Home / Opini

Keadilan dan Kelayakan Sistem Remunerasi dan Perilaku Kontraproduktif

Oleh: Yun Iswanto (Dosen FE / Ketua SPI Universitas Terbuka)
14 Maret 2019
Yun Iswanto

REMUNERASI merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia yang berkaitan dengan masalah penghargaan finansial yang diterima karyawan sebagai ganti dari pelaksanaan tugas organisasional. Dengan kata lain, remunerasi pada dasarnya merupakan suatu hubungan tukar-menukar antara karyawan dan organisasi. Karyawan menukar tenaganya dengan penghargaan finansial yang disediakan oleh organisasi. 

Berdasarkan konsep tukar-menukar tersebut, menurut Bernardin dan Russel (1998) remunerasi dapat dipandang sebagai: 

1. Suatu sistem penghargaan yang memotivasi karyawan untuk melaksanakan pekerjaannya;

2. Suatu cara berkomunikasi penting yang digunakan organisasi untuk menyampaikan dan menguatkan nilai, budaya, dan perilaku yang diinginkan; dan 

3. Suatu mekanisme penting yang memungkinkan organisasi untuk mencapai sasaran bisnis mereka.  

Atas dasar pendapat di atas, maka salah satu cara untuk meningkatkan motivasi, komitmen organisasi, dan prestasi kerja karyawan dapat dicapai melalui pengaturan sistem remunerasi.

Dalam prakteknya, masalah remunerasi merupakan salah satu fungsi personalia yang sulit dan kompleks. Bagi organisasi, menentukan struktur upah yang dapat diterima dan memuaskan semua pihak merupakan tugas yang tidak mudah, hal itu karena dalam upah melekat berbagai kepentingan yang seringkali justru saling berlawanan antara yang satu dengan lainnya. 

Dari sisi organisasi, misalnya, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi. Artinya, jika perusahaan menginginkan peningkatan keuntungan yang lebih tinggi, maka perusahaan harus melakukan pengendalian terhadap besarnya tingkat upah agar dapat dicapai tingkat biaya produksi yang lebih murah dengan  menekan tingkat upah karyawan. 

Sementara dari sisi karyawan, upah merupakan salah satu (atau bahkan satu-satunya) sumber pendapatan keluarga yang harus dapat menutupi segala kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, karyawan selalu menuntut tingkat upah yang lebih tinggi demi menutup semua kebutuhan rumah tangganya tersebut. 

Agar remunerasi dapat mengakomodasi harapan dan kebutuhan dari berbagai pihak tersebut, maka sistem remunerasi atau pengupahan harus memenuhi minimal dua prinsip utama, yaitu prinsip keadilan dan kelayakan. Adil dan layak berdasarkan beban kerja dan tanggung jawab serta prinsip penjaminan kesejahteraan pegawai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. 

Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, misalnya, menyatakan bahwa setiap pegawai negeri (PNS) berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Selanjutnya dinyatakan juga, bahwa gaji yang diterima oleh pegawai harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.

Pernyataan bahwa PNS berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya tersebut dalam kenyataannya belum tentu demikian. Meskipun PNS telah memperoleh gaji beserta tunjangan-tunjangan lain selain gaji yang dinilai telah cukup besar oleh pemerintah, namun dalam kenyataannya masih dirasa belum cukup oleh sebagian besar pegawai. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa penetapan gaji dan tunjangan tersebut belum didasarkan pada besarnya beban kerja atau tingginya prestasi kerja pegawai. 

Padahal jika ada anggapan bahwa sistem penilaian kinerja tidak mencerminkan prestasi kerja dan tidak membedakan penghargaan antara pegawai yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi, maka akan dapat menimbulkan perilaku yang kontra produktif.

Hasil studi Winurini (2014), menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab perilaku kontra produktif pegawai adalah karena tidak berjalannya keadilan di dalam organisasi. Perilaku kontra produktif tersebut pada gilirannya akan memengaruhi produktivitas kerja karyawan.

Berbagai kajian berkaitan dengan keadilan remunerasi dalam hubungannya dengan perilaku kontra produktif telah dilakukan oleh banyak pakar, diantaranya adalah Cochran. Menurut Cochran (2014) bahwa keadilan berhubungan negatif terhadap dimensi perilaku kerja kontra produktif. Pada kesempatan lain, Agwu menyatakan bahwa implementasi sistem penghargaan yang adil secara signifikan berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan dan mengurangi tingkat aksi industrial.

Oleh karena itu menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang keadilan dan kelayakan remunerasi tersebut sebagai salah satu bentuk penghargaan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawan dalam kaitannya dengan perilaku kontra produktif dan (juga) produktivitas kerja karyawan. 

Keadilan Sistem Remunerasi

Pada instansi pemerintah, keadilan dalam sistem remunerasi merupakan amanah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Dengan diterapkannya sistem remunerasi yang berkeadilan diharapkan pegawai negeri termotivasi untuk bekerja lebih baik.  Selama ini dalam menentukan besarnya gaji, pemerintah telah memasukkan aspek beban kerja dan tanggung jawab, meskipun dalam prakteknya aspek kepangkatan dan senioritas masih menjadi komponen utama dalam penetapan besarnya remunerasi.

Oleh karena itu, ketika semangat reformasi sampai pada sistem remunerasi, maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan memasukkan aspek tunjangan kinerja dalam komponen remunerasi. Tunjangan kinerja adalah bentuk insentif yang diberikan kepada pegawai berdasarkan pada capaian kinerja pegawai yang bersangkutan.

Dengan adanya unsur tunjangan kinerja dalam komponen remunerasi diharapkan sistem remunerasi pegawai negeri menjadi lebih adil. Dan dengan adanya keadilan dalam remunerasi diharapkan dapat mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antar Pegawai Negeri maupun antara Pegawai Negeri dengan pegawai swasta.

Secara sederhana konsep keadilan dalam sistem remunerasi adalah ketika organisasi mengaitkan nilai input dari suatu pekerjaan atau jabatan dengan besarnya remunerasi. Artinya, semakin tinggi input maka akan semakin tinggi pula remunerasi (output). Input suatu jabatan ditunjukkan dari persyaratan suatu jabatan. Semakin tinggi persyaratan suatu jabatan, maka semakin tinggi pula harga suatu jabatan.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menentukan keadilan dalam remunerasi dapat dicapai melalui pembandingan antara jabatan yang satu dengan jabatan yang lain dalam organisasi yang sama. Kegiatan membandingkan antara jabatan yang satu dengan jabatan yang lain dalam suatu organisasi yang sama disebut evaluasi jabatan.

Evaluasi jabatan merupakan bagian dari proses membobot suatu jabatan dengan membandingkan suatu pekerjaan/jabatan dengan pekerjaan/jabatan yang lain dalam organisasi yang sama. Dengan mengetahui bobot jabatan maka nilai jabatan dan kelas jabatan dapat ditentukan. Nilai dan kelas jabatan kemudian digunakan untuk menentukan tingkat dan besaran gaji secara adil dan layak sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya.

Kelayakan Sistem Remunerasi

Selain harus adil sistem remunerasi juga harus layak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak. Yang dimaksud dengan gaji yang adil dan layak adalah bahwa gaji Pegawai Negeri harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga Pegawai Negeri yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. 

Pengertian layak tersebut memang bersifat relatif, namun demikian nilainya haruslah tetap mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang normal, bukan untuk hidup mewah dan megah. Karena tidak mungkin ukuran kelayakan itu di bawah nilai kebutuhan standar untuk hidup yang layak atau sebaliknya, juga tidak mungkin nilai kelayakan itu melebihi nilai kebutuhan standar untuk hidup yang layak.

Untuk menetapkan kelayakan remunerasi tersebut organisasi dapat membandingkan upah suatu jabatan dengan jabatan yang sama pada organisasi lain. Atau dapat juga ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang upah minimum atau dengan menggunakan perbandingan kebutuhan pokok minimum.

Keadilan dan Kelayakan Remunerasi dan Perilaku Kontraproduktif

Menurut Winurini (2014) bahwa tidak berjalannya keadilan di dalam organisasi dapat menyebabkan perilaku kontra produktif karyawan.

Perilaku kontra produktif dipandang sebagai respon kognitif pegawai terkait pengalamannya mengenai ketidakadilan di dalam organisasi. Ketidakadilan organisasi tergolong ke dalam job stressor. Situasi dimana seseorang diperlakukan tidak adil merupakan stressor yang dapat membawa mereka kepada emosi negatif dan perilaku-perilaku kontra produktif.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa kepuasan seseorang terhadap imbalan yang mereka terima berkorelasi dengan persepsi mereka terhadap keadilan dalam pemberian imbalan. Karyawan yang memiliki persepsi terhadap perlakuan tidak adil dalam pemberian remunerasi akan mengalami stres. Kondisi stres karyawan tersebut akan memunculkan perilaku kontra produktif.

1. Pengertian dan Karakteristik Perilaku Kontraproduktif

Secara umum perilaku kontraproduktif mencakup segala bentuk perilaku dan tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh anggota suatu organisasi yang tidak sejalan dengan tujuan organisasi yang bersangkutan. Gruys dan Sackett (2003) mendefinisikan perilaku kontraproduktif sebagai perilaku yang disengaja oleh anggota suatu organisasi yang dilihat oleh organisasi yang bersangkutan sebagai bertentangan dengan kepentingan resmi organisasi. 

Perilaku kontraproduktif termasuk perilaku yang menyimpang di tempat kerja. Berbagai bentuk perbuatan menyimpang tersebut antara lain pencurian, sabotase, agresi antar pribadi, kerja lambat, membuang-buang waktu/material, dan menyebar rumor.

Berdasarkan dari berbagai survei dan penelitian pada kantor pemerintah, akhirnya Winurini (2014) menyimpulkan bahwa secara umum yang tergolong perilaku kontraproduktif birokrasi pemeritah meliputi: (1) kualitas pelayanan yang buruk, yaitu karena seringkali diberikan secara diskriminatif, memakan waktu lama, berbelit-belit, dan meminta biaya pelayanan tidak resmi. (2) Perilaku kerja buruk, yaitu pada umumnya bekerja dengan bermalas-malasan, tidak disiplin, lebih fokus pada imbalan materi daripada unjuk prestasi, dan tidak efektif dan efisien menggunakan peralatan dan perlengkapan kantor. (3) Integritas buruk. Hal itu tercermin dari semakin meningkatnya kasus kriminalitas, kasus pelanggaran etika, dan pelanggaran hukum lainnya.

2. Hubungan Perilaku Kontraproduktif dan Produktivitas Kerja

Para peneliti telah menemukan bahwa perilaku kerja negatif (termasuk perilaku kontra produktif) dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang membawa kerugian pada organisasi. Para ahli telah mengonsepsikan perilaku kontra produksi dalam berbagai bentuk yang semuanya membawa konsekuensi negatif terhadap produktivitas kerja. Berbagai konsep perilaku kontra produktif tersebut antara lain tindakan agresif terhadap organisasi, perilaku antisosial, perilaku kriminal, perilaku menyimpang, perilaku balas dendam, dan perilaku bullying (Winurini, 2014).

Dalam konteks birokrasi pemerintah Indonesia, perilaku kontra produksi ditunjukkan dalam perilaku kerja yang serba instan, bermalas-malasan, kecenderungan mencari muka kepada atasan, tidak ada semangat berkreasi dan berinovasi yang semuanya bermuara pada rendahnya produktivitas kerja.(red)


Reporter: Fauzan Azzam

BERITA TERKAIT