Home / Opini

Otonomi Sekolah, Peluang dan Tantangan

Oleh : Yusri A. Boko
22 November 2022
Yusri A. Boko

Pendidikan Indonesia memang menghadapi tantangan baru yang awalnya terpasung oleh pendidikan ala Belanda. Di masa itu, pendidikan dikategori dalam bentuk pendidikan kelas pertama dan kelas kedua (pribumi dan bangsawan). Ketika bangsa ini merdeka maka pendidikan seakan terlahir kembali melalui balada pendidikan modern. Terutama pendidikan Indonesia pasca reformasi mengalami transisi, transisi yang dimaksud adalah transisi secara ekonomi dan politik dan mengharuskan adanya otonomi daerah. Negara terpaksa melepaskan sebagian tanggung jawabnya, salah satunya ialah menghindari konflik horizontal, trauma Orba, maupun tuntutan rakyat tentang adanya keadilan dan tentunya menghindari referendum, katakanlah bagaimana Timur-Timur keluar dari Indonesia. Hal ini menjadikan pemerintah semakin frustasi. 

Sentralisasi menjadikan polemik yang berkepanjangan, maka pemerintah kemudian mendorong desentralisasi sebagai solusi meskipun praksisnya dilakukan secara monopolis. Otda memberikan beberapa peluang, yaitu peluang secara ekonomi dan politik. Pemerintah pusat memberikan mandat kepada daerah agar mengelola pemerintahan sendiri termasuk politik dan ekonomi. Walaupun dari sekian pengelolaan masih ada yang menjadi tugas pokok daerah terhadap pemerintah pusat. 

Otonomi daerah (Otda) memberikan kesan yang positif bila dilihat dalam pendekatan formal: 1) Pemerintah daerah lebih mengetahui tentang kondisi daerahnya ketimbang pemerintah pusat, 2) Pemerintah daerah dituntut untuk kreatif guna menciptakan inovasi baru di daerahnya masing-masing, 3) Peluang pemerintah daerah dalam memajukan dan memakmurkan daerah melalui penyediaan sarana pekerjaan bagi para pengangguran, 4) Tersedianya panggung politik bagi putra daerah dalam khazanah demokrasi, dan; 5) Terciptanya egalitarian (proses kesetaraan) daerah dengan pemerintah pusat (tidak ada yang diperhambakan dan tidak ada yang diperbudakan).

Sejak reformasi politik pada tahun 1998, dunia   pendidikan Indonesia mengalami perubahan yang dramatis dalam berbagai aspek, salah satunya; aspek otonomi manajemen sekolah yang sebelumnya sering dilakukan dengan setengah hati. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, menjadi gagasan lahirnya pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) dan mendapat sambutan hangat dari pemerhati dan praktisi pendidikan. Antusias   terhadap Otda memberikan stimulus bagi pemerintah daerah, hal ini karena pemerintah daerah memiliki tanggung jawab kepada pemerintah pusat dalam mengurusi rumah tangganya sendiri. Hal ini pun berlaku bagi pelaksanaan pendidikan di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2004, yaitu adanya pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan kecuali agama, politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan fisikal. Ini yang kemudian dinamakan otonomi daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, transparan, akuntabel dan bertanggung jawab  (Minarti, 2011: 31).

Otonomi daerah yang diikuti dengan desentralisasi pendidikan merupakan siklus atau mata rantai, kenapa? Karena pemerintah daerah diharuskan mengelola pendidikan di daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Desentralisasi  pendidikan merupakan turunan UU Nomor 22 Tahun 1999. Implementasi Otda menggunakan prinsip pengelolaan daerah dan penghematan (efisiensi). Tuntutan pada dunia pendidikan pun demikian.

Prinsip pengelolaan dalam dunia pendidikan berupa perencanaan pendidikan, kurikulum sampai pada tingkat pembelajarannya. Pemerintah daerah harus berpikir realistis dalam mengambil tindakan karena tanggung jawab  pemerintah daerah bukan sebatas mengelola birokrasi di daerah. Namun, kebijakan pemerintah daerah tidak bisa mengabaikan pendidikan sebagai landasan pembangunan daerah.

Peran Stakeholder Pendidikan

Ketika berbicara otonomi maka yang muncul dalam pikiran ialah kemandirian. Sebagaimana penulis sampaikan kalau otonomi sekolah merupakan amanat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 1 huruf “h” menjelaskan: Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pemerintah Pusat memberikan mandat kepada daerah agar mengelola pemerintahannya sendiri termasuk pendidikan, artinya tanggung jawab  pemerintah daerah semakin besar dan membutuhkan keterlibatan semua pihak.

Keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola pendidikan merupakan bagian dari strategi dalam membangun otonomi manajemen sekolah. Hal ini merupakan wujud atas komitmen terhadap pengembangan mutu sekolah. Otonomi sekolah memang menempatkan kepala sekolah sebagai kunci utama dalam mewujudkan kinerja manajemen sekolah.

Tidak ada sekolah yang baik tanpa dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak baik, dan perbedaan sekolah yang baik dengan sekolah yang buruk dapat dilihat dari baik-buruknya kinerja kepala sekolah (Danim, 2010: 37).

Ada satu hal penting yang kurang diperhatikan oleh pemerintah daerah melalui desentralisasi pendidikan yaitu kehadiran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Lembaga tersebut memiliki peran penting dalam otonomi pendidikan atau otonomi sekolah. Keduanya lahir dari Permendiknas yang sama, yakni Nomor 044/U/2002.

Dewan Pendidikan merupakan lembaga yang dibentuk atas perintah Permendiknas dan dibentuk di masing-masing Provinsi, Kabupaten/kota di Indonesia. Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan merupakan badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 192 dijelaskan Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, Provinsi, Kabupaten/kota. 

Kehadiran badan ini memiliki peran penting dalam mengurangi beban kepala sekolah, dan sangat membantu praktisi pendidikan dalam koordinasi, pemberian saran dan pengawasan terhadap mutu sekolah. Apabila kita melakukan investigasi langsung di sekolah-sekolah, di sana ditemukan ketidakberdayaan Dikbud dalam mengontrol pelaksanaan pendidikan di setiap daerah, salah satu contoh misalnya supervisi Dinas Pendidikan yang ditujukan kepada sekolah di Provinsi dan Kabupaten/kota, bisa dikatakan belum maksimal. 

Belum lagi masalah yang dihadapi sekolah dalam proses pengajaran, profesionalisme guru menjadi sesuatu yang tidak jarang untuk ditemukan di setiap sekolah. Seandainya pemerintah daerah memaksimalkan dewan pendidikan, maka dewan pendidikan memiliki andil besar dalam setiap koordinasi melalui legislatif, eksekutif, dan perihal lainnya. Masih banyak permasalahan yang nantinya ditemukan di pelosok-pelosok desa. Masalah sederhana sekolah di pedesaan adalah penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tidak tepat sasaran. Penyaluran bantuan tersebut seharusnya dilakukan secara objektif, namun menyelingkung dan melahirkan tindakan nepotisme dan pemotongan yang tidak seharusnya terjadi. Distribusi BOS merupakan persoalan keterbatasan pemahaman kepala sekolah, mungkin kurang membaca, intervensi jabatan komite sekolah dalam penyaluran bantuan terkesan terlalu berlebihan atau faktor kerakusan. Ada beberapa fungsi komite berikut ini: Pertama, memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai; 1) kebijakan dan program pendidikan, 2) kriteria   tenaga kependidikan, 3) kriteria fasilitas pendidikan. Kedua, mendorong orang-orang tua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Ketiga, menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Keempat, mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Kelima, melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan. 

Berdasarkan fungsi komite sekolah, maka tahapan awal pembentukan mendapat respon dan dukungan masyarakat, namun komite sekolah masih menyandang status sebagai “stempel” di satuan pendidikan. Keberadaan komite sekolah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 56 ayat (3) dikatakan sebagai berikut: “Komite Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan, sarana-prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”.

Stakeholder pendidikan yang terdiri dari satuan pendidikan, seperti kepala sekolah, komite sekolah, dan guru dituntut untuk kreatif dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat dimana mereka ditempatkan. Memahami tugas pokok dari seorang stakeholder pendidikan merupakan satu kewajiban yang harus diketahui. Pendidikan diera modern membutuhkan biaya yang besar dan tidak terbatas. Di sinilah peran stakeholder pendidikan di mulai, bagaimana ia harus membangun sistem manajemen yang bagus, membangun budaya sekolah yang baik, dan membangun mitra kepada pihak-pihak terkait.

Peluang Otonomi Sekolah

Nah, peluang sekolah dalam desentralisasi adalah semakin terbukanya satuan pendidikan dalam mengembangkan diri tanpa bergantung dengan pemerintah pusat. Peluang tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1) dapat menentukan kurikulum pendidikan yang fleksibel atau sesuai dengan kondisi riil masyarakat, 2) dapat menentukan guru sendiri sesuai dengan kriteria   yang telah ditetapkan oleh sekolah, 3) dapat menentukan pengelolaan dana sendiri, 4) dapat menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, 5) dapat mengembangkan program-program nonformal yang menyentuh langsung pada kebutuhan  riil masyarakat, (Arifuddin, 2014).

Otonomi sekolah ini kemudian melahirkan banyak istilah menuju kemandirian sekolah, misalnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Dwiningrum, 2011: 24).

Peluang otonomi sekolah mestinya disambut dengan baik oleh setiap kepala sekolah, karena otonomi sekolah menambah kepedulian masyarakat atas sekolah. Sudah tentu kepedulian itu bisa berupa partisipasi kearah material maupun non material. Namun bukan berarti semuanya harus dilimpahkan kepada masyarakat, dan terlebihnya adalah mampu membedakan mana sumbangan dan mana yang menjadi wajib. Hal ini penting guna menghindari pungli. Apalagi kepala sekolah memiliki peran yang meliputi; manajerial, administrator dan leadership. Dan ini yang dibutuhkan untuk memandirikan sekolah.

Tantangan Otonomi Sekolah

Di masa penjajahan, Indonesia memiliki kepedulian yang sangat besar di bidang pendidikan, akan tetapi hari ini implementasinya diwarnai oleh kepentingan ekonomi-politik sehingga tujuan pendidikan Indonesia disesuaikan dengan kepentingan penguasa.

Dunia pendidikan kita menghadapi berbagai tantangan, di antaranya: 1) tingkat pendidikan masyarakat yang relatif masih sangat rendah, 2) dinamika peradaban, struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan alias masih banyak masyarakat Indonesia   belum mengenyam pendidikan, 3) kesenjangan pada tingkat pendidikan masih ada, 4) rendahnya kualitas dan akuntabilitas pemerintahan khususnya yang bertanggung jawab  atas masalah-masalah pendidikan, 5) fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai atau merata, 6) kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi, 7) manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien, 8) anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia   secara memadai, (Bainar, 2018).

Desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, seperti: 1) kebijakan pendidikan nasional yang sentralistik dan seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah, 2) kebijakan serta penyelenggara pendidikan nasional yang lebih berorientasi pada capaian target-target tertentu, misalnya target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau potensi peserta didik (Bainar, 2018).

Tantangan selanjutnya adalah tenaga pendidikan yang handal. Tenaga pendidikan yang handal dapat berupa; 1) landasan moral yang kokoh untuk mengemban amanah serta meningkatkan mutu sekolah, 2) kemampuan mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak, 3) membentuk teamwork yang solid, 4) mencintai kualitas yang begitu tinggi. Selain itu, tenaga kependidikan di sekolah harus mempunyai sikap antara lain; 1) dedikasi dan disiplin dalam melaksanakan pekerjaan, 2) jujur dalam setiap aktivitas kehidupan, 3) inovatif dalam persoalan kekinian yang kurang relevan, 4) tekun dalam menjalankan tugas serta kewajiban, 5) ulet dalam menghadapi realitas kehidupan (Arifuddin, 2014).

Tantangan Otonomi Sekolah selanjutnya ialah; 1) otonomi sekolah tidak dipahami sebagai upaya kepala sekolah dalam membangun jejaring untuk kemajuan sekolah, 2) implementasi MBS masih dalam tataran kepentingan politik lokal, 3) ketidakmampuan stakeholder dalam membangun kerjasama dengan beberapa mitra organisasi pendidikan, seperti dewan pendidikan dan komite sekolah mengakibatkan kepala sekolah harus bekerja sendiri dan waktunya tersita untuk kepentingan administrasi semata, 4) minimnya pemahaman masyarakat tentang partisipasi untuk membangun peserta didik dan lingkungan pendidikan yang berkarakter. Salah satu contoh, ketika ada segerombolan kambing tidur di halaman sekolah maka orang tua beranggapan itu tanggung jawab  sekolah.

Padahal adanya otonomi sekolah merupakan tanggung jawab bersama (tuntutan desentralisasi pendidikan). Logika yang sederhana ialah dari pendekatan desentralisasi pendidikan yang dipahami munculnya istilah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). 

Bagi penulis, otonomi sekolah harus diikuti dengan kesadaran kepala sekolah, guru dan masyarakat. Masyarakat masuk dalam subsistem sekolah maka menarik juga apabila Manajemen Berbasis Lingkungan (MBL) dikampanyekan sebagai manajemen partisipatif (konteks istilah selain MBS). Dengan demikian, desentralisasi pendidikan memberikan tanggung jawab  yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola aspek-aspek pendidikan, termasuk keuangan, kepegawaian, tenaga pengajar, kurikulum dan sebagainya. Serta menekan partisipatif masyarakat dalam membangun kualitas pendidikan.....

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT