Home / Opini

BERPOLITIK ALA NA’AT MAN’UT

oleh : HAMD M ZEN (DOSEN PBA IAIN TERNATE
08 November 2023

Mengutip sebuah laman passinggrade.co.id ada sebuah artikel yang ditulis oleh adminya terkait dengan kaidah Dalam bahasa Arab bahwasanya, semua tata bahasa ada aturannya, mulai dari isim, fi’il dan juga harf, begitu juga dengan pembahasan na’at dan man’ut . Keduanya adalah sama seperti kembaran atau sepasang kata  yang harus sama dalam empat hal, yaitu:

Pertama; status i’rabnya. Misalnya: رأيت الأمِيْرَ العادلَ  ‘saya melihat seorang pemimpin yang adil’ Antara Na’at dan Man’ut sama-sama manshub (dibaca nashob dengan tanda nashob fathah) cara bacanya adalah ‘ra aitul amira al adila. Kata amir dan adil adalah na’at dan man’utnya. Oleh karenanya, keduanya dibaca fathah, yakni al amira al adila. ذهبتُ إلَى المَسْجِدِ الكَبِيْر‘ saya pergi ke masjid yang besar itu’. Keduanya juga sama-sama majrur (dibaca jer dengan tanda jer kasroh, karena ada huruf jer sebelumnya). Kalau di baca maka bacaannya antara masjid dan Kabir sama – sama dibaca jer jadinya adalah ‘jahabtu ila al masjidi al kabiri. Na’at man’ut dalam kalimat ini adalah masjid dan Kabir. Maka cara baca untuk kedunya adalah almasjidi alkabiri’. Kedua – duanya dibaca jer. Itulah hukum yang berlaku dalam kaidah Bahasa Arabnya.

Kedua; gendernya (mudzakkar-mu’annats atau laki-laki-perempuan). Misalnya : حضر الطالب الناجح ‘seorang siswa yang rajin itu telah hadir‘. Kata الطالب adalah mudzakkar (isim yang menunjukan arti laki laki) begitu juga dengan Na’at nya keduanya sama-sama mudzakkar. حضرت الطالبة الناجحة ‘seorang siswi yang rajin itu telah hadir’. Antara Na’at dan Man’ut  di atas juga sama-sama mu’annats (isim yang menunjukan arti perempuan). Ditinjau dari segi jenisnya pun antara na’at dan man’ut harus sama.

Ketiga; ‘adadnya (jumlahnya) baik isim mufrad (satu), isim mutsanna (dua) dan jamak (plural/banyak). Contohnya : جاء الطالب الناجح sama-sama mufrad (berarti satu). جاء الطالبان الناجحان sama-sama bentuk dua (mutsanna) yaitu ‘dua siswa yang rajin’ جاء الطلاب الناجحون sama-sama berbentuk jamak. Yaitu ‘para siswa yang rajin’. Begitulah kaidah dari na’at man’ut.

Keempat; makrifat dan nakirahnya (Umum dan Khusus), Misalnya : جاء طالبٌ ناجحٌ ‘seseorang siswa yang rajin telah tiba’ sama-sama nakirah (ditandai dengan dibaca tanwin) maka keduanya menunjukan arti yang masih umum. جاء الطالبُ الناجحُ‘siswa yang rajin itu sudah datang’. sama-sama makrifah (menunjukan arti khusus). Berdasar pada keempat kaidah tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaidah yang berlaku dalam na’at man’ut, adalah bahwasanya antara na’at dan man’ut, keduanya harus sama persis tidak boleh beda. Artinya bahwa man’ut harus mengikuti na’atnya.

Pembaca yang Budiman! Terkait dengan uraian tersebut di atas, menyangkut dengan kaidah na’at man’ut di dalam Bahasa Arab, penulis ingin mencoba mengajak pembaca untuk sama – sama kita analisis kaidah tersebut, sehingga kita coba untuk memasukan ke dalam dunia perpolitikan kita. Tujuannya adalah penulis ingin mengajak kita untuk membaca politik ala – ala na’at man’ut.

Mari kita mulai. Pertama: terkait dengan I’rabnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa antara na’at dan man’ut, keduanya harus sama dalam hal I’rabnya. Jika na’atnya fathah, maka man’utnya juga harus fathah, begitu pula dengan kasrah dan dommah. I’rab di sini, penulis analogikan sebagai visi dan misi, lalu na’at man’ut adalah ketua dan wakilnya. Dari sini, penulis ingin menyampaikan kepada kita sekalian bahwa, dalam berpolitik, kita seharusnya berjalan seiring sejalan.

Antara ketua dan wakil, harusnya memiliki visi dan misi yang sama dan harus pula sama – sama berkomitmen untuk merealisasikan visi dan misinya secara bersama. Sehingga, sampai pada ujung kepemimpinannya, segala program bisa terselesaikan seperti yang diharapkan. Jangan malah, di tengah perjalanan, kita justru berbelok arah dan mulai menggunakan ego masing – masing, sehingga terkesan berjalan sendiri – sendiri. Ujung – ujungnya, rakyat lagi yang kembali menjadi korbannya. Cobalah lihat na’at man’ut di dalam kaidah Bahasa Arab tadi. Di antara keduanya, selalu akur dalam hal apa pun.

Kedua: dari segi gender. Adapun untuk gender ini, penulis analogikan dengan peran masing – masing. Seperti yang diketahui Bersama bahwa, dalam dunia politik, kita berjalan tidak dengan sendiri – sendiri. Ada “kelompok” tim pemenang. Di sana, telah banyak berkumpul berbagai jenis orang. Baik laki – laki, maupun perempuan dan memiliki karakter yang berbeda – beda. Untuk bisa sampai pada tujuan, kita diharapkan untuk bisa menyatukan ide, gagasan, pemikiran dan segala hal terkait, dalam satu barisan. Sehingga, dalam prosesnya, kita bisa sampai pada tujuan yang diharapkan.

Maka dari itu, perlu adanya pembagian peran masing – masing. Peran ini sangat penting dalam menentukan hasil yang ingin dicapai. Jika peran yang diberi tidak sesuai dengan karakter, bisa jadi di tengah perjalanan akan sampai pada apa yang kemudian disebut dengan “blunder” yang tidak perlu. Oleh karena itu, dituntut untuk membagi peran sesuai dengan keahlian. Lalu, mulailah untuk bekerja berdasar pada tupoksi peran masing – masing. Intinya, jangan pengen terlihat menonjol dengan masuk ke peran orang lain. Jangan suka, mohon maaf “menjilat” hanya demi kepentingan pribadi.

Akan tetapi faktanya, justru masih banyak yang terlihat seperti mohon maaf menyimpang dari yang diharapkan. Ketua dan wakil maunya A, timnya justru menginginkan B. Belum lagi partai punya keinginan yang sebaliknya. Bahkan ada juga yang justru berbelok arah, karena merasa mohon maaf punya kekuasaan. Sehingga yang terjadi justru sekali lagi mohon maaf, dianggap sebagai “pengkhianat”. Hal semacam ini, bukanlah dinamika yang baru dalam politik di negeri ini. Dari tahun ke tahun dan masa ke masa, biasanya selalu seperti ini. Sehingga anggapan – anggapan pun bermunculan dengan “politik dinasti”.

Pertanyaannya, mengapa dinamika di atas bisa terjadi dalam dunia perpolitikan kita? Bisa jadi karena ingin menang sendiri / rakus kekuasaan. Padahal tujuan dari politik itu sendiri adalah menciptakan kedamaian dan menyebar luaskan kesejahteraan antar sesame sehingga kita terhindar dari perbudakan. Kalau saja kita kemudian sadar diri masing – masing dengan mengambil peran dan menjalankan sesuai tupoksi, maka dinamika – dinamika tersebut tidak mungkin ada.

Oleh karenanya, dalam kesempatan yang berbahagian ini, penulis ingin mengajak kepada kita, marilah sama – sama kita aktualisasikan kaidah na’at man’ut dalam Bahasa Arab ini, ke dalam dunia perpolitikan kita, sehingga di antara kita, selalu seiring sejalan. Sebab, dalam kaidahnya, na’at tidak boleh berbeda dengan man’utnya. Atau sebaliknya, man’ut tidak boleh bersebrang dengan na’atnya. Jika kaidah ini kita terapkan dalam dunia politik, insya Allah semua akan berjalan lancer. Sebab, masing – masing akan sadar diri dan saling menerima untuk perubahan negeri yang lebih baik. Lalu, terkait dengan kepentingan pribadi kelompok, perlahan mulai terhapuskan dan menyisakan kemaslahatan ummat secara Bersama.

Ketiga: dari segi jumlahnya. Jumlah di sini penulis analogikan dengan pembagian jatah. Selama ini yang terjadi, biasanya jatah yang dikirim dari pusat, yang tersampai ke daerah, sedikit demi sedikit, mulai berkurang dengan berbagai alasan, intinya takarannya tidak lagi sama. Ini merupakan problem yang tidak menutup kemungkinan, sampai saat ini, belum terpecahkan. Sehingga, membuat kepercayaan rakyat kemudian melemah. Rakyat tidak lagi sepenuhnya percaya terhadap pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Ini adalah problem Bersama. Maka dari itu, kita dituntut untuk sama – sama mencari solusinya. Jika persoalan ini tidak dicarikan solusinya segera, dipastikan negeri kita tidak akan baik – baik saja. Sebab, rakyat kita pun, memiliki karakter yang berbeda – beda pula. Ada yang acuh tak acuh, ada juga yang senang mencari tahu. Maka, perlu adanya pembenahan dalam tubuh pemerintahan. Mulailah untuk satukan barisan, untuk sama – sama memberi ruang bagi sesama untuk bisa berproses menjadi lebih baik, dengan cara selalu mengawal dengan baik setiap jatah yang diberikan. Sehingga, jatah tersebut bisa sampai dalam keadaan serratus persen utuh. Kalau tidak, jangankan 50 persen, sekedar 30 persen saja sudah sangat sulit.

Dalam konteks ini, kita perlu pula untuk melihat kaidah na’at man’ut terkaid dengan jumlahnya tadi. Jika jumlah yang diberikan 10, maka yang tersampai pun harus sepuluh. Sebab jika kurang, maka jika ditinjau dalam kaidah na’at man’ut dari segi jumlahnya, sudah tidak bisa diterima. Karena telah keluar dari kaidahnya. Kalau sudah keluar dari kaidah, maka secara aturan Bahasa Arab, kalimat tersebut cacat. Oleh karenanya, jika ingin system pemerintahan yang dijalankan tidak dibilang cacat dan mendapat respon positif dari semua kalangan masyarat, maka perhatikanlah jumlah jatahnya jangan sampai dikurangi.

Yang terakhir atau yang keempat: umum dan khusus. Untuk yang ini penulis ingin menyampaikan terkait dengan tindakan. Ada tindakan yang bersifat umum ada juga yang bersifat khusus. Dalam konteks ini, kita ditunut untuk menempatkan sesuai posisinya. Terkadang, hanya karena kekuasaan yang ada di Pundak, kita kemudian lantas mengambil sebuah keputusan tanpa berpikir Panjang. Acap kali tindakan kita justru kelewat batas. Hal yang umum disembunyikan, justru yang khusus disebarkan.

Padahal, terkait dengan umum khusus ini, bukan semacam sebauh permainan yang bisa dimainkan kapan saja. Ada hal – hal tertentu yang tidak bisa diumbar sembarang di depan umum. Ada pula yang harus diumumkan di depan umum. Artinya bahwa kalau ada informasi yang bersifat umum yang harus diinfokan secara umum, jangan justru disembunyikan. Sebaliknya, terkait dengan hal yang khusus, jangan malah dibongkat di depan umum. Karena jika itu yang kita lakukan, maka akan mengakibatkan kekacauan dalam negeri sendiri. Letakkanlah sesuatu pada tempatnya. Seperti kata Auguste Komte seorang pakar sosiologi yang dijuluku bapaknya sosiologi bahwa “menaruh tempat, pada tempat yang tepat”. Hal ini sejalan dengan kaidah dalam Bahasa Arab terkait dengan na’at man’ut tadi. Yang umum untuk umum dan khusus untuk khusu. Jangan dicampur adukan. Sebab percampuran itu, melahirkan kecacatan politik. Akhirnya, penulis hanya dapat berkata, selamat hari sumpah pemuda 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2023. Semoga di momentum sumpah pemuda ini, dunia perpolitikan kita semakin baik paling tidak bisa dijalankan ala ala na’at man’ut dalam kaidah Bahasa Arab. Sekian. Tabea dan terima kasih.

Ternate, 28 Oktober 2023.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT