Home / Berita / Hukrim

Jejak Maladministrasi di RS Pratama Halmahera Barat, James Uang di Bawah Radar Kejati

Proyek senilai Rp 42.9 miliar, Kini Bangunan RSP Hanya Menjadi Monumen Kegagalan Birokrasi di Halbar
25 Desember 2025
Gambar ilustrasi maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang tercium menyengat dalam proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama di Kabupaten Halmahera Barat

TERNATE, OT – Aroma maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang tercium menyengat dalam proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama di Kabupaten Halmahera Barat.

Praktisi hukum Hendra Karianga secara terbuka mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara untuk memanggil dan memeriksa Bupati James Uang terkait perubahan lokasi proyek yang memicu macetnya anggaran pusat.

Hendra Karianga, menegaskan bahwa penetapan lokasi proyek yang didanai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bukanlah hak prerogatif Bupati yang bersifat mutlak. Menurutnya, lokasi di Desa Jano, Kecamatan Loloda, telah melalui kajian teknis dan ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan berdasarkan kriteria wilayah Terpencil, Terisolir, dan Perbatasan (DTPK).

“Secara hukum, Bupati tidak memiliki otoritas untuk mengubah subjek dan objek yang telah dikunci dalam kontrak DAK tanpa persetujuan kementerian terkait. Langkah memindahkan lokasi ke Desa Soana Masungi adalah bentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang nyata,” tegas Hendra, Kamis (25/12/2025). 

Dalam perspektif hukum tindak pidana korupsi, mangkraknya proyek senilai Rp 42,9 miliar ini dapat dikategorikan sebagai kerugian negara akibat kebijakan yang salah. Hendra menyoroti bahwa tindakan Bupati secara langsung menyebabkan Kementerian Kesehatan menghentikan kucuran dana, yang berakibat pada terbengkalainya fisik bangunan.

“Proyek ini gagal bukan karena bencana alam, tapi karena intervensi kebijakan yang cacat hukum. Jika anggaran negara telah keluar namun manfaatnya tidak dirasakan masyarakat karena proyek berhenti, maka ada indikasi kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana,”jelas pengacara senior tersebut.

Di satu sisi, berkembang isu terkait wacana Gubernur Sherly Tjoanda yang ingin menalangi proyek ini menggunakan Dana Bagi Hasil (DBH), Hendra memberikan peringatan keras. Ia menilai tindakan tersebut adalah upaya "tambal sulam" yang berpotensi melanggar UU Perbendaharaan Negara. Ia merinci bahwa setiap rupiah dalam APBD harus memiliki dasar nomenklatur yang jelas sejak tahap perencanaan. 

“Memaksakan DBH untuk melanjutkan proyek DAK yang bermasalah secara lokasi adalah pelanggaran administratif serius. Anda tidak bisa begitu saja mengubah anggaran di tengah jalan hanya untuk menutupi kesalahan kebijakan Bupati. Itu bisa menyeret Gubernur ke dalam pusaran kasus yang sama,” pungkasnya.

Sekedar diketahui, detail kontrak yang terbengkalai. Proyek yang digarap PT Makayasa Mandala Putra ini sedianya menjadi harapan bagi warga Loloda. Namun, per 24 Maret 2024, pembangunan justru melenceng ke Kecamatan Ibu. Dengan nilai kontrak fantastis sebesar Rp 42.946.393.870, kini bangunan tersebut hanya menjadi monumen kegagalan birokrasi dan simbol pemborosan anggaran negara di Halmahera Barat.

 (ier)


Reporter: Irfansyah
Editor: Redaksi

BERITA TERKAIT