Home / Opini

ASN (Tidak) Bebas Berpendapat?

Oleh : Khaizuran
13 Juni 2021
Khaizuran

Pada senin tanggal 25/mei/2021 kemarin, aparatur sipil negara (ASN)  pemerintah daerah (pemda) kabupaten Pulau Morotai melakukan demonstrasi di depan kantor Bupati Pulau Morotai. 

Demonstrasi ini ditujukan kepada Bupati Pulau Morotai yakni Benny Laos, untuk segera merealisasikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon,  yakni pemda Morotai telah kalah dalam sidang tersebut. Serta melaksanankan seluruh keputusan dan rekomendasi pemerintah pusat, baik dari KASN, BAPEK, dan OMDUSMAN. 

Selain itu demonstrasi ini dilakukan sebagai bentuk evaluasi terhadap kebijakan Bupati Pulau Morotai terhadap ASN dilingkungan Pemkab Pulau Morotai, yang dinilai kebijakannya terhadap mereka bertentangan dengan sistematika perundang-undangan yang ada dan terkesan mereka bekerja menurut selera pemimpin bukan atas dasar hukum dan perundang-undangan.

Seperti penerapan punishment (sanksi) tanpa landasan hukum yang jelas dan pemberhentian PNS yang dinilai tidak sesuai prosedural.

Hal ini diungkapkan oleh koordinator aksi yaitu Mustafa Lasidji “ASN masih dijadikan budak kekuasaan, yang bekerja menurut selera pemimpin bukan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Baginya moralitas pejabat masih sebatas asal bapak senang, yang takut bersuara agar tak kehilangan jabatan (fajarmalut.com /24/05/2021)

Sejatinya fakta diatas  menunjukan bagaimana buruknya sistem demokrasi, sebuah sistem yang lahir dari asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sehingga wajar jika setiap kebijakan yang diterapkan tidak menjadikan halal dan haram sebagai tolak ukur. 

Kepemimpinan yang seharusnya adalah amanah besar justru dijadikan sebagai alat untuk meraup keuntungan dengan kekuasaan yang ada. Hukum dan perundang-undangan yang ada akan terealisasi jika sejalan dengan kepentingan mereka tetapi jika berlawanan maka hukum tersebut bagaikan angin lalu. Inilah wajah buruk pemimpin dalam sistem sekuler demokrasi.

Kebebasan berpendapat yang termasuk salah satu pilar sistem ini hanyalah omong kosong belaka, ketika ada ASN yang berlawanan dengan kebijakan dzalim pemimpin, pasti akibatnya akan diberikan sanksi bahkan dipecat.

Sistem demokrasi  yang diagung-agungkan sebagai sistem pemerintahan terbaik terbukti justru membawa kemudharatan bagi manusia. Sebab kecacatan sistem demokrasi sudah ada sejak lahir, yaitu dengan asasnya yang meniadakan peran tuhan dalam mengurusi urusan publik.

Kepentingan dan kemaslahatan pribadi menjadi tolak ukur dalam sistem ini jadi wajar jika hukum sewaktu-waktu akan berubah jika tidak searah dengan tujuan materialistik mereka.

Sungguh kegagalan seorang pemimpin baik skala daerah maupun nasional hari ini diakibatkan karena diterapkannya sistem sekuler demokrasi yang jelas bersebrangan dengan Islam. Jadi bukan hanya pemimpinnya yang salah tetapi sistem yang melingkupi pemimpin tersebut.

Seorang muslim seharusnya menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, agama yang tidak hanya mengatur perkara ritual (ibadah) semata, tetapi Islam juga merupakan ideologi untuk mengurusi urusan negara.

Pengaturan negara yang berasaskan pada Islam yakni Khilafah jelas sumber hukumnya yakni Al-qur’an, as-sunah ijma’ dan juga qiyas. Jadi jelas, tidak ada yang dapat mengubahnya, bukan seperti sistem pemerintahan kapitalis demokrasi saat ini yang sewaktu-waktu dapat berubah jika sarat akan maslahat dan kepentingan.

Pemimpin dalam sistem Islam menyadari betul bahwa amanah yang diberikan pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Untuk itu dia sangat takut dalam melakukan kelalaian hukum syara yang dapat membawa kemudhrotan bagi rakyatnya apalagi sampai melalaikan hak-hak rakyat maupun ASN.

Dalam sistem Islam mempunyai sistematika tentang pekerjaan yang mencakup juga para PNS atau ASN. PNS atau ASN dalam negara Khilafah dipandang sebagai pegawai negara yang akan diupah dengan akad ijarah (kontrak kerja) dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya.

Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Kholifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikannya, itu artinya gaji guru kala itu sekitar Rp 30.000.000. (muslimahnews).

Para pegawai menyadari dari sisi tanggung jawab mereka adalah pekerja. Pada saat yang sama juga berposisi sebagai ra’in (pengurus rakyat). Dari sisi pelaksanaan tugas (sebagai pekerja), mereka bertanggung jawab atas amanah dari kepala jawatan atau kepala direktur jawatan atas mereka. Dan harus terikat dengan hukum-hukum syariah dan peraturan administratif yang ada. 

Selain itu, mereka juga mempunyai kewajiban dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar atau dakwah ketika ada kemaksiatan baik pimpinan dalam pekerjaan ataupun pemimpin negara. Sebab mengkritik penguasa merupakan bagian dari dakwah yang diwajibkan kepadanya terutama adalah seorang muslim. Sehingganya tidak ada yang menghalangi mereka dalam menyuarakan kebenaran. 

Wallahu’alam biashawab

 (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT