JAKARTA, OT - Hari Antinarkotika Internasional (HANI) yang jatuh pada 26 Juni 2022 dimaknai pasangan suami-istri Santi Warastuti dan Sunarta sebagai sebuah harapan.
Pasalnya, mereka menanti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan berharap ganja yang masuk dalam daftar narkotika golongan 1 itu dapat digunakan untuk kepentingan medis.
Santi bersama dua rekannya yakni Dwi Pertiwi, dan Novi menggugat Pasal 6 ayat 1 huruf H, Pasal 8 ayat 1 ke Mahkamah Konstitusi pada November 2020 silam.
Namun, selama hampir dua tahun lamanya tidak ada kabar kelanjutan lagi, padahal, dia bersama dengan pemohon lain untuk menjalani hampir delapan kali sidang.
"Saya menunggu kepastian dari MK, sudah dua tahun sejak mengajukan permohonan Undang-Undang Narkotika belum ada kepastian hukum sampai sekarang," kata Santi, Minggu (26/6/2022), seperti dikutip laman Liputan6.com
Keputusan MK sangatlah penting untuk keberlangsung hidup anak semata wayang yang bernama Pika Sasikirana, apalagi, jika MK mengabulkan permohonan melegalkan tanaman ganja untuk kepentingan medis.
Minggu, (26/6/2012), bersama suami dan anak, Santi berjalan kaki dari Jalan Sudirman-Thamrin menuju ke MK hendak menyuarakan aspirasi di HANI yang jatuh pada Minggu, 26 Juni 2022.
Santi melangkah sambil menenteng satu poster bertuliskan "Tolong anakku butuh ganja medis", sementara suaminya, mendorong kursi roda yang diduduki anaknya, Pika.
Aksinya tak ayal menyedot perhatian pengguna jalan, salah satu pernyanyi tanah air bernama Andien yang kebetulan sedang berolahraga di kawasan Car Free Day (CFD) ikut menghampiri memberikan dukungan moril.
"Eskpresi saya pertama menangis, apalagi saat dia support dan ikut mendoakan, saya bersyukur banyak orang yang ternyata mendukung saya," ujar dia.
Santi tiba di Gedung MK, niat mau menyerahkan surat yang ditujukkan kepada Hakim MK, dimana iSi surat itu pada intinya mendesak MK memberikan kepastian hukum.
Namun, Santi harus gigit jari karena tak ada satupun perwakilan MK menemuinya, bahkan, ketika mau menyerahkan surat dan poster itu ke petugas sekuriti, mereka menolak.
"Tadi saya maunya kasih ke sekuriti dan supaya besok disampaikan ke berwenang, tapi mereka tidak mau terima yaudah saya bawa pulang lagi" ujar dia.
Pika Sasikirana, anaknya mengidap Cerebral Palsy sejak usia 6 tahun. Pelbagai cara telah ditempuh demi mengobati si buah hati, dan salah satunya ke Rumah Sakit Islam Yogyakarta.
Tapi, kesehatan tak kunjung membaik. Menurut dia, penderita Cerebral Palsy retan mengalami kejang. Dan itu pasti berdampak buruk pada perkembangan kesehatan si penderita.
Ternyata ada metode lain untuk mengobati Cerebral Palsy khususnya mengurangi gejala kejang.
"Saya buka google ternyata informasi di luar negeri sudah banyak pakai itu (ganja. Untuk atasi kejang. Banyak yang akhirnya tidak kejang. Itu berita bagus buat ibu-ibu punya anak seperti Pika," ujar dia.
Namun, metode ini ilegal di Indonesia karena pengobatan menggunakan tanaman ganja. Santi sendiri tak berani mencoba-coba pengobatan itu ke anaknya karena masih terjanggal aturan hukim di Indonesia.
"Otomatis saya punya keinginan itu untuk anak saya tapi kan di sini masih belum legal. Kalau menggunakan itu saya melanggar hukum. Nanti saya yang salah. Saya maunya tetap di jalur hukum," ujar dia.
Santi berharap ganja dilegalkan untuk keperluan medis. Karena kalau memang berhasil bukan cuma anak saja yang merasakan kebahagian tapi juga anak-anak lain yang bernasib serupa dengan Pika.
"Saya bukan mengingkan ganja legal untuk semua orang. Tapi ganja untuk medis yang terawasi oleh pihak medis, di atur pihak medis. Bukan yang bebas untuk semua orang. Saya memohon kepada MK segera memberikan kepastian ke pada kami," pinta Santi.
(@by)