Home / Berita / Hukrim

Hendra Karianga Nilai Tindakan Eksekusi Paksa Kejari Halteng Terhadap Terpidana Korupsi Keliru

24 November 2022
Dr. Hendra Kariangan

TERNATE, OT - Kejaksaan Negeri (Kejari) Halmahera Tengah dalam melakukan eksekusi terhadap terpidana kasus korupsi pembebasan lahan pembangunan gelanggang olahraga (GOR) Fagogoru atas nama Rahmat Safrani selaku mantan Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, (Halteng) diduga menabrak prosedur.

Dr. Hendra Kariangan selaku kuasa hukum terpidana Rahmat Safrani kepada awak media, Rabu (23/11/2022) mengatakan, upaya paksa eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Halteng merupakan tindakan yang telah melewati batas-batas koridor hukum atau sudah masuk dalam pemaksaan kehendak, intimidasi dan tindakan sewenang-wenang.

Menurutnya, kasus yang melibatkan kliennya ini sebelumnya sudah berproses di Pengadilan Tipikor Ternate dan Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis bebas.

"Setelah bebas JPU Kejari Halteng lalu melakukan upaya hukum kasasi ke MA," jelasnya.

Kata Hendra, saat ini dirinya memperoleh informasi bahwa MA telah membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Ternate atau permohonan JPU Kejari Halteng dikabulkan.

"Mau dikabulkan atau tidak, bagi saya itu bukan persoalan, tetapi persoalannya mengapa Jaksa harus memaksakan kehendak melakukan eksekusi secara paksa tanpa melalui mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku," ungkapnya.

Dia menyebut, eksekusi merupakan hak dari JPU, setelah putusan MA itu diterima atau disampaikan secara resmi melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri Ternate.

"Kami sudah cek di Pengadilan sampai hari ini putusan kasasi MA itu belum ada, berkas salinannya juga belum ada, yang ada saat ini hanya petikan," terangnya.

Ia menambahkan, salinan putusan dan petikan putusan itu beda, karena salinan putusan itu memuat secara keseluruhan putusan baik itu pertimbangan majelis, sementara petikan itu hanya diktum yang tidak menjelaskan mengapa orang itu dihukum.

"Dengan demikian, berdasarkan pasal 270 KUHAP menegaskan bahwa eksekusi terhadap badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap harus melalui tahapan pemberitahuan dan sampai saat ini salinan putusan lengkap belum ada, persoalannya mengapa harus dipaksakan melakukan eksekusi tanpa melalui pemberitahuan dari salinan putusan itu," tuturnya.

Ia menegaskan, tindakan JPU Kejari Halteng itu adalah keliru, jauh dari prinsip-prinsip negara hukum.

"Negara hukum itu dua hal, pertama asas legalitas dan kedua kehormatan terhadap hak asasi manusia, sementara tindakan pemaksaan upaya eksekusi ini adalah intimidasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan dan itu jauh dari prinsip kita bernegara," paparnya.

Atas dasar itu sambung Hendra, dirinya sudah melaporkan hal ini ke pimpinan Kejati Maluku Utara, Dade Ruskandar agar mengambil sikap tegas terukur kepada pejabat yang arogan tersebut.

"Kami sudah bertemu pak Kajati Maluku Utara dan beliau juga sependapat dengan kita, yaitu harus dipastikan bahwa salinan putusan diterima. Mekanismenya melalui pengadilan lalu disampaikan ke terdakwa, keluarga atau penasehat hukum tentang salinan putusan, tapi sampai hari ini berkasnya belum ada," urainya.

Selain melaporkan ke Kajati Maluku Utara, Hendra membeberkan, bahwa pihaknya sudah membuat laporan di komisi kejaksaan RI dengan tujuan agar kasus ini menjadi perhatian.

"Itu kami lakukan sehingga kedepan itu tidak boleh terjadi lagi," bebernya.

Akademisi Universitas Khairun Ternate ini juga mengatakan, jika JPU menunggu berkas dan salinan putusan MA datang kemudian dilakukan eksekusi, setelah pengadilan memberikan pemberitahuan kepada JPU dan terdakwa itu tidak ada masalah.

"Jadi kalau semisalnya berkas dan salinan putusan MA telah dikantongi itu selesai masalah," jelasnya.

Dr. Hendra juga menyampaikan, jika sudah ditahan seperti ini, sementara pihaknya sedang lakukan upaya peninjauan kembali (PK).

"Jika misalnya dikabulkan siapa yang harus bertangungjawab apakah negara atau institusi ini tentu sangat berbahaya kedepan," tandasnya.

Sebagai informasi tambahan, terpidana Rahmat Safrani ini dituntut oleh JPU Kejari Halteng dengan pidana penjara selama 4 tahun, denda Rp.200 juta dan uang pengganti senilai Rp.244 juta.

Sementara vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ternate menyatakan Rahmat Safrani tidak terbukti dan dibebaskan dari semua tuntutan JPU Kejari Halteng.(ier)


Reporter: Irfansyah
Editor: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT