Home / Advertorial / Bappelitbangda

5 Menit, Walikota Ternate “Eksekusi” Masalah Ratusan Nelayan Rua

05 September 2022
Foto bersana warga dan para nelayan di Kelurahan Rua

TERNATE, OT - Program FORIS Andalan perdana Bappelitbangda Kota Ternate dilaksanakan di Rua, Kecamatan Pulau Ternate, Kamis (1/9/2022). Bukan di teras rumah penduduk, tapi langsung di “teras” laut, Pantai Ake Rica. Tempat ratusan nelayan kelurahan Rua menjemput berkah.

Di tempat ini pula ratusan nelayan beserta keluarganya menyampaikan uneg-uneg atas permasalahan yang dihadapi. Diawali penjelasan Lurah Rua Ma’ruf M. Saleh, ternyata kelurahan ini merupakan sentra produksi pangan, khususnya hasil laut. Setiap hari, ada 59 armada penangkapan ikan dari Rua yang melaut. Ada 15 pajeko berukuran 6 GT dan 21 GT. Juga tersedia 44 armada penangkapan berukuran 2 GT dan 3 GT. Mereka tak sekadar mencari hidup tapi juga untuk memenuhi kebutuhan pangan warga kota ini.. Jika dikalkulasi, rata-rata hasil penangkapan ikan bisa lebih dari 100 ton setiap hari.  Artinya, nelayan Rua ikut berkontribusi memposisikan Kota Ternate sebagai daerah terbanyak produksi ikan tangkap di Malut ketimbang 9 kabupaten/kota lainnya pada 2020 lalu, yakni mencapai 55.860 ton.

Di tengah geliat usaha para nelayan itu, mereka kini berhadapan dengan masalah. Melalui beberapa perwakilan  nelayan Rua dalam forum bacarita di FORIS Andalan itu menyampaikan butir-butir permasalahan mereka. 

Pertama, soal dampak kebijakan di tingkat Kementerian DKP yang mewajibkan para nelayan membongkar hasil tangkapan mereka di Pelabuhan Perikanan Bastiong. Padahal selama ini hasil tangkapan itu diturunkan di Pantai Ake Rica. 

Akibat kebijakan itu, para nelayan harus menanggung cost distribusi yang lebih besar, terutama BBM dan waktu operasional. Selain itu, 12 armada angkutan darat yang sudah dikredit para nelayan untuk mengangkut hasil tangkapan dari Rua ke pasar akhirnya nganggur. Padahal, pola ini lebih murah biaya operasionalnya. Ada pula dampak sosial  dari kebijakan itu. ”Terus terang, kalau hasil tangkapan torang (kami) bongkar di sini, maka torang pe mama-mama ini boleh berjualan ikan di kampung. Yang datang beli juga warga dari kelurahan-kelurahan tetangga dengan harga jual yang lebih murah.  Apalagi kalau mereka beli ikan untuk hajat orang meninggal atau yang lain, itu biasanya ada tambahan di luar yang mereka beli,” ujar Idwar Bakar dan Bahtiar, dua warga Rua.

Kedua, nelayan Rua juga mengeluh soal rumpon mereka yang terancam akan ditertibkan. Menurut nelayan, rumpon itu sudah lama mereka sediakan dengan biaya sendiri. “Pak Wali, masing-masing rumpon yang dibuat masyarakat itu tanpa bantuan dari pihak lain. Dan biaya satu rumpon saja sekitar 40 juta rupiah. Kalau rumpon-rumpon ini akan diputus, selain kerugian bagi pemilik rumpon, semua nelayan cakalang dan tuna tidak bisa beroperasi,” tutur warga setempat. 

Ketiga, persoalan jembatan labuh bagi perahu nelayan, serta tidak diberi kesempatan berjualan kepada ibu-ibu penjual ikan dari Rua di Pasar Higienis, Kelurahan Gamalama.

Sebelum direspon Walikota Ternate, Kadis Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, Faisal H. Danu Husein menjelaskan, pemindahan tempat pembongkaran hasil tangkapan ke Bastiong merupakan kewenangan Kementerian terkait pengawasan yang dilakukan oleh petugas PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan). Kapal-kapal penangkap ikan yang punya SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) harus bongkar di pelabuhan pangkalan. Sementara penertiban rumpon merupakan amanat Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2019 yang mengisyaratkan rumpon harus memiliki izin. 

Atas permasalahan itu, Walikota M. Tauhid Soleman menyatakan bisa memahami keinginan masyarakat namun ada benturan dengan aturan. Hanya dalam waktu 5 menit setelah mendengar berbagai keluhan itu, Walikota Ternate ini langsung “mengeksekusi” persoalan para nelayan itu dengan solusi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Ternate. 

Meski ada benturan dengan aturan, menurut Walikota M. Tauhid Soleman, ada cela yang bisa disiasati baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Soal bagaimana mengembalikan tempat bongkar hasil tangkapan nelayan ke Rua, menurutnya bisa dilakukan dengan cara menarik petugas pengawas SLO (Surat Laik Operasi) ke tempat bongkar di Rua. “Artinya, yang substansial di sini adalah pengawasan sehingga bisa dibijaksanai dengan cara itu, untuk meminimalisir beban para nelayan baik secara material, waktu, maupun tenaga seperti yang dikeluhkan.

.

Walikota menyatakan Pemerintah Kota Ternate melalui DKP akan mengambil langkah dan berkomunikasi dengan pihak PSDKP di Bastiong. Petugas SLO yang didatangkan ke tempat pembongkaran ikan di Rua. “Kadis DKP untuk segera menyampaikan hal itu ke PSDKP,” tuturnya.

Sementara soal rumpon, Walikota M. Tauhid Soleman juga meminta DKP Kota Ternate untuk segera memfasilitasi proses perizinan ke DKP Provinsi Malut.

Sementara solusi jangka panjang, bukan saja persoalan tempat pembongkaran hasil tangkapan namun juga akan penyediaan fasilitas yang mendukung pengembangan ekonomi kawasan selatan. Seperti diungkapkan Kadis DKP, dalam perencanaan 2023, Pemerintah Kota Ternate melalui DAK memproyeksikan pembangunan TPI (tempat pelelangan ikan) di Rua.  Hanya terkendala regulasi, yakni Perda Zonasi dari Provinsi Malut yang memasukan Rua sebagai kawasan konservasi. 

Walikota menandaskan solusinya adalah menunggu perubahan Perda Zonasi pada 2024 yang nantinya melepaskan status pesisir Rua sebagai kawasan konservasi sehingga dimungkin pembangunan infrastruktur di kawasan pertumbuhan ekonomi baru baik TPI, pelabuhan, maupun pasar. “Untuk itu, dibutuhkan kesabaran kita semua untuk melakukan langkah-langkah terbaik bagi masyarakat,” tambahnya.

.

Sementara persoalan kesempatan jualan ikan oleh ibu-ibu di Pasar Higienis, Walikota menyatakan akan membicarakan hal itu dengan pihak Disperindag. Hanya saja, mungkin jualan di Pasar Higienis itu bersifat sementara. “Ke depan, kita berpikir bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi di kawasan selatan Pulau Ternate ini sehingga perlu ada ruang bagi ibu-ibu penjual ikan. Jangan lagi jualan ikan di pinggir jalan yang mengganggu pemandangan. Perlu ada pasar yang representatif.

Di tengah mencari solusi persoalan nelayan, Walikota M. Tauhid Soleman juga menyinggung tentang Pantai Ake Rica. “di masa kecil Walikota merupakan salah satu primadona wisata warga Ternate. “Masa kecil dulu, saya selalu mandi di pantai ini. Sore ini, saya lihat pantai ini begitu bersih. Jika kebersihan ini terus di jaga, pantai ini akan banyak didatangi pengunjung,” tambahnya.

Selain cukup melegenda--apalagi ada dalam hikayat sebagai tempat pertama yang diinjak Djafar Sadik saat datang ke Ternate—Walikota mengisyaratkan potensi wisata pantai dengan sunset-nya yang indah dan bercirikan kampung nelayan. Karena itu, dia men-support masyarakat dalam mengembangkan potensi Pantai Ake Rica sebagai bagian dari destinasi wisata.

 (tim)


Reporter: Redaksi

BERITA TERKAIT