Home / Berita / Nasional

Rencana Amandemen Konstitusi oleh MPR Dinilai Cacat Konsep dan Paradigma

04 September 2021
Fahri Bachmid

JAKARTA, OT - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H, menilai rencana amandemen UU 1945 tidak bisa diputuskan secara terburu-buru, parsial, dan serampangan serta diperlukan kehati-hatian, kecermatan dan pembahasan yang cukup mendalam, karena akan berimplikasi pada konstruksi hukum tata negara secara keseluruhan.

“Rencana amandemen Konstitusi oleh MPR cacat konsep dan paradigma,” ujar Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/9/2021).

Menurutnya, diskurusus Amandemen UUD 1945 oleh MPR, yang konon akan dilakukan secara terbatas, yakni menambah 1 ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara), dan menambahkan ayat pada ketentuan pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN, menjadi sesuatu yang harus disikapi dan dibahas.

“Secara konstitusional maupun teoritik, amandemen konstitusi merupakan sebuah keniscayaan untuk mengakomodir tuntutan dan kebutuhan serta dinamika hukum masyarakat, dan untuk amandemen UUD 1945 MPR harus dilakukan dengan cermat dan  hati-hati, setidaknya wajib mengunakan parameter untuk mengukur tingkat urgensinya," tandasnya. 

Hal ini, kata dia, jika merujuk pada Kesepakatan Dasar yang disusun oleh Panitia Ad Hoc I pada saat proses pembahasan perubahan UUD 1945 pada saat amandemen pertama sampai keempat tahun 1999-2002

“Jika merifer dari dasar itu, maka salah satunya adalah konsep penguatan sistem pemerintahan presidensial, dan konsisi objektif saat ini terkait wacana pemekaran/penambahan kewenangan MPR RI menetapkan PPHN dalam UUD 1945 maka secara teoritik tentu akan menganulir serta mereduksi sistem pemerintahan presidensial itu sendiri,” papar Fahri.

Menurutnya, hal tersebut sekaligus untuk memitigasi jika konsep usulan itu ternyata menyasar pada bagian tertentu dari UUD yang bersifat melemahkan. Disebutkan Fahri, jika itu yang terjadi maka secara paradigmatik keseluruhan struktur UUD 1945 tentu mengalami bergeseran yang sangat elementer,

Hal tersebut, lanjut Fahri, merupakan konsekwensi dari amandemen konstitusi yang dilakukan pasca reformasi, yang mana menegaskan Indonesia menganut prinsip negara demokrasi (daulat rakyat) sekaligus nomokrasi (daulat hukum), sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 

“Dan bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR, hall ini tentunya sudah sangat tidak relevan dengan bagunan struktur ketatanegaraan yang dibangun saat ini pada saat amandemen UUD 1945, yang mana paradigma serta orientasinya adalah penguatan sistem presidensial serta pelakasanaan prinsip Checks and Balance System dalam hubungan relasi serta interelasi antara lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi,” jelas Fahri. 

Dengan demikian, menurut dia, wacana amendemen yang disampaikan oleh MPR tentang adanya penambahan ketentuan ayat pada pasal 3 dan ketentuan pasal 23 UUD  NRI Tahun 1945, adanya penambahan ayat dalam pasal 3, hal itu artinya MPR ingin diberi kewenangan untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Padahal, dokumen hukum PPHN itu diatur dalam UUD 1945.

“PPHN yang demikian ini tentunya serupa dengan GBHN pada UUD 1945 sebelum amandemen, kemudian penambahan satu ayat pada ketentuan pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” jelasnya.

“Kalau secara politik berarti MPR sebagai lembaga yang mengeluarkan produk PPHN itu, dan jika demikian berarti menjadi anomali kerana kita telah kembali lagi mengadopsi sistem dengan prinsip supremasi MPR. Ini yang mestinya tidak terjadi,” tutup Fahri Bachmid.

 (@by)


Reporter: Ikbal Bafagih
Editor: Fadli

BERITA TERKAIT