Home / Opini

Familysme

10 September 2021

Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole*

PASCA perang dingin menandai kemenangan kapitalisme  menyebar di seantero dunia terutama negara berkembang Indonesia, secara berantai tokoh maupun mahasiswa Indonesia ingin lebih mengenal kapitalisme membuming dalam segenap isu-isu pembangunan ekonomi.

Mulailah tokoh Ilmuwan, teknokrat seperti J. Suriasumantri, Sri Mulyani, Emil Salim bahkan cendekiawan Islam Indonesia memilih mengenyam kultur pendidikan di Amerika Serikat terutama menghirup hembusan kemenangan kapitalisme dari komunisme saat itu 2 ideologi besar dunia menjejaki negara maju.

Lantas ke mana Indonesia berpijak, sampai saat ini menjadi dilematis dalam kepemimpinan Jokowi 2 periode antara membumingkan pancasila namun membiarkan perseturuan ideologi kapitalisme bertarung di istana. Para alumni Barkley, Chicago, Harvard bahkan pengkritisi negara vs kaum miskin ikut dalam sirkulasi elit merayakan seremonial parlemen sampai saat ini kehilangan otoritas operasi atas keberpihakan rakyat.

Ketika kapitalisme global, nasional, lokal bercokol dengan dalil kolaborasi maka kehendak terjadi adalah berbicara untung-rugi. Sedangkan keadilan dan kesejahteraan kembali dijadikan tools kekuasaan untuk menyimpang dari tindakan politik Negara. Seperti kini, distrust telah bersileweran di media sosial bahwa akhir dari kapitalisme Negara berkembang akan berhadapan dengan kekuatan aksi massa menentang kebijakan pemerintah tumpang tindih penuh kepentingan secara memungkinkan gerakan aksi massa menentang perkoncoan kebobrokan mempraktekan tindakan-tindakan kegagalan negara yakni merusaki institusi sosial, ekonomi maupun politik tanpa batas lagi.

Sebagaimana upaya pertumbuhan ekonomi dibaliknya terjadi perkawinan korporatokrasi menciptakan kerusakan lingkungan ekologis, tambang. Pada tataran politik kehilangan keseimbangan oposisi baik secara loyal maupun oposisionalisme.

Pada gilirannya setiap perkawainan korporatokrasi berdampak pada korupsi biaya negara semestinya diperuntukkan kepada rakyat. Negara berada pada titik ambang huru-hara secara memungkinkan liar dalam mempraktekan kekuasaan secara despotik sebagaimana istilah Hobbes manusia satu memakan lain, artinya praktek bernegara ciri khas kapitalistik memandang laba cost semata ketimbang human cost.

Negara Kapitalistik

Suatu kesangsian atas kebijakan politik merupakan kebijakan-kebijakan pro pasar bebas kapitalisme nampak upaya mendikte regulasi atas selera pemilik modal. Semenjak omnibus law hingga pademi 2019-2021 semua berbau bisnis semata ketimbang pertimbangan ekologis, kemanusiaan.

Pandemi hanya menjadi arus kas uang negara dari pembisnis pada saat bersamaan, operasi pertambangan berlanjut, kerusakan lingkungan tak terhindarkan, masuknya tenaga kerja asing melimpah ruah seolah terhenti dengan mekanisme kebijakan pro pasar bebas, ketika pasar bebas menjadi titik keputusan politik maka negara secara eksplisit mempraktekan kapitalisme, kekuasannnya tangan besi, otoriterianisme terpelihara secara waktu lama.

Pada orde baru ketika kebijakan ekonomi terkendali di bawah Amerika Serikat. Pada akhirnya tumbang oleh gerakan mahasiswa pada reformasi kini, benih-benih kapitalisme kini menumbuh kembali oleh system  satu namun kultur, kekuasaan berbeda. Pebedaan kultur tercermin dalam model bisnis, kepemimpinan orde baru oleh Amerika Serikat terbuka, pasca reformasi tertutup secara familysme pada pemerintah, korporasi.

*(Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar)(red)

BERITA TERKAIT