Home / Opini

Direktur bisa Mem-PHK Karyawan maka Gubernur Bisa Mencabut Izin

07 Juni 2021

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole*

GUBERNUR ibarat di perusahaan adalah direktur pengambil kebijakan tertinggi strategis suatu wilayah provinsi. Namun, kenyataan Maluku Utara saat ini belum mendapat respon konstruktif dari gubernur menyikapi fenomena sumber daya alam (lingkungan) kian krisis di Maluku Utara.

Mencermati beredarnya gambar danau Sagea Halmahera mulai kotor airnya berubah kecoklatan seperti banjir warna tercampur lumpur dll. Rupanya faktor lingkungan dari aktivitas pertambangan di sekitar, terutama wilayah Halmahera luas. Sejauh ini gagal meletakkan good mining practice secara kompherensif, hanya memaknai pada mekanisme reklamasi dianggap telah memenuhi good mining practice.

Menurut D. C. Adinugroho.2020. Pentingnya kaidah good mining practice pada pertambangan. Dunia Tambang : Jakarta Utara. Mengatakan good mining practice merupakan kegiatan pertambangan berdasarkan proses mematuhi etika dalam menerapkan hasil  teknologi sesuai  baik efektivitas, efisiensi selaras pemantapan hasil konservasi bahan galian, pengendalian, dan memenuhi fungsi lingkungan menjamin keselamatan kerja, mengakomodir keinginan dan partisipasi masyarakat, menghasilakn nilai tambah, meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar serta menciptakan pembangunan berkelanjutan.

Peristiwa kerusakan lingkungan di Danau Sagea merupakan alarm kedaruratan sumber daya alam lingkungan Maluku Utara kian krisis. Hal itu akibat dari pertama deforestasi hutan, land clearing, tidak padatnya material tanah penimbunan, pengendalian operasi pertambangan tak berpihak pada masyarakat lingkar tambang, kedua, peran gubernur selaku kepala daerah tak dapat membijaki kesempatan untuk menyerap aspirasi atau menerjemahkan sosial lingkungan pertambangan wilayah Halmahera Maluku Utara.

Secara sederhana paradigma digunakan oleh gubernur adalahkacamata kuda memandang sesuatu kebijakan secara linier, struktural pada kenyataan rentan akan praktik feodalisme, kapitalisme, benih-benih oligarki di dalamnya, Noam Chomsky (2016) menyebutnya sebagai selebrasi-selebrasi investor politik melibatkan pemerintah, pembisnis dan dewan rakyat disebutkan segelintir orang menguasai kekayaan sumber daya alam.

Paradigma gubernur sebagai pemimpin utama di Maluku Utara semestinya kebijakan itu adalah out of the box melampaui sesuatu untuk penyelamatan. Cara berpikir cenderung substansial ketimbang terjebak dalam struktur feodalisme.

Pada abad 21 pemimpin diarahkan untuk menjawab tantangan sains, kebumian (pertambangan, geologi, geofisika dll), konstruksi sehingga kebijakan-kebijakan itu bisa mengantisipasi bencana kerusakan lingkungan, banjir, gempa bumi, maupun tsunami, kerusakan lingkungan.

Gubernur memberi larangan izin atau ‘lampu merah’ bagi perusahaan-perusahaan tak taat lingkungan dan memperdulikan kehidupan masyarakat lingkar tambang. Meskipun Maluku Utara adlaah penyumbang Nickel cadangan 39 % dan tembaga 92,48 % dari total nasional . Tentu, masa depan Halmahera atau Maluku Utara menjadi pilu, ‘geliatnya’ pemerintah menjadikan Halmahera kaya sumber daya alam terus-menerus dieksploitasi, generasi Halmahera pada abad 100 tahun akan datang masihkah merasakan kehidupan lingkungan alami jauh dari aktivitas-aktivitas penambangan memungkinkan adanya peluang kerusakan lingkungan atau akankah Danau Sagea masih alami seperti sedia kala.

Pada sikon demikian gubernur atau setara direktur pada perusahaan bisa menyikapi secara objektif dengan alasan penyelamatan lingkungan bagi generasi masa depan, mencabut izin usaha pertambangan atau memberikan ‘lampu kuning’ bagi perusahaan. Jika seorang direktur bisa memutuskan mem-PHK karyawan maka gubernur juga bisa menggunakan sikap sama.

* Penulis adalah mantan Ketua Umum Forum mahasiswa Tambang Maluku Utara-Makassar Periode 2017(red)

BERITA TERKAIT