TERNATE, OT - Akademisi Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) DR. King Faisal menilai, tuntutan Pemungutan Suara Ulang (PSU) bagi warga 6 Desa di wilayah Halmahera Barat kepada KPU Malut tidak memiliki dasar hukum.
Kata dia, tahapan pilkada cagub dan cawagub Malut hingga pencoblosan 27 Juni 2018 telah selesai, sehingga persoalan ini, dapat dikatogorikan masuk Golongan Putih (Golput), karena jauh sebelumnya penyelanggara, baik KPU maupun Bawaslu telah berusaha mensosialisasikan tahapan pemilu tersebut.
Meski demikian, King menjelaskan, sebagai hak konstitusional menghargai tuntutan warga 6 Desa itu untuk menyalurkan hak politik, namun waktunya tidak tepat melakukan komplain ke KPU, setelah tanggal 27 Juni.
"Kalau pasca pencoblosan tanggal 27 tahapannya sudah masuk pleno tingkat provinsi tanggal 7-9. Artinya seluruh tahapan pilgub sesuai aturan telah selesai dilaksanakan. Dan itu sudah disosialisasikan KPU dan Bawaslu jauh-jauh hari," kata King, Kamis (5/7/2018).
Dia menilai, kemungkinan KPU Malut untuk mengakomodir tuntutan 6 Desa itu sangat kecil. "Jika dipaksakan, KPU tidak memiliki dasar legitimasi atau dasar hukum yang kuat. Sebab ini bentuk kelalaian warga 6 Desa yang tidak mencoblos," katanya.
King menambahkan, kasus ini sesungguhnya ketegori Golput. Sebab KPU sebelum pencoblosan sudah mensosisialisasikan.
Dia berharap, semua elemen masayarakat bergandeng tangan bersama dengan aparat hukum menjaga kondisi keamanan agar tetap kondusif untuk mengawal proses pleno KPU tingkat provinsi di Sofifi.
"Sambil menunggu putusan secara resmi dari KPU dan Bawaslu Pusat soal masalah 6 Desa itu. Yang jelas siapapun terpilih dia adalah Gubernur dan Wakil Gubernur kita semua," pesannya.(thy)