Home / Opini

RUMAH WALLACE DI SANTIONG?                                                

Oleh : Alwi Sagaf Alhadar.
10 Juni 2022

Mulanya saya tidak terlalu peduli dengan Wallace. Mungkin bukan hanya saya saja - yang  tak miliki basis pengetahuan tentang mahluk hidup. Bisa jadi banyak kalangan praktisi biologi di Indonesia pun demikian. Mungkin pula mereka hanya terpaku pada satu nama saja. Charles Darwin. Terkenal sebagai pencetus teori evolusi. 

Saya tahu Wallace itu penemu garis Wallacea (Wallace Line), yang memisahkan wilayah biogeografi hewan Asia dan Australia. Saat belajar mata pelajaran ilmu bumi di bangku SD. Hanya itu saja.                                                                            

Namun kepedulian ini muncul setelah saya membaca artikelnya Profesor Sangkot Marzuki, di Majalah TEMPO, edisi 19 Mei 2008. Judulnya singkat dan sederhana. "Surat dari Ternate". Profesor Sangkot menulis dengan lugas diimbangi gaya bahasa bertutur. Proses karir keilmuan Alfred Russel Wallace, hingga ia "temukan teori evolusi" di Ternate.  Teori itu termaktub jelas dalam makalahnya berjudul "On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type". 

Point dari makalah itu,  yakni munculnya variasi yang berbeda dengan spesis asli akibat proses adaptasi terhadap lingkungan yang berubah. "Surat dari Ternate" ini kemudian dikirim ke  koleganya, Charles Darwin di London, Inggris. Setibanya dokumen penting dalam "The Letter from Ternate" ini, lalu dibedah di hadapan Linnean Society London yang bergengsi dan kredibel.

Kala itu diduga ia tengah sakit malaria di rumahnya di Santiong,  Kota Ternate. Eureka! Saat itu juga Wallace berkonklusi. Superior (sehat) akan menang, sedangkan inferior (sakit) akan kalah. "Survival of The Fittest".  Semuanya itu diceritakan Profesor Sangkot dengan jelas dan lancar. Sangat menarik!  

Nah, pada ending artikelnya, saya agak terperanjat.  Begini ringkasan tulisan  Presiden  Akademi Ilmu  Pengetahuan  Indonesia  ( AIPI )  itu,  "Sayangnya, di Indonesia pun Wallace masih terlupakan. Di Sarawak, tempat kerjanya terurus rapi. Di Ternate, tempat teori akbar mengenai evolusi lahir, sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan adanya penemuan paling besar pada abad ke -19 itu. Sayang sekali". Ketua Dewan Pengurus Yayasan Wallacea Indonesia ini mengakhiri tulisannya dengan nada kecewa.           

Telinga saya memerah bercampur rasa sedih, setelah membaca ulasan di atas. Saya lantas ceritakan pada  Muhdi Aziz, teman saya, soal ulasan itu. Kontan dia menjawab, Wallace itu adalah "tetangganya", dengan nada canda. Wallace sendiri pertama kali injakkan kaki di Bumi Para Sultan ini, Kamis pagi, 8 Januari 1858. Uniknya, hari itu usianya tepat 35 tahun. 

Belakangan baru saya yakin dengan  candaan Muhdi Aziz  itu.  3 Desember 2008, Kepala LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Prof. Umar Anggara Jenie, Ketua AIPI Prof. Sangkot Marzuki, Wali Kota Ternate Drs. Syamsir Andili - serta disaksikan sejumlah ilmuwan dan warga  sekitar - melakukan peletakan batu pertama pembangunan monumen Alfred Russel Wallace di Kelurahan Santiong, Kota Ternate. 

Peristiwa ini diliput media lokal, nasional, hingga media asing. Baik cetak maupun elektronik. Saat itu juga nama jalan Nuri (di depan rumah yang pernah didiami Wallace) diubah menjadi jalan AR Wallace. Ini semua dilakukan jelang "Simposium Peringatan 150 Tahun The Letter from Ternate", 8 Desember 2008. Anehnya, peringatan yang jelas-jelas memakai nama besar Ternate ini,  justru dirayakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.       

Tentu muncul pertanyaan. Apa betul teori ini ditemukan Wallace di Kelurahan Santiong?  Konklusi ini telah melewati beragam analisis dan perdebatan ilmiah mendalam yang dilakukan berbagai lembaga. Terutama lembaga negara yang kredibel di bidang ilmu pengetahuan. LIPI dan AIPI. 

Belum lagi diimbangi dengan sejumlah narasi Wallace yang menceritakan suasana Ternate. Lebih khusus, situasi dan kondisi sekitar tempatnya bermukim, kala itu. Ada sumur yang dalam, dekat benteng Portugis, tak jauh dari pasar dan pantai, hingga jalan di depan rumahnya menuju ke gunung Gamalama /arah ke barat -- di dalam bukunya yang fenomenal dan paling dibanggakan (summa superbus liber) oleh Wallace, berjudul, "The Malay Archipelago : The Land of The Orang-Utan, and The Bird of Paradise. A Narrative of Travel with Studies of Man and Nature". Terbitan Mac Millan and Co. London (1869). 

Belakangan, buku  The Malay Archipelago ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh JJ Rizal (komunitas bambu) dan diberi judul "Kepulauan Nusantara, Sebuah Kisah Perjalanan,  Kajian Manusia dan Alam" (2008). Dari narasi ini, semuanya menunjukkan Santiong adalah tempat tinggalnya selama empat tahun, saat Sang Naturalis sejati ini melakukan penelitian alamiah dan ilmiah di kawasan timur Nusantara.                   

Sejenak saya jadi teringat dengan "candaan" Abi tadi - panggilan akrab Muhdi Aziz. Ternyata memang rumahnya bersebelahan dengan rumah Alfred Russel Wallace. Pria yang gemar cari tahu sejarah ini pun bernostalgia. Saat masih remaja, ia sering melihat banyak warga asing datangi "rumah tetangganya" itu. Di Santiong.  

Honouring the past, celebrating the future...

   (penulis)


Reporter: Penulis
Editor: Redaksi

BERITA TERKAIT