Home / Opini

Krisis dan Keterancaman

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole, MT (Alumnus Universitas Muslim Indonesia Makassar)
10 Juli 2022
Ahlan Mukhtari Soamole (Penulis adalah alumnus Universitas Muslim Indonesia Makassar)

    Masifnya pembangunan meronrong pedesaan alih-alih pertumbuhan ekonomi, telah membuka ruang investasi dan eksploitasi meluas, ragam produksi meningkat tinggi, sebagaimana dialami desa memiliki keterdapatan sumber daya alam (mineral melimpah) tak luput dalam melancarkan aktvitas digayang-gayang membawa keuntungan, secara keyakinan tentu, keuntungan bukan implikasi pada garis kolektif sosial masyarakat, namun secara pasti keuntungan itu didapatkan kepada korporasi melalui teknokrat (pemerintah), pengawasan pemerintah pada jalur eksplorasi sumber daya mineral (alam) hanyalah bentuk formil semata di dalamnya bergelantungan berbagai kepentingan kelompok maupun individu, tak khayal apabila desa bercorak pada alamiah, perlahan berkembang berubah melalui tangan-tangan tak nampak (invisible hand) sebagai wajah industrialisasi menciptakan suatu krisis , keterbelakangan, terhadap sirkulasi kehidupan alam dan lingkungan. Krisis ekologis bermula dari faktor industrialisasi meluas, menindas, karakter industrialisasi menampakkan ‘wajah’ kapitalisme mengilhami setiap orang, apapun dilakukan harus mendatangkan keuntungan besar. Sebagaimana di Eropa abad silam masuknya pertambangan, membawa suatu penindasan dan eksploitasi, ibu hamil dipaksa untuk menarik ‘angkut’tambang tanpa melihat lagi sikon (situasi-kondisi) dialami. Eksploitasi, produksi tak lagi memandang, terjadi adalah cara meningkatkan produksi yakni menghasilkan cost laba daripada cost kemanusiaan (human cost). Alih-alih kemanusiaan adalah suatu kepunyaan tradisi pada desa tradisional, sedangkan, modernisme adalah laku daripada produksi, industrialisasi menghasilkan biaya keuntungan. Sebagaimana , dikatakan futurolog  Alvin Toffler dalam the great disruption ( Francis Fukuyama, 2016) Tofler mengungkapkan perubahan corak transisi itu sebagai gelombang ketiga ekuivalen gelombang pertama dan kedua yaitu dari masyarakat pemburu, pengumpul menjadi masyarakat petani dan kemudian dari masyarakat petani menjadi masyarakat industri. Secara berarti, alih-alih masuknya perusahaan pertambangan ke desa membawa suatu nilai baru dapat mengubah matinya siklus hidup. Di antaranya industrialisasi, produksi perusahaan dapat saja, perubahan  tatanan nilai sosial maupun ekologis. Resiko eksploitasi perusahaan terhadap kekayaan alam desa membawa krisis ekologis, krisis multidimensional. Krisis multidimensional implikasi pada alam dan manusia. 

     Ketersediaan alam berkurang, air bersih, udara segar, pencemaran limbah logam, memperburuk laut  ataupun sungai, meningkatnya debu industri mengancam hidup manusia, ragam krisis itu menimbulkan keterlibatan perusahaan. Krisis kemanusiaan tatanan norma adat istiadat tradisi perlahan-lahan tergerus dalam gelombang industrialisasi mengubah pola tindak laku kolektif menjadi individual, menciptakan kemiskinan, represif. Kemiskinan, masyarakat termarjinalkan dalam siklus industrialisasi suatu perusahaan, sehingga berakibat usaha-usaha petani, nelayan tergantikan menjadi ‘pelaku’ pada industri pertambangan. Secara pasti, norma kemanusiaan telah terakumulasi dalam biaya keuntungan setiap perusahaan. Produksi, eksploitasi tanpa henti menimbulkan krisis multidimensi akibat perusahaan akan terus-menerus produksi hingga kekayaan sumber daya mineral menipis dan terkuras habis. Masihkah krisis dan keterbelakangan dibiarkan terus-menerus terjadi ?

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT