Home / Opini

Festival Doe-Doe dan  Sustainable Development Tourisme

Oleh : Julkarnain Syawal (Warga Guraping/Pengajar di IAIN Ternate)
24 Desember 2021
Julkarnain Syawal

Term tourisme muncul sekitar abad ke 18 setelah revolusi industri di Inggris (Bungaran dkk:  2017), meskipun kegiatan berwisata sebagaimana pengertiannya bisa dikatakan seumuran dengan peradaban manusia. Dalam konteks keindonesiaan istilah pariwisata digunakan sebagai pengganti tourisme pada tahun 1961 pada saat musyawarah nasional Yayasan Turisme Indonesia ke II. Istilah pariwisata terdiri dari kata pari yang berarti berkeliling berulang kali, dan wisata yang berarti perjalanan rekreasi. Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. 

Berwisata dan objek wisata merupakan dua hal yang tidak bisa dipishkan dan saling berinteraksi. Biasanya objek wisata akan menarik dan memotivasi para wisatawan untuk berkunjung menikmati lingkungan objek wisata berupa sejarah, sosial budaya, ekologi, kuliner, kesehatan dan lain-lain. 

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia kepariwisataan mulai masuk dalam domain industri perekonomian. Ruang wisata dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi produk yang menghasilkan peningkatan pendapatan individu, masyarakat, maupun negara. Pariwisata oleh Aniesa Samira Bafadhal ( 2020:1) merupakan industri yang mampu meningkatkan pendapatan negara penerima wisatawan, devisa, kesempatan kerja dan taraf hidup masyarakat lokal, serta berbagai sektor kompleks yang dapat mengaktifkan sektor-sektor terkait lainnya seperti industri perhotelan, perjalanan wisata, restoran dan lain-lain. 

Dalam catatan kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, secara nasional pariwisata menjadi leading sector dan menduduki peringkat penyumbang devisa setelah industri sawit pada tahun 2019. Dengan keyakinan pariwisata sebagai salah satu sektor pendorong pertumbuhan ekonomi, maka sektor wisata sebagai basis unggulan pun menjadi trend bagi sejumlah daerah  bahkan sampai di pedesaan dalam pembangunan dengan menempatkan Festival sebagai media promosi dan branding daerah (destination branding).  Festival dilaksanakan sebagai langkah untuk membagun image suatu darah destinasi wisata dengan serangkaian kegiatan yang tujuannya adalah menarik wisatawan untuk datang dan menghabiskan waktu liburannya di wilayah tersebut. 

Festival Doe-Doe: Tourist Destination Branding in Guraping

Festival doe-doe adalah salah satu kegiatan destination branding yang digagas oleh pemuda di kelurahan Guraping Kota Tidore Kepulauan. Festival doe-doe dikemas dalam bentuk festival wisata berbasis budaya ini menyajikan berbagai kegiatan  yang mengangkat kembali tradisi dan praktek kebudayaan leluhur yang mulai tergusur dengan arus modernisasi dan globalisasi. 

Sebagai wilayah pesisir, Guraping memilki pesona alam yang eksotis. Mulai dari bibir pantai dengan polesan mangrove yang hijau, lekukan teluk yang indah serta laut yang jernih, bentangan terumbuk karang yang subur dilengkapi dengan ribuan spesies biota laut. Selain pesona alam, terdapat sejumlah tradisi yang menjadi local wisdom masyarakat Guraping. Tradisi Sogoroho Gam (membersihkan kampung), Ziarah Karamat (ziarah keramat), Kota dimai (pengantaran pinang sirih), Dorora gam (doa untuk kampung), serta kesenian dan budaya masyarakat Guraping juga bagian dari tradisi yang  memiliki daya tarik wisata. 

Pesona alam dan kekayaan tradisi yang dimiliki Guraping  menjadi peluang dalam penguatan ekonomi dan kebudayaan masyarakat melalui  pola pengembangan kampung wisata sebagai brand dengan mempertimbangkan berbagai dampak positif dan negatif terhadap keberlangsungan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. 

Menurut Cooper dalam (Woro Swesti: 2019: 55) dampak pariwisata muncul karena adanya interaksi tiga hal dalam periwisata yaitu wistawan, masyarakat, dan hubungan antara wisatawan dan masyarakat. Proses akulturasi antara kebudayaan masyarakat dan kebudayaan para wisatawan dapat berdampak pada kondisi sosial kebudayaan masyarakat setempat (Surwiyanta: 2003:1).  Secara ekologis-pun demikian. Pembangunan pariwisata dapat memeberikan dampak terhadap ekosistem alam yang berada pada kawasan wisata. 

Festival doe-doe; Gerbang Pariwisata Berkelanjutan

Pengembangan Doe-Doe Guraping sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan menjadi penting karena secara geografis, Guraping berada di pusat pemerintahan kota Sofifi yang tentunya menjadi jalur hilir mudik masyarakat umum maupun ASN di provinsi Maluku Utara yang tinggi. Artinya peluang orang yang akan berkunjung dan berwisata ke Doe-doe juga akan tinggi. Semakin tinggi mobilitas pengungunjung pariwisata Doe-Doe, akan mempengaruhi lingkugan ekologi, ekonomi serta pola kehidupan sosial masyarakat setempat. Pertumbuhan ekonomi masyarakat dalam konteks pengembangan pariwisata adalah hal positif yang pasti diperoleh, namun harus dibarengi dengan kelestarian ekologis dan sosial budaya. Mengapa demikian? Karena secara sosial kehidupan masyarakat Guraping sarat akan nilai-nilai kearifan lokal yang mesti dijaga keberlangsunganya. Selain itu, ruang hidup masyarakat nelayan pasti berhubungan erat dengan kelestraian ekologi mangrove dan terumbu karang sebagai suatu ekosistem laut sebagai sumber ekonomi masyarakat nelayan. 

Konsep pembangunan berkelajutan (sustainable Development) merupakan sebuah konsep yang bertujuan untuk menciptakan keseimabangan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Perhatian terhadap pembangunan berkelanjutan ini sudah dimulai sejak 1798, dengan adanya kekhawatiran Thomas Robert Malthus (1766-1834) akan  ketersediaaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk. Pada tahun 1987 World Commission on Environment and Development (WCED) menerbitkan buku Our Common Future yang memicu lahirnya agenda baru pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi (Askar Jaya : 2004: 2). 

Komisi Brutland pada tahun 1984-1987 merumuskan tentang pola pebangunan berkelanjutan sebagai proses perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Ismid Haddad, et.al: 24-25). Pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya integrasi tiga unsur dasar yakni pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan fungsi ekologi dan daya dukung lingkungan.      

Wisata Doe-doe Sebagai gerbang pariwisata berkelanjutan  dalam pengelolaannya harus mempertimbangkan empat hal sebagaimana tertuang dalam peraturan menteri Pariwisata Nomor 14 tahun 2016 tentang Destinasi Pariwisata berkelanjutan yakni; Pertama, pengelolaan yang meliputi perencanaan, pengelolaan, pemantauan dan evaluasi yang menempatkan masyarakat lokal sebagai pengelola pariwisata yang terdidik dan profesional sehingga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal. Kedua, pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal secara adil dan merata, wisata doe-doe harus menjadi kawasan ekonomi baru bagi masyarakat ekonomi rendah. Masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah harus diberikan ruang untuk memanfaatkan peluang ekonomi di kawasan pariwisata.  ketiga, pelestarian budaya  bagi masyarakat dan pengunjung. Sebagai wilayah yang sarat akan budaya loklanya, pengembangan wisata Doe-Doe harus menjadikan budaya lokal masyarakat sebagai bingkai yang mengikat perilaku dan sikap setiap pengunjung, atraksi wisata, maupun perlindungan warisan budaya. keempat, pelestarian lingkugan, dengan menjaga proses ekologis serta warisan alam dan keaneka ragaman hayati kawasan doe-doe dan sekitarnya harus menjadi prioritas disamping beberapa aspek di atas.

Dengan menempatkan konsep Sustainable Development Tourisme dalam pengembangan destinasi Wisata Doe-Doe, kita berharap village branding Guraping sebagai Kampung Wisata berbasis Budaya akan terwujud dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT