Home / Opini

Budaya Korupsi

Oleh : Jandri Fokatea (Mahasiswa Antropologi Unkhair)
06 Juni 2021
Jandri Fokatea

Korupsi sudah menjadi kebudayaan, mungkin begitu, kata yang tepat untuk penyebutan perilaku korupsi yang makin subur di Indonesia. Bukan hal baru, korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak dulu. Sejak Indonesia masih dalam bentuk Nusantara yang terdiri dari beberapa kerajaan di Indonesia. Korupsi terjadi ketika para penyewah tanah dari Eropa pada 1816 di pulau Jawa, dan Kloni Hindia Timur, Inggris berikan pada Belanda, saat itu para pribumi mulai meperkaya diri. Pangeran di Ponegoroh marah besar terhadap patih Danurejo (1813-1847) karena menjual tanah kepada orang Eropa, untuk memperkaya dirinya. Dan yang menjadi pemicu terjadi peperangan di Jawa ialah korupsi. 

Sampai saat ini, isu korupsi tidak mengalami perubahan, semakin berubah semakin tetap sama (Peter Carey, 2016). Sudah puluhan tahun lalu, tapi korupsi masih tetap ada. Dan kini zaman parlemen pun  korupsi semakin marak. Bahkan  sejumlah pejabat di negara ini. Baik presiden, menteri, gubernur, bupati dan kepala desa.  Tetap saja ada penyelewengan uang negara, yang digunakan untuk keperluan mereka baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Menurut Hanbok (2006), korupsi adalah penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi, oleh pejabat publik dan swasta seperti: penyuapan, pemerasan dan penipuan yang sering terjadi pada bidang politik dan birokrasi, baik yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi. 

Kini, korupsi mulai menjalar pada aspek masyarakat.  Ini merupakan kegagalan pemerintah dalam mensejahtarakan masyarakatnya. Karena setiap tahun selalu saja beredar pada masyarakat kalau pegawai pemerintah melakukan korupsi, baik itu ketua partai, para pemimpin birokrasi dll. 

Pada tahun 2016, korupsi proyek Hambalang yang menyeret Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang melakukan korupsi uang proyek sebanyak 2,21 miliar rupiah (USD 1.600.000). Anas gunakan ini untuk pencalonan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres Bandung, 2010 (Kompas, 2016). Hal ini tentu merugikan negara. Dan berdampak pada masyarakat.  Karena ulah sebagian pemerintah yang melakukan korupsi. Akibatnya masyarakat harus membayar uang sekolah anak mereka dengan biaya mahal. Biaya sekolah makin tinggi, sehingga  banyak anak putus sekolah, banyak penganguran, banyak anak terlantar, miskin. Padahal negeri kita kaya. Namun, sekarang para petani mulai menjual tanah di mana-mana.  

Menurut Eko Prasetyo, dalam buku Orang Kaya di Negeri Miskin (2005), akibat korupsi, kekayaan para menteri semakin bertambah. Mereka sibuk menjaga keselamatan diri. Tanah masyarakat diambil paksa. Masyarakat terlunta-lunta. Kelaparan kemiskinan makin hari makin bertambah. 

Walaupun UUD 1945 mengatur tentang korupsi, pasal I ayat (I) UU Nomor 3 Tahun 1971, yang berbunyi barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, penyalah gunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung dapat merugikan masyarakat dan perekonomian masyarakat. Namun, pelaku korupsi terus merajalela mulai dari tinggkat kota sampai  desa. 

Setiap tahun selalu saja ada informasi tentang penyelewengan uang yang tujuanya untuk dibuat pembangunan kota atau desa. Buat kesejahteraan masyarakat namun, hanya menguntungkan orang-orang tertentu, orang yang diberikan kepercayaan tidak menjalankan amanah dengan baik. Kalau sudah begitu, seperti kata Plato, “Siapa yang akan menjaga orang yang menjaga”. 

Beberapa tahun silam, pemerintah telah  membuat lembaga pemberantas korupsi berdasarkan masa kepemimpinan presiden Indonesia masing-masing. Misalnya, di masa pemimpin Soekarno dan Hatta, mereka membuat lembaga pemberantasan korupsi dengan nama  Paran (Panetia Retooling Aparatur Negara), pada 1960, namun masih saja gagal. Pada zaman Presiden Soeharto juga mengagas lembaga pemberantasan korupsi yang sama, namun berganti nama: OPSTIB, pun gagal karena terdapat banyaknya campur tanggan meliter sehingga dibubarkan. 

Pada Undang-undang dasar No. 28 tahun 1999 Presiden B.J Habiebie mengeluarkan pernyataan KKN penyelenggara Negara yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau Ombudsman. Sedangkan Gusdur memerintahkan kepada Jaksa Agung, Agung Marjuki untuk membangun lembaga pemberantasan korupsi (TGPTPK) dan dibubarkan. Megawati pun membentuk pemberantasan korupsi dengan nama KPK (komisi pemberantasan korupsi). Namun, korupsi masih saja merajalela pada 26 provinsi Indonesia.

Menurut Clive Day, menerima gaji yang terlalu rendah dari hasil kerja mereka. Dan mudah mendapat godaan dari organisasi luar. Hal itu sehingga membuat pelaku untuk mencuri pekerjaan dengan  jalan korupsi membuat orang bisa kaya sebab mencuri dari perusahaan. 

Pelaku korupsi, konon dilakukan secara  Independen (perorangan). Walaupun begitu, pasti ada yang aktor pemimpin lain yang membantu menjalankan itu. Menjadi pemimpin hal yang perlu dipertanyakan adalah untuk apa saya menjadi pemimpin? Bila saya melakukan korupsi, apa manfaatnya.  Saat ini, kita tidak memeliki pemimpin seperti Bung Karno dan Hatta, tapi kita hanya memeliki pejabat yang hanya memperkaya diri mereka. Karena, ketika orang yang mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur, mereka harus menggunakan uang untuk membayar masyarakat. Bagaimana bisa negeri ini akan diperhatikan. Mungkin korupsi akan hilang bila tak ada kepentingan pribadi dan kelompok di dalam benak pemimpin. Seorang pemimpin, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, berlaku adilllah sejak dalam pikiran.

 (penulis)


Reporter: Penulis

BERITA TERKAIT