidup dari hasil usaha perkebunan dipaksa untuk tundak terhadap keputusan pemerintah. Masyarakat saat ini tidak lagi mengelola tanah perkebunannya dan akses mereka terhadap tanah dibatasi oleh perusahaan yang berdiri di atas tanah milik warga. Secara langsung maupun tidak langsung pemerintah telah melakukan penggusuran terhadap masyarakat dari tanahnya sendiri dengan dalil Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Halmahera Tengah.

Konflik perkebunan ini juga muncul disebabkan dispensasi ganti rugi lahan yang ditawarkan perusahaan merujuk pada peraturan (Perda), yang ditetapkan pemerintah daerah. Menurut masyarakat terlalu renda tawaran yang dinegosiasikan oleh perusahaan. Selain itu, tumpang tindih kepemilikan hak atas tanah, serta kepemilikan tanah yang telah berganti status menjadi harta warisan pun menambah daftar panjang konflik yang terjadi. Pada sisi yang lain, pemerintah mengeluarkan perizinan harus memperhatikan pula hak-hak masyarakat sebagai pemilik sah atas tanah, perkebunan yang dibangun sebelum perusahaan itu ada. Dalam kontek ini masyarakat merasa dirugikan dan dirampas haknya atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun perusahaan. Sejauh ini upaya yang dilakukan pihak perusahaan dan pemerintah dalam penyelesaian konflik hampir tidak ada, semacam ada prosesnpembiaran sehingga konflik itu tumbuh-subur. Pelibatan pemerintah yang berkaitan dengan lahan perkebunan masyarakat Lelilef Sawai dan Woye Bulen untuk proses negosiasi warga itu dari pihak pemerintah daerah, yang seharusnya proses negosiasi harga lahan harus dari masyarakat. Selama ini pemerintah daerah lebih cenderung berpihak pada perusahaan.

Perusahaan sebagai sumber konflik dan menjadi aktor utama menguasai hak-hak yang dimiliki masyarakat dalam proses pembebasan lahan perkebunan, kita bicara pada konteks ekonomis masyarakat sangat dirugikan. Karena tanah masyarakat dibayar dengan harga Rp 80.000,-/M2 dan Rp 90.000,-/M2 masyarakat dibiarkan untuk melepaskan tanahnya di pihak perusahaan. Terjadi konflik perkebunan itu juga disebabkan oleh batas-batas lahan perkebunan masyarakat, tidak diteliti secara baik oleh perusahaan. Sehingga terjadi pengklaiman antar masyarakat dengan masyarakat, dan benturan kepentingan ekonomi. Masyarakat melepaskan lahan perkebunan kepada perusahaan 70% merupakan lahan garapan yang sudah ditanami Cengkeh, Pala, dan Kelapa. Masyarakat bukan hanya kehilanagan hak atas tanah tetapi berdampak pula pada budaya dan cara mereka dalam mengelola hidup. Dulu mereka bekerja sebagai petani, sekarang dipaksa untuk menjadi buruh di perusahaan dengan bayaran yang kecil. Penguasaan tanah oleh perusahaan menyebabkan fungsi tanah adat tersebut berubah.

Kehilangan tanah adalah kehilangan sumber penghidupan, kesempatan kerja juga hilang, artinya kemiskinan akan selalu dekat dengan masyarakat. Aktifitas warga diawasi secara ketat oleh perusahaan. Akses masyarakat terhadap tanah, hutan, dan laut terputus terutama bagi wilayah yang sudah masuk dalam konsesi PT. Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP). Masyarakat tidak bisa lagi membuka lahan kebun baru, atau memanfaatkan hutan maupun menjaring ikan di areal yang menjadi wilayah perusahaan. Jika berani melanggar aturan yang telah dibuat oleh pihak perusahaan, masyarakat akan berhadapan dengan aparat keamanan perusahaan juga dengan aparat negara yang bertugas di wilayah tersebut.

Penempatan negara (Brimob) di dalam kawasan PT. (IWIP) dimaksudkan untuk tidak ada aktivity pihak lain termasuk masyarakat yang bisa memnggangu kegiatan perusahaan. Perusahaan merasa semakin kuat karena didukung oleh aparat tersebut, sementara pihak masyarakat yang memperkarakan perusahaan atas penguasaan tanah terus diintimidasi bahkan sampai ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Pemerintah juga menetapkan status hutan di atas wilayah adat Suku Sawai membuat akases masyarakat adat terhadap hutan semakin sulit. Mereka tidak bisa mengelola dan memanfaatkan hutan untuk keberlanjutan hidupnya. Kasus yang pernah dialami oleh beberapa warga karena membuka lahan kebun di areal hutan, maka mereka berhadapan dengan Polhut, kejaksaan dan kepoliasian. Peralatan kebun milik warga diambil dan dilarang untuk tidak melanjtkan akatifitasnya. Berbeda dengan perlakuan pemerintah kapada piha PT. IWIP, yang diberikan kebebasan melakukan kegiatan di kawasan hutan, sementara masyarakat adat sebagai pemilik mendapat larangan.

Kerusakan ekologi dan lingkungan akibat alihfungsi kawasan untuk aktifitas pertambangan diperkirakan sangat tinggi. Perusahaan ini akan mengalihfungsikan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 2.650 hektar yang dipergunakan sebagai lokasi pertambangan, perkantoran, dan pabrik. Model kegiatan tambang yang menggunakan sistem tambang terbuka (Open Pit) akan menciptakan masalah lingkungan dikemudian hari. Perusahaan ini akan membutuhkan air dalam jumlah yang besar untuk kepentingan pengelolahan biji nikel. Sungai Kobe menjadi titik pengambilan air tersebut. Tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Lukulamo dan Kobe yang terikat erat dengan sungai tersebut. Ekosistem di sungai juga ikut terganggu.

Dalam konteks ini kehadiran investasi ekstraktif yang sangat massif, masyarakat Lalilef Sawai, Gemaf, Sagea, dan Woyebulen kehilangan beberapa situs budaya. Salah satunya adalah Goa Batu Lubang merupakan satu situs yang masih dianggap keramat oleh masyarakat Sagea. Menurut masyarakat setempat goa ini, dijaga oleh seekor buaya putih (penunggu). Dulunya, goa ini merupakan tempat pertapaan (semedhi), bagi masyarakat setempat, bahkan ada yang datang dari luar daerah tersebut. Selain dikeramatkan oleh masyarakat, Goa Batu Lubang ini juga memiliki fungsi penting sebagai mata air, yang mengairi Desa Sagea (sering disebut sebagai sungai Batu Lubang atau sungai Sagea). Selain itu, di dalam terdapat beberapa kreasi seni peninggalan zaman dahulu, seperti Batu Meja, Ukiran Manusia, serta Batu mirip Kristal yang cukup besar. Keberadaan Goa Batu Lubang ini sangat rentan, karena dekat dengan wilayah oprasi PT. Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP). Batu Susun disebut batu susun, batunya tersusun rapi. Menurut pengakuan beberapa orang warga, batu ini tersusun secara alami, dan keberadaannya sangat penting karena menghalangi jalur air dari Goa Batu Lubang, yang mengarah langsung ke perkampungan warga Desa Sagea. Dari hikayat beberapa warga, di areal batu susun berasal (asal muasal) kehadiran Marga keturunan Ambar, yang ditemukan hanyut diatas mayang pinang, oleh sepasang suami istri yang tidak memiliki anak. Talaga Lagae Lol telaga ini memiliki panorama yang cukup indah, masih menurut hikayat warga, Telaga (Danau) ini awal mulanya berasal dari Pohon Gofasa besar yang tumbang. Di bawah pohon yang tumbang tersebut, tersimpan air, yang kemudian membentuk sebuah danau kecil. Ada sepasang suami istri yang sudah tua, kemudian menemukan telaga ini, yang di dalamnya terdapat ikan Bandeng yang melimpah ruah. Mereka kemudian menangkapnya dengan menggunakan dodofa (tobak). Cara tangkap ikan Bandeng oleh sepasang suami istri ini, yang kemudian menjadi kebiasaan warga kampong, dalam memanfaatkan sumber daya alam di talaga tersebut. Warga tidak diperbolehkan menangkap dengan menggunakan jaring, melainkan tombak. Warga juga percaya, jika ada yang jatuh sakit, maka mereka biasanya melepaskan sesajen (persembahan) di danau tersebut.

Di lokasi danau ini juga terdapat sebuah kolam air yang jernih, yang dinamakan oleh orang kampung dengan jeret. Menurut warga setempat, air jeret ini memiliki kekuatan mistis. Bagi orang yang baru menginjakkan kakinya di lokasi tersebut, mesti mencuci muka dengan air tersebut. Jika tidak dilakukan, maka dipercayai orang tersebut akan sakit. Di jalur masuk ke lokasi danau ini, ada sebuah jeret tua (kuburan tua), yang diyakini sebagai makamnya Sultan Jailolo, atau sering disebut Bobane Jailolo oleh masyarakat setempat. Tanda Kaki Lagae Cekel, diyakini oleh warga Lelilef sebagai orang pertama yang menginjakan kaki di kampung Lelilef tersebut. Lokasinya berada diseputaran perkampungan warga Lelilef, kampung Lelilef ini masuk dalam wilayah konsesi PT. Indonesia Weda Bay Industri Park (IWIP), yang rencananya akan dijadikan areal perkantoran dan bandara PT. IWIP. 

Sungai-sungai utama di daerah proyek PT. IWIP adalah dua sungai besar yang melewati areal proyek yaitu sungai Ake Kobe di sebelah Barat, dan sungai Ake Sagea di sebelah Timur. Sungai Sangaji di sebelah Utara memiliki batas-batas daerah aliran sungai yang umumnya berada di luar batas proyek. Walaupun demikian Sebagian besar dari areal proyek  merupakan daerah tangkapan air sungai-sungai tersebut. Bagian hulu dari daerah tangkapan air tersebut adalah daerah pegunungan yang berada di daerah utara dan mengalir ke arah Selatan, Barat Daya, dan Tenggara.

Daerah tangkapan air tersebut adalah daerah tangkapan air sungai Ake Kobe, Sungai Ake Jira, Sungai Ake Saloi, dan Sungai Ake Kulo sebagai anak-anak sungai utamanya. Bagian hulu dari Sungai Ake Saloi, sebagian berada di daerah deposit Bukit Limber Barat. Sungai ini adalah sungai yang paling berpotensi kena dampak dari aktifitas pertambangan. Sungai ini kemudian mengalir kearah Barat Daya sepanjang 10 km dan bertemu dengan sungai Ake Jira yang kemudian menuju sungai Ake Kobe. Daerah tangkapan air lainnya adalah daerah tangkapan air Sungai Ake Sagea. Pemukiman penduduk juga sangat dekat. Jarak lokasi pabrik dengan pemukiman penduduk kurang lebih 3 kilo meter. Tentu akan menimbulkan kebesingan yang memnggangu masyarakat, belum lagi aktifitas mobil milik perusahaan yang melewati pemukiman penduduk dan menimbulkan debu di mana-mana. Dalam satu kesempatan wawancara dengan mayarakat di Desa Lelilef Sawai yang rumahnya berhadapan dengan jalan raya, mereka mengatakan “setiap hari mereka menerima debu dari aktifitas lalulintas perusahaan, bahkan debu tersebut sampai masuk ke dalam kamar tidur keluarga.” 

Kondisi yang dialami masyarakat merupakan kesalahan fatal dalam kebijakan di sektor sumber daya alam (SDA). Upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan sektor tambang tidak mempertimbangkan aspek lain baik lingkungan hidup maupun hak hidup masyarakat adat diatas wilayah adat mereka.

Dampak yang dirasakan masyarakat yang timbul dari kegiatan pertambangan PT IWIP itu merupakan potret nyata adanya pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara. Seharusnya negara harus hadir memberikan perlindungan kepada warganya, bukan hadir dalam bentuk yang berbeda seperti tindakan aparat kepolisian tersebut. Keberadaan perusahaan tersebut, telah memutus mata rantai ekonomi bagi masyarakat adat Sawai. Tentu ini akan menimbulkan masalah yang dikemudian hari semakin kompleks. Kemiskinan, konflik sosial dan pencemaran lingkungan akan menjadi tontonan dalam kehidupan masyarakat adat di lingkar tambang. Semua itu terjadi karena pengabaian yang dilakukan. Pemerintah harus hadir memberikan atensi kepada masyarakat, menindak secara tegas tindakan perusahaan yang lalai menjalankan aturan hukum yang berlaku di negara ini. Jika tidak dilakukan, maka perlawanan warga terhadap kebijakan ini adalah suatu pembenaran. Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana agar kehidupan hari depan lebih baik dari hari ini. Pemerintah Kabupeten Halmahera Tengah berperan sentral menentukan dalam kehidupan sosial masyarakat adat. Untuk itu sudah selayaknya pemerintah memiliki paradigma berpikir conceren sepenuhnya terhadap kepentingan masyarakat, berbagai kebijakan yang dibuat harus menjadi dasar hubungan harmonis antara masyarakat dan pemerintah yang berdasarkan pembangunan yang berkelanjutan itu sendiri. (***)(penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT