Home / Opini

JANGAN SEENAKNYA

Oleh : Hamdy M. Zen (Dosen PBA IAIN TERNATE)
01 Maret 2022
Hamdy M. Zen

KH Ahsin Sakho mengatakan dalam kajiannya di live streaming, pada Selasa (2/3) subuh seperti yang dikutip dalam laman resmi rupblika.co.id bahwa, “Manusia begitu pertama kali lahir, ada dalam keadaan nol. Lalu Allah memberinya anugerah yaitu dengan memfungsikan fungsi telinga terlebih dahulu”. Adapun difungsikannya telinga terlebih dahulu lanjut kiai, karena fungsi-fungsi indera yang lainnya memang belum difungsikan Allah. Sehingga dengan berfungsinya telinga, sang bayi dapat merasakan kehadiran orang-orang di sekelilingnya sehingga dia dapat mendengar suara-suara dan tak merasa kesepian.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa, fungsi telinga adalah sebagai alat pendeteksi suara. Sederhananya adalah untuk mendengar. Pendengaran tersebut, dimaksudkan agar kita tidak merasa kesepian. Sebab, kesepian merupakan sebuah keadaannya yang sangat membosankan juga sangat tidak menggairahkan bagi manusia (dalam tanda kutip).

Oleh sebab itulah, kita kemudian bisa saksikan bersama, di mana saat ini, orang – orang berbondong – bondong untuk menciptakan alat pendengar yang bisa digunakan kita untuk berkomunikasi dari jarak jauh, seperti Hand Phone dan lain – lain. Selain itu, ada pula pengeras suara seperti sound speaker, untuk digunakan baik dalam ruang terbuka yang luas, maupun dalam ruang tertutup, agar suara kita bisa di dengar oleh orang yang duduk agak kejauhan dari dekat kita.

Lalu, di kompi – kompi tentara, biasanya kita lihat ada toa yang di pasang di ujung menara mereka. Tujuannya adalah untuk memberikan pendengaran yang jelas kepada segenap penghuni kompi ketika ada panggilan, atau pun ada arahan – arahan tertentu. Dengan demikian, tidak ada alasan terkait dengan tidak didengarnya suara – suara instruksi / lainya yang terjadi di sana. Kapan ketika terlambat / tidak tahu tentang apa yang diinfokan, maka sangsi telah siap menantinya.

Toa – toa tersebut, ternyata tidak hanya kita temukan di kompi – kompi tentara saja. Saat ini, hampir semua masjid dan mushala juga ada toa yang terpasang di ujung menaranya pula. Hal ini dimaksudkan agar ketika ada panggilan ibadah (melalui suara adzan dari sang muadzin) bagi kaum muslimin, semua orang – orang muslim yang berada di seputaran masjid / mushala bisa mendengar suara ajakan ibadah tersebut. Suara tersebut adalah suara panggilan menuju rumah Ilahi.

Dengan begitu, mereka pun bisa mempersiapkan diri untuk segera meninggalkan sejenak urusan dunianya, lalu beralih pada urusan akhiratnya, yakni bersujud kepada Tuhannya Allah SWT (mengerjakan shalat wajib dalam Islam). Itulah fungsi toa yang ada di masjid / mushala.

Terkait dengan fungsi toa masjid tersebut, saat ini hampir sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada dalam situasi yang tak terduga sebelumnya. Situasi di mana kaum muslimin kemudian menjadi resah secara masal. Penyebabnya adalah sebuah pernyataan kontroversial yang keluar dari mulut seorang mentri. Bahkan orang tersebut merupakan orang nomor satu di lingkup kementrian agama Republik Indonesia, yakni bapak Yaqut Cholil Qoumas yang merupakan mentri agama itu sendiri.

Yaqut mengatakan penggunaan pengeras suara di masjid atau musala perlu diatur, baik sebelum maupun setelah azan dikumandangkan. Hal tersebut telah tertuang secara rinci dalam Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022. Pedoman ini, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan manfaat dan mengurangi hal yang tidak bermanfaat.

Ia menjelaskan, hampir 100 hingga 200 meter terdapat masjid atau musala di permukiman warga. Sedangkan di permukiman itu tak hanya dihuni oleh warga Muslim saja, tetapi juga non muslim. Ia ingin penggunaan pengeras suara diatur demi menjaga kenyamanan umat lain.

"Kita bayangkan, saya Muslim saya hidup di lingkungan non muslim, kemudian rumah ibadah mereka membunyikan toa sehari lima kali dengan keras secara bersamaan, itu rasanya bagaimana?" ucapnya. "Contohnya lagi, misalkan tetangga kita kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya menggonggong di waktu yang bersamaan, kita terganggu tidak? Artinya semua suara-suara harus kita atur agar tidak menjadi gangguan," sambung Yaqut.

Baca selengkapnya di artikel "Penjelasan Menag soal Kontroversi Aturan Toa Masjid & Gonggongan", https://tirto.id/gpnB.

Pernyataan mentri agama sebagaimana yang disebutkan di ataslah yang menjadi penyebab utama terjadinya sedikit keresahan bahkan ketegangan di antara kaum muslimin Indonesia saat ini. Adapun pernyataan tersebut mendapat banyak tanggapan penolakan keras dari berbagai pihak. Banyak diantara pihak – pihak yang menyayangkan, kenapa seorang mentri agama seperti beliau bisa mengeluarkan pernyataan yang justru menuai kontroversi di antara kita.

Menurut Nusron Wahid, seperti yang dikutip dalam acara Adu Perspektif 'Siapa Puas dengan Jokowi', yang diadakan detikcom dengan Total Politik, Rabu (23/2/2022), bahwa "Ini bukan masalah demokrasi, ini orang (Menag) kekurangan pekerjaan. Iya (Menag) kayak nggak ada kerjaan lain saja yang mengurusin gini". Menurut Nusron, permasalahan toa merupakan urusan masyarakat sipil, yakni antara pengurus masjid dengan warga sekitar. "Ada masyarakat yang memang senang kalau toanya kencang karena kalau toanya kencang itu dia bisa cepat-cepat ke masjid," jelas Nusron. Namun, ada juga masyarakat yang risih dengan suara toa yang dinilai terlalu kencang. Masyarakat, imbuh Nusron, punya beda-beda pandangan.

"Negara nggak perlu mengatur, biarkan masyarakat mengatur kesepakatan pengurus masjid dengan warganya. Kalau toa masjid diatur lama-lama lonceng gereja juga diatur," ujar Nusron. "Masih banyak urusan Kementerian Agama yang lebih konkret yang harus diurus. Nanti kalau saya ketemu Menterinya, saya akan ngomong," lanjutnya.

Sementara itu, Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Rocky Gerung juga angkat bicara soal ini. Ia bicara mengenai hukum negara soal keheningan. "Prinsipnya hukum negara bilang keheningan itu diperlukan atau sebaliknya kebisingan itu harus dikendalikan. Berapa? ya 50 dB. Jadi itu aturan yang sudah dibuat dari zaman Orde Baru, lingkungan, rumah sakit, perumahan ada tingkatannya maksimal 70 dB minimal 50 dB jadi range itu," jelas Rocky. Lantas, ia mempertanyakan kebijakan Menag terkait maksimal suara toa masjid yang mencapai 100 dB. Untuk itu, terkait permasalahan toa, Rocky berpendapat Menag tak perlu ikut campur. "Yang dipersoalkan kenapa sekarang 100 DB? bahwa keakraban beragama, ya betul itu urusan lingkungan saja, jadi RT-nya saja yang atur, tidak perlu Menteri Agama akhirnya," lanjutnya.

Masih menurut Rocky sebagaimana yang dikatakan lewat canal youtube nya bahwa, aturan tersebut menimbulkan gejolak bahkan memicu Menag Yaqut mengeluarkan pernyataan yang terkesan menyamakan adzan dengan gonggongan anjing karena 'terpeleset'. "Pak Menag sebetulnya mungkin maksudnya untuk mengatur, tapi dia keluarkan sesuatu yang sifatnya menertibkan sehingga terjadi gejolak tuh, yang mungkin sebetulnya ditunggu akhirnya keceplosan lah Pak Menag tentang anjing menggonggong, jadi kan kacau tuh," ujar dia. Terakhir, Rocky Gerung menilai bahwa hal tersebut tak perlu terjadi jika keakraban dalam berwarganegara terwujud, yang seharusnya menjadi tanggung jawab Presiden Jokowi untuk mewujudkan hal tersebut. "Sebetulnya, ini nggak mungkin terjadi kalau ada keakraban berwarganegara, dan itu bukan tugas Menag, tapi tugas presiden".

Terlepas dari kontroversi di atas, bagi penulis terkait dengan penggunaan persoalan toa di masjid dan mushala, penulis cenderung pada pendapat Nusron dan juga Rocky. Bahwasanya, menag tidak perlu terlalu sibuk untuk mengurusi pesoalan tersebut. Serahkan saja pada warga setempat. Sebab, tugas menag untuk menyelesaikan masalah yang ada masih sangat banyak dan lebih urgen ketimpang hal itu. Jangan sampai terkesan mendominasi atau bahkan terpaksa agar terlihat mohon maaf bertanggung jawab.

Penulis menaruh hormat dan respek buat menag atas inisiatif tersebut. Hal itu menunjukan bahwa menag memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam menertibkan kerukunan antar umat beragama. Hanya saja, terkadang dengan pernyataan spontan yang tanpa sadar, seperti yang dikeluarkan menag terkait dengan persoalan toa masjid ini, membuat masyarakat menjadi resah.

Terasa sangat wajar dengan hadirnya keresahan di tengah masyarakat. Karena masing – masing di antara masyarakat kita, memiliki latar pendidikan, budaya dan lain – lain yang berbeda – beda. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan, respon penafsiran terhadap setiap persoalan baru yang muncul pasti berbeda – beda pula. Dan di antara perbedaan itu, pasti ada diantaranya yang bisa saja melahirkan perpecahan di antara kita. Oleh karenanya, perlu kehati – hatian dalam bernarasi, sebagaimana yang dikatakan Rocky di atas. Jangan asal bicara. Sebab mulut kita adalah “Harimau” kita sendiri.

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajak kepada kita sekalian, agar kiranya jangan mudah percaya pada setiap isu yang baru didapatkan. Kita perlu menelaah terlebih dahulu. Sebab, tidak semua warga negara, memiliki pemahaman yang sama dengan kita. Ketika kita seenaknya saja menyebar luaskan isu yang memiliki multi tafsir, maka bisa jadi perpecahanlah yang akan kita dapatkan. Tabea. Sekian.

 (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT