Home / Opini

Transfer Pricing, Efisiensi atau Penghindaran Pajak?

Oleh: Edy Sucipto*
07 Desember 2022

PERKEMBANGAN dan pertumbuhan ekonomi global pada masa yang akan datang diperkirakan menurun dibandingkan tahun 2022. Rilis International Monetary Fund (IMF) pada World Economic Outlook (WEO) yang dikeluarkan pada 11 Oktober 2022 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global turun dari 3,2% tahun 2022 menjadi 2,7% di tahun 2023 (sebelumnya diperkirakan tumbuh 2,9%).

Laju inflasi diperkirakan 6,5%. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sebuah Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan yang dirilis dalam Praying the Price of War bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia lebih kecil dari perkiraan yang dikeluarkan IMF. Perkiraan OECD, pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2023 sekitar sebesar 2,2% dari sebelumnya 2,8%.

Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia? Siaran pers Bank Indonesia   yang dikeluarkan pada 30 November 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 diperkirakan tumbuh di atas ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 tumbuh antara 4,5% - 5,3% dan akan naik menjadi 4,7% - 5,5% tahun 2024. Laju inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2023 diperkirakan 3,0 ± 1% dan turun menjadi 2,5 ± 1% tahun 2024. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di atas pertumbuhan ekonomi global turut merangsang pertumbuhan dan perkembangan perusahaan multinasional (MNC) di Indonesia.

Perusahaan multinasional adalah sebuah perusahaan internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi memiliki kantor cabang baik di negara maju maupun negara berkembang. Dalam konstelasi global, fitur utama perusahaan multinasional adalah investasi langsung ke luar negeri yang dirancang untuk menentukan dan mengatur produksi dan/atau unit distribusi. Di sektor perekonomian, perusahaan multinasional memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi dunia.

Pada beberapa penelitian, bahwa kelahiran perusahaan multinasional merupakan bentuk dari kapitalisme baru pasca Perang Dunia II dan memberikan ancaman tersendiri bagi kedaulatan suatu negara. Agar tidak menimbulkan pengertian yang rancu dan kesalahpahaman, terminologi perusahaan multinasional didefinisikan sebagai perusahaan multinasional terdiri dari satu atau dua perusahaan yang berada di bawah kendali (kontrol) yang sama dengan menggabungkan sumber daya untuk mencapai tujuan yang sama yang unit usahanya terletak di lebih dari satu negara. 

Dalam perusahaan multinasional, sudah jamak terjadi berbagai transaksi antar anggota (divisi) dalam perusahaan multinasional tersebut meliputi penjualan barang dan jasa, hak lisensi dan harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan lain sebagainya. Dalam menentukan harga dan imbalan atas transaksi-transaksi tersebut, antar anggota perusahaan biasanya ditentukan berdasarkan kebijakan harga transfer (transfer pricing) yang ditentukan oleh holding company yang dapat sama atau tidak sama dengan harga pasar.

Praktek transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional ditinjau dari hukum perseroan, dilakukan oleh perusahaan untuk menilai kinerja antar anggota atau divisi perusahaan dan meningkatkan efisiensi dan sinergi antara anggota perusahaan dengan pemegang sahamnya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22 tahun 2020 dijelaskan bahwa transfer pricing adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Apa artinya hubungan istimewa? Adalah hubungan yang terjadi antara dua wajib pajak atau lebih yang menyebabkan Pajak Penghasilan terutang di antara wajib pajak tersebut menjadi lebih kecil daripada seharusnya terutang. Transaksinya adalah transaksi yang berafiliasi.

Namun dalam perkembangannya, Darussalam dalam bukunya Transfer Pricing, bahwa dalam prakteknya transfer pricing dipakai untuk motif penghindaran jumlah pajak yang harus dibayar kepada negara. Beban pajak yang semakin besar memicu perusahaan multinasional untuk melakukan transfer pricing dengan harapan dapat menekan beban pajak tersebut.

Dengan demikian, transfer pricing dapat mendorong perpindahan lokasi aktivitas perusahaan dari suatu negara ke negara lain lainnya yang tarif pajaknya lebih rendah. Dampak praktek transfer pricing yaitu mempengaruhi perekonomian suatu negara. Pertama, praktek transfer pricing dapat mengakibatkan turunnya penerimaan negara atau hilangnya potensi penerimaan pajak. Kedua, penurununan penerimaan pajak berimplikasi pada kebijakan pengeluaran publik/negara dalam APBN.

Terbatasnya penerimaan negara, maka negara juga membatasi pengeluaran negara yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan dan sebagainya). Ketiga, dengan terbatasnya anggaran, maka negara akan menutupi defisit APBN dengan sumber lain berupa pembiayaan/pinjaman ke pihak lain baik dari dalam maupun luar negeri.

Khusus Indonesia, praktek transfer pricing yang dilakukan perusahaan multinasional berpotensi kehilangan penerimaan pajak yang sangat besar. Sebagaimana yang dirilis oleh Tax Justice News pada tajuknya yang berjudul The State of Tax Justice 2020: Tax Justice in the time of COVID-19, potensi kehilangan penerimaan pajak Indonesia rata-rata sekitar Rp 68,7 triliun per tahun sebagai akibat praktek transfer pricing tersebut.

Disampaikan pula bahwa besarnya kerugian praktek penghindaran pajak di Indonesia menempatkan posisi keempat se-Asia setelah China, India, dan Jepang. Penyebabnya adalah wajib badan dan pribadi yang melakukan penghindaran pajak di Indonesia dan perusahaan multinasional melakukan pengalihan laba ke negara yang dinilai sebagai negara surga pajak (tax heaven).

Memperhatikan konteks di atas, bahwa dampak praktek transfer pricing yang merugikan keuangan negara cukup besar, dapatkah pelakunya diberikan sanksi pidana (perpajakan)? Menyikapi hal demikian, otoritas perpajakan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak yang dapat menentukan apakah pihak-pihak yang melakukan praktek transfer pricing apakah melakukan tindak pidana atau tidak.

Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pemeriksaan dengan seksama sesuai regulasi yang berlaku dengan melihat sejauh mana hubungan istimewa antar pihak terafiliasi, kewajaran harga transfer dan dibandingkan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa, menggunakan dengan beberapa metode penilaian harga transfer dan sebagainya. Apabila ditemukan adanya pelanggaran, bagaimana penyelesaian akhirnya? Dalam konteks ini, prinsip utama adalah mengedepankan bagaimana kewajiban pembayaran kerugian keuangan negara terpenuhi masuk ke kas negara daripada tindak pidananya.

Namun, demikian apabila secara formal dan material pelanggaran pidana terpenuhi, tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan tuntutan pidana (perpajakan).    

*) Pneulis adalah Kepala Subbagian Umum KPPN Ternate

Pemegang Brevet A/B dan Brevet C(red)


Reporter: Tim

BERITA TERKAIT