Home / Berita / Hukrim

Hentikan Kasus Waterboom, Akademisi Nilai Kejati Malut Merusak Sistem Hukum

14 Januari 2020
Kantor Kejati Malut

TERNATE, OT- Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Hendra Kasim menilai pernyataan Asisten Intelenjen (Asintel) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara (Malut) soal kasus waterboom ada yang aneh.

Menurutnya, Kejati melalui Asintel menyatakan bahwa waterboom telah selesai karena dalam amar putusan tidak menyebutkan keterlibatan wali kota Ternate serta telah ada pengembalian kerugian negara. 

“Menurut kami ada yang aneh dan merusak sistem hukum atas sikap Kejaksaan Tinggi tersebut,” kata Hendra Kasim kepada wartawan, Senin (13/1/2020).

Kata Hendra, memang benar bahwa dalam amar putusan tidak memyebutkan keterlibatan wali kota Ternate, tapi penyebutan secara bersama-sama atau yang diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP disebutkan dalam pertimbangan majelis.

“Dalam membaca putusan, ini disebut ratio decidendi, saya pikir penyidik kejaksaan juga tahu hal itu. Pada pertimbangan hakim itulah kita mengetahui ratio hukum hakim,” jelasny.

Menurut Hendra, sangat tepat jika dalam amar putusan tidak disebutkan keterlibatan wali kota Ternate, namun disebutkan dalam pertimbangan hakim. Sebab katanya, jika hakim menyebutkan hal tersebut dalam amar putusan justru keliru, karena yang bersangkutan belum pernah diperiksa sebagai tersangka, sehingga benar jika hakim menyebutkan frasa secara bersama-sama dalam pertimbangan hakim.

Hendra menjelaskan, apa yang dimaksud dengan secara bersama-sama atau turut serta. dilihat dalam Pasal 55 KUHP, disebutkan pasal (1)  Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Sementara pasal (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. 

“Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk 'medepleger' akan tetapi dihukum sebagai 'membantu melakukan' (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP,” jelas Hendra.

Untuk hal tersebut lanjut Hendra, Kejaksaan Tinggi sudah harus melaksanakan putusan pengadilan tersebut sebagaimana isi putusannya, karena Kejaksaan tidak dalam posisi berwenang mengkaji putusan, melainkan melaksanakan putusan.

Hendra mengaku aneh, jika sejak 2014 putusan kasasi mengenai waterboom diputuskan, tapi tidak pernah ada proses seperti memeriksa yang bersangkutan ataupun sekedar mengklarifikasi kepada yang bersangkutan, kini tanpa ada angin melintang, kejaksaan langsung menyebutkan kasus tersebut selesai. 

“Apa yang mau diselesaikan jika belum pernah dimulai, sudah sepatutnya jika kasus tersebut diproses dulu. Inikan aneh,” kata Hendra Kasim.

Dia mengatakan, logika hukum pengembalian kerugian negara menghilangkan tindak pidana itu keliru dan menunjukan tidak pahamnya kejaksaan tinggi. Sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang  Nomor 31 tahun 1999 Junto UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

“Pasal ini menyebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menggugurkan tindak pidana. Sebab, tidak ada alasan hukum atau tidak dapat dibenarkan menurut hukum bahwa pengembalian kerugian negara menjadi alasan diberhentikannya proses hukum,” sebutnya.

Menurut Hendra, langkah hukum yang dapat diambil diantaranya, Asintel dan jaksa yang menangani kasus waterboom perlu dilaporkan kepada komisi kejaksaan.  Jika benar kasus ini dihentikan serta ada dokumen SP3-nya, praperadilan SP3 dapat ditempuh sebagai upaya hukum yang konstitusional.

“Atau Waterboom perlu dibawa ke meja KPK agar dapat ditangani dengan lebih serius,” saran Hendra Kasim. (ian)


Reporter: Ryan

BERITA TERKAIT